BIASANYA, kata Fazlur
Rahman, al-nafs al-lawwamah diterjemahkan menjadi the blaming soul, tukang
kritik, tukang protes, tukang tuduh, yang sering berkeluh kesah dan yang suka
mengambinghitamkan pihak lain. Dia mempersepsi dirinya sebagai korban. Sebab itu,
dia tidak mau menerima fakta keterlemparan atau keterjatuhan yang dialaminya.
Kesalahan selalu ada pada orang lain, sementara kebenaran semata-mata miliknya.
Dia tidak kerasan tinggal di dunianya saat ini, selalu ingin dan ingin mencari
dunia lain yang menurutnya lebih baik dan sempurna, yang disangkanya akan
menjadi dunia yang paling sesuai untuknya.
The
blaming soul adalah tipe manusia pembangkang dan pemberontak. Kritisisme dan
aktivisme memang merupakan karakternya yang dominan, tetapi justru dua sifat
itu membentuknya menjadi diktator yang zalim, menjadi seorang “mufsid”, karena
apa yang baik dalam pandangannya belum tentu baik dalam pandangan yang lain,
lagipula belum tentu sejalan dengan kemaslahatan bersama. Dunia baru yang
direkonstruksinya ternyata tidak lebih baik daripada dunianya yang lama.
Setelah menumbangkan sang tiran, dia malah menjadi tiran berikutnya yang lebih
tiranik daripada tiran sebelumnya.
Kebalikan
dari the blaming soul adalah the satisfied soul atau al-nafs al-muthmainnah,
jiwa yang sudah menemukan rumahnya, tempat peristirahatannya. Rumah itu
ditemukan tidak dengan mencarinya ke mana pun, tetapi dengan bersukur, berhenti,
berdiam (wuquf), menerima secara kreatif dunia tempat hidupnya sekarang,
bagaimana pun keadaan dunia tersebut.
Namun
demikian, the satisfied soul bukanlah fatalis yang pasif karena satisfaction
itu adalah kualitas mental yang dibutuhkan agar dia dapat mereformasi dunia
yang didiaminya sesuai dengan maksud penciptaan, dengan jalan tanpa kekerasan,
dengan berkat dan rahmat Tuhan. Di lingkungan pelaku spiritual, ada keyakinan
bahwa ketika kita memperbaiki diri, yakni dengan melatih mental untuk mencapai
kualitas the satisfied soul, pada saat yang sama kita sedang memperbaiki
lingkungan di sekitar kita, memperbaiki dunia tempat kita hidup. Reformasi
dunia menjadi konsekuensi logis dari reformasi diri.
Makna Ikhlas
Tazkiyah
al-nafs adalah istilah teknis yang digunakan umat Islam untuk menggambarkan
latihan mental tersebut. “Tazkiyah” merupakan konsep klasik yang maknanya sudah
dikenal sejak zaman Ibrahim. Waktu merenovasi “rumah Tuhan”, Ibrahim bersama
anaknya Islamil berdoa supaya Tuhan kelak mengutus seorang rasul kepada anak
cucunya yang hidup di tanah Arab. Salah satu misi yang diemban rasul yang nanti
diketahui bernama Muhammad itu adalah misi purifikasi atau tazkiyah.
Tazkiyah
dapat ditafsirkan sebagai pembersihan hati dari unsur-unsur selain Tuhan yang Esa.
Ketika menempuh laku tazkiyah, kita menjalankan takhlishh, upaya melepaskan
atau membebaskan diri dari penyembahan kepada banyak Tuhan atau kepada Tuhan
yang salah.
Inilah
kiranya makna pokok dari “ikhlas”, nilai yang posisinya termasuk sentral dalam
sistem etika Islam. Ini juga menjelaskan mengapa surat terakhir al-Qur’an,
yaitu surat Qul Hu, yang berisi doktrin pengesaan Tuhan, juga dinamai surat
al-Ikhlas. Akan tetapi, makna “ikhlas” kemudian menyempit. “Ikhlas” sekadar
menjadi antonim riya’, perilaku memamerkan kebaikan, keutamaan, kemampuan,
prestasi, pencapaian, dan sebagainya, gejala etis yang erat kaitannya dengan
kesombongan (takabur).
Riya’
memang tidak menunjukkan keikhlasan karena pelaku riya’ mengerjakan sesuatu
tidak untuk, demi, dan karena Tuhan, melainkan untuk memperoleh apresiasi dari
manusia atau untuk mendapatkan sesuatu selain ridha Tuhan. Jadi, di dalam hatinya
masih bersemayam tuhan-tuhan lain selain Tuhan yang Esa. Tuhan lain itu
misalnya pengakuan, pujian, atau keuntungan material, yang jika dirunut lebih
cermat semua itu ternyata menandakan adanya egosentrisme, sikap menjadikan diri
sendiri sebagai penentu kebenaran mutlak bahkan sebagai kebenaran itu sendiri,
sebagai Tuhan.
Karena
itu, takhlish juga dapat didefinisikan sebagai upaya untuk mengikis habis
egosentrisme dan menjaga jarak dari hal-hal duniawi tanpa menolak dunia itu
sendiri. Hasil dari laku takhlish adalah akhlak ikhlas—ini jika ikhlas tidak dimengerti
sebagai proses karena pada hakikatnya ikhlas itu adalah suatu proses yang tidak
kunjung rampung sehingga “ikhlas” menjadi identik dengan “takhlish”. Orang yang
ikhlas memiliki the satisfied soul karena dia tidak pernah resah oleh
“pandangan manusia” terhadapnya yang terus-menerus berubah; tidak dikendalikan
oleh penilaian publik yang arbitrer, cenderung tidak adil, dan labelling.
Tazkiyah Struktural
Takhlish,
sebagai metode tazkiyah yang paling asasi, di samping mengandung aspek individual,
juga mengandung aspek sosial. Teologi Islam tidak menerima sekulerisme dan
individualisme. Doktrin Islam menuntun umat Islam untuk berpikir global,
universal, holistik, integral, dan struktural. Sebagai bukti, berbeda dengan
tempat ibadah agama lain, fungsi masjid meliputi urusan dunia dan akhirat,
privat dan publik, agama dan non-agama. Pada masa Muhammad, masjid menjadi rumah
tempat penampungan yatim-piatu, fakir-miskin, dan gelandangan, sekaligus kantor
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, markas tentara, lembaga pengajaran, dan
lain-lain. Segala aktivitas kehidupan di Madinah agaknya berpusat di masjid. Masjid
adalah pusat kebudayaan dalam maknanya yang luas. Karena itu, tazkiyah yang
umumnya dipahami sebagai laku personal—jadi disamakan dengan laku mistik dalam
spiritualisme Jawa atau kaum teosofi—sebenarnya merupakan gerakan sosial yang
memicu terjadinya, atau malah menciptakan, perubahan-perubahan struktural.
Barangkali,
kelompok sosial yang melancarkan perlawanan yang paling radikal dan paling masif
terhadap kolonialisme Belanda di Indonesia, sebelum bangkitnya perlawanan
modern yang dipimpin oleh para intelektual yang memperoleh pendidikan Eropa,
adalah komunitas-komunitas tarekat yang dengan intensif mengajarkan laku
tazkiyah dalam teori dan praktik. Perang Jawa atau Perang Diponegoro, misalnya,
tampaknya merupakan perang yang mengandung maksud tazkiyah, meskipun tujuan itu
tidak dieksplisitkan. Sebagian dari para komandan perang yang kelak mengubah
wajah Hindia-Belanda ini adalah pemimpin komunitas tarekat, Diponegoro sendiri
kabarnya ialah tokoh tarekat yang terkenal dan kharismatis. “Perang tazkiyah”
melawan penjajah yang berpola sporadis ini masih berlangsung hingga paruh
pertama abad ke-20. Pada saat itu, Jawa menyaksikan kelahiran organisasi-organisasi
politik modern, sementara Tungkal, yang mungkin dapat dikatakan sebagai pusat
penyebaran tarekat qodariyah-naqsyabandiyah di provinsi Jambi, menyaksikan munculnya
Barisan Selempang Merah, sebuah gerakan anti-kolonial berbasis tarekat yang mengadakan perlawanan terorganisir terhadap
Belanda.
Demikian
pula, rangkaian perang yang dilancarkan oleh umat Islam generasi pertama tentu
saja mesti dikategorikan sebagai “perang tazkiyah” melawan kekafiran—bukan
melawan orang-orang kafir (!)—dan untuk menumpas kemusyrikan—bukan untuk
menumpas orang-orang musyrik (!). Beberapa saat setelah perang Badar, perang
terbesar yang mereka hadapi, Muhammad mengingatkan bahwa kita memang baru menyelesaikan
sebuah perang besar, tetapi kita sedang akan memasuki perang yang lebih besar
(al-jihad al-akbar), yaitu perang melawan diri sendiri, melawan hawa nafsu yang
bersarang dalam diri sendiri, perang dalam rangka membersihkan hati, melepaskan
tuhan-tuhan lain selain Tuhan yang Esa yang terdapat di dalam hati. Meskipun
banyak orang kafir telah tewas dalam peperangan, tetapi kekafiran belum lagi
sirna, bahkan diakui atau tidak, virus kekafiran justru terdapat dalam jiwa
umat Islam.
Perang
bukan satu-satunya jalan untuk melaksanakan tazkiyah struktural, malah perang merupakan
jalan terakhir yang baru boleh ditempuh jika jalan-jalan damai dan formatif sudah
buntu. Program tazkiyah struktural adalah apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai objektivikasi:
pelembagaan nilai-nilai universal Islam dalam wujudnya yang objektif yang diterima
oleh semua kalangan keagamaan. Amar ma’ruf nahi mungkar adalah ungkapan al-Qur’an
yang digunakan untuk menunjukkan upaya pelembagaan nilai-nilai itu.
Dengan
demikian, apabila Muhammad mendirikan struktur politik semacam negara di Madinah,
maka apa yang dilakukan Muhammad itu jelas merupakan laku tazkiyah dalam arti sosialnya.
Negara tersebut memungkinkan umat Islam beribadah kepada Tuhannya yang Esa tanpa
diteror oleh pihak mana pun. Negara Madinah-nya Muhammad menjamin kebebasan beribadah.
Negara tersebut juga memungkinkan umat Islam menegakkan agamanya yang rahmatan lil
alamin, yang memayu hayuning manungsa lan buwana, yang mengayomi umat-umat agama
lain, dan yang, karena itu, menjamin pula kebebasan beribadah umat agama lain. Negara
tersebut, pendek kata, memungkinkan setiap muslim memiliki akhlak ikhlas karena
memang didirikan dan dijalankan untuk tujuan itu.