Baik Quantum Learning (QL) maupun Quantum
Teaching (QT) dibangun dari tiga komponen pokok: suggestology, accelerated
learning, dan neuro linguistic program (NLP), dan dirancang berdasar cara kerja
otak (whole brain). Bobbi DePorter awalnya menciptakan metode belajar-mengajar
ini untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di lingkungan perusahaan
(Quantum Business). Tujuan kongkretnya, mengubah para staf yang sebelumnya
bekerja bak robot atau kuli menjadi manajer yang berjiwa wirausaha. Metode ini
meniupkan ruh ke dalam perusahaan yang sebelumnya tampak mati suri.
Ada kesamaan filosofis antara metode
quantum dengan paradigma pendidikan Romo Mangun. Bedanya, DePorter menyusun metode
belajar yang praktis dan ready-for-use bagi siapapun, kapanpun, dimanapun. Romo
Mangun tidak. Ki Hajar juga tidak.
Jika QL memaparkan cara mendesain
lingkungan belajar yang positif dan cara belajar yang tepat-cepat, maka QT
lebih membabarkan pentingnya komunikasi yang positif dan terjalinnya interaksi
yang sehat-intim antara guru dan siswa. Keduanya bertumpu pada tesis: emosi
positif membuat belajar menjadi menyenangkan, mudah, dan cepat. Asas utama QT:
bawalah dunia mereka (siswa) ke dunia kita (guru) dan antarkan dunia kita
(guru) ke dunia mereka (siswa). Apa yang hendak dicapai adalah proses
manunggalnya dunia guru dan dunia siswa. Dalam konteks belajar, jarak umur,
status sosial, pilihan politik, perbedaan agama, dan segala sekat-prasangka
lebih baik direlativisir dan dikesampingkan terlebih dahulu. Konflik yang
berlangsung di dalam kelas adalah konflik yang positif, ilmiah, produktif.
Oleh karena itu, guru tidak saja harus
menguasai ilmu yang akan dia ajarkan kepada siswanya, namun lebih daripada itu,
dia mutlak memahami “intisari” ilmu komunikasi, psikologi, dan sosiologi. Tugas
guru pun tidak semata-mata mentransfer pengetahuan kepada siswa. Guru adalah,
meminjam istilah DePorter, seorang maestro yang mengorkestrasi suasana belajar
sedemikian rupa sehingga bakat dan kreativitas siswa teraktualisasikan secara
maksimal. Guru adalah pemimpin; pemimpin yang memberdayakan dan memandirikan siswa
baik dalam belajar maupun dalam hidup. Inilah yang disebut sebagai quantum: bermutasinya
energi (terpendam) menjadi cahaya.
Fokus metode quantum adalah perkembangan
ideal siswa. Untuk sampai ke sana, guru mesti banyak belajar, artinya guru juga
harus terus memperkembangkan dirinya. Dalam metode quantum, guru dan siswa
sama-sama belajar. Siswa belajar cara belajar dan keterampilan hidup. Guru
belajar cara mengajar dan pengendalian diri. Selain itu, sekolah, ruang di mana
siswa tumbuh, mau tak mau harus mereformasi dirinya. Manajemen dan citra
sekolah diperbaiki. Keterampilan, pengetahuan, dan moral (!) guru dibenahi.
Hubungan antara sekolah dan elemen pendidikan lainnya juga perlu diharmoniskan
dan diproduktifkan. Sampah-sampah yang menghambat komunikasi antarperson maupun
antarlembaga dibersihkan.
Kunci kesuksesan penerapan metode quantum
dalam sebuah sekolah lebih dipegang oleh pemimpin sekolah bersangkutan daripada
oleh guru. Bila kepemimpinan sekolah lembek dan jumud, jangan harap semua guru
akan betah mempraktekkan metode quantum. Satu-dua guru quantum hanya akan menelurkan
satu-dua siswa quantum, itu pun dengan proses yang melalahkan. Sementara itu,
sekolah tadi tetap menjadi sekolah yang berpihak kepada orang dewasa dan tidak
berpihak kepada siswa, anak-anak.
Saya ingat salah satu prinsip pedagogi Ki
Hajar: guru menghamba pada anak. Sekolah mengabdi kepada siswa. Drost, reformis
sekolah katholik di Indonesia, juga bersandar pada prinsip tersebut. Dan
pemimpin harus mengabdi pada rakyatnya (servant leader), bukan?
Jadi, apa yang membuat pemimpin bisa tulus
mengabdi kepada rakyatnya, guru bisa tulus melayani siswanya? DePorter tak
menjawab pertanyaan ini. Tapi tampaknya Rendra diam-diam sudah kasih jawaban.
Yogyakarta,
5 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam