INDONESIA
punya sejumlah karya sastra agung. Nilainya tak kalah dengan karya-karya sastra
yang sudah menjadi klasik baik di barat maupun di timur. Hanya saja,
karya-karya sastra itu memang kurang terpublikasi secara luas. Mereka ditulis
dengan aksara yang bukan Latin dan bahasa yang bukan bahasa yang sehari-hari
kita gunakan, misalnya bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Hanya filolog dan pelampah
sastralah yang punya kemampuan dan mendapat kemudahan dalam mengakses, membaca,
dan memahaminya.
Ketika dunia sastra Indonesia kehilangan kepercayaan terhadap kebudayaan barat yang sebelumnya menjadi kiblatnya, seiring dengan membusuknya kebudayaan itu dari dalam, sekelompok sastrawan merintis gerakan untuk kembali pada akar dan sumber tradisi nusantara. Ini sebenarnya dialektika lanjut dari polemik kebudayaan 1930-an. Karya-karya sastra klasik Indonesia yang lama tak terjamah, mulai kembali diapresiasi, diteliti, dan diterbitkan terjemahan baik versi Inggris maupun versi Indonesianya. Mulai bangkit rasa percaya diri terhadap kebudayaan ciptaan leluhur sendiri.
Di antara sekian karya sastra klasik
Indonesia pra-Islam, Kakawin Sutasoma
termasuk teks yang memperoleh apresiasi sungguh-sungguh. Penggalan sebuah lariknya,
bhineka tunggal ika, dikutip sebagai
semboyan negara Indonesia, dengan makna yang diperluas: persatuan dalam
keberagaman, hidup harmonis dalam perbedaan budaya, agama, aliran politik, dan
sebagainya.
Dalam kerangka pikir bhineka tunggal ika, the
others dianggap bukan sebagai musuh yang mengancam dan harus ditumpas,
tetapi sebagai unsur pembangun subjek yang harus dirangkul. Nalar bhineka tunggal ika tidak mengenal
fundamentalisme dan terorisme the others
yang direspon oleh subjek dengan kekerasan. Sebab itulah, ibarat sokoguru
sebuah rumah, semboyan ini menopang tegaknya rumah Indonesia yang multikultural.
Ia pun merupakan falsafah yang berpotensi memberi sumbangan berarti bagi
terciptanya perdamaian dunia dan harmoni global.
Kakawin
Sutasoma telah diteliti
oleh sekurang-kurangnya empat filolog: Ida Bagus Sugriwa (1956), J. Ensink
(1967), Soewito Santoso (1975), dan Zoetmulder (1983). Di samping meneliti,
Santoso juga menerjemahkan kakawin ini ke dalam bahasa Inggris. Di Bali, terus
berlangsung resepsi Kakawin Sutasoma
yang diwujudkan dalam berbagai aktivitas budaya, yang menghasilkan beraneka
artefak.
Dan pada Agustus 2009, Komunitas Bambu menerbitkan buku ini, Kakawin Sutasoma edisi dwibahasa, bahasa
Jawa Kuno dan bahasa Indonesia, dengan aksara Latin. Penerjemahnya: DWR
Mastuti, filolog yang ahli dalam sastra Jawa Kuno; dan Hastho Bramantyo, teolog
Buddha yang telah menulis banyak buku tentang agama yang dianut pengarang Kakawin, Mpu Tantular.
Tidak diketahui pasti kapan Mpu Tantular
menggubah kakawin ini. Diperkirakan pada paruh kedua abad ke-14, setelah Mpu
Prapanca rampung menulis Nagarakrtagama
(1365), sebelum raja Majapahit terbesar, Hayam Wuruk meninggal (1389).
Secara tidak langsung, Kakawin Sutasoma mencerminkan era
kegemilangan dan kejayaan majapahit. Mpu tantular mempersembahkan kakawin ini
kepada Hayam Wuruk. Ia merepresentasikan Hayam Wuruk sebagai tokoh utama
kakawin, yaitu Sutasoma, penjelmaan Buddha di dunia, personifikasi kenyataan
tertinggi. Raja segala raja. Raja tiga dunia (tribhuana). Raja semesta.
Sutasoma menaklukkan kejahatan tidak
dengan senjata, melainkan dengan belas kasihnya. Ia mengembalikan kedamaian di
bumi setelah kedamaian itu direnggut oleh raksasa Porusada. Perdamaian antara Sutasoma
dengan Purosada menyimbolkan Siwabuddha, agama yang tumbuh di tanah Jawa, yang
merupakan sintesis agama Siwa dan agama Buddha. Dalam rangka sintesis agama itu
pulalah, Mpu Tantular mengarang kakawin ini.
Jadi, Kakawin
Sutasoma adalah karya agung, risalah politiko-teologis yang ditulis dalam
bentuk puisi naratif, tidak dalam bentuk prosa nonfiksi. Ini mengagumkan. Membanggakan.
Sebab kekaguman dan kebanggaan saya yang lain adalah, teknik deskripsi yang
digunakan dalam Kakawin, walaupun
hiperbolis, benar-benar indah. Keindahan deskripsi tersebut justru terletak
terutama pada hiperbolanya.
Untuk contoh, saat melakukan perjalanan
spiritual untuk bertapa brata, Sutasoma singgah di sebuah lereng gunung. Di
sana terdapat pertapaan yang dilukiskan seperti ini: Ada sebuah lereng dengan pertapaan yang sangat indah dan mengesankan.
Di depan pertapaan tersebut berdiri bangunan pemujaan yang sangat indah. Atap merunya terdiri dari
tujuh tingkat. Pada puncaknya terdapat permata yang bersinar terang.
Kecemerlangannya bagaikan kendaraan Dewa Surya yang menjelajahi langit.//Tempat
itu dipenuhi berbagai macam bunga. Ada pohon andong cantik di tepi kolam yang
sangat indah. Jangga yang terletak pada dinding altar berayun-ayun ditiup
angin. Seakan-akan memberitahukan keindahan pertapaan tersebut pada semua yang
berada di bawahnya. Beberapa ertapa berada di lembah dan salak anjing mereka
jelas terdengar. Masih banyak deskripsi lain, baik berupa deskripsi tempat,
peristiwa, maupun tokoh, yang lebih indah daripada pelukisan tempat pertapaan
ini.
Secara
isi dan bentuk, kakawin ini barangkali layak disandingkan bersama epos-epos
besar dunia seperti Odysseus, Iliad, Mahabarata, Ramayana, dan
I La Galigo. Kakawin Sutasoma adalah menumen sastra. Mpu tantular ialah arsitek
yang membangun candi aksara. Bersama Borobudur dan Prambanan dan candi-candi
lain, Kakawin Sutasoma dan karya
sastra Jawa Kuno yang lain menunjukkan betapa berbudayanya leluhur kita, betapa
agungnya harapan mereka. Narasi Kakawin membuktikan
hal ini.
Terjadi gonjang-ganjing di negeri
Hastina. Para raksasa, yang dipimpin Purosada, mengamuk. Rakyat dan para
pertapa ketakutan. Demikian pula para
dewa. Sri Mahaketu, raja Hastina, mengerahkan seluruh prajuritnya untuk
mengatasi amukan raksasa itu. Tapi percuma. Upayanya gagal.
Setelah berdoa kepada dewata, istrinya
melahirkan putra yang merupakan titisan Buddha, diberi nama Sutasoma. Ialah
yang kelak akan menaklukkan Porusada dan mengembalikan ketentaraman di Hastina dan
di bumi. Raja dan Ratu sangat berharap agar ketika dewasa Sutasoma bersedia
menjadi raja di Hastina, dalam rangka menciptakan perdamaian dan kesejahteraan
di dunia.
Tapi mereka kecewa. Kehendak Sutasoma lain.
Bukan mewujudkan harapan orang tuanya, Sutasoma justru menampik segala yang
duniawi. Ia bertekad menjadi pertapa untuk memperoleh pembebasan. Para dewa,
yang juga sangat berharap pada Sutasoma, sangat menyesalkan kehendaknya itu.
Ketika keinginannya untuk menjadi pertapa
kian kuat, Sutosoma diam-diam kabur dari istana. Seisi kerajaan gempar. Usaha
mereka untuk mencari sang pangeran berujung pada kesia-siaan.
Dalam perjalanan spiritualnya Sutasoma
bertemu dengan tiga makhluk jahat yang kemudian menjadi muridnya: Gajahwaktra,
Naga, dan Harimau Betina. Ketiga mahkluk itu ditaklukkan Sutasoma tidak dengan
senjata, tetapi dengan belas kasihnya.
Sutasoma melanjutkan pertapaannya di
gunung Semeru. Merasa terancam oleh Purosada, para dewa berusaha menggagalkan tapa
brata Sutasoma. Mereka mengirim bidadari untuk menggodanya. Tetapi misi itu
tidak berhasil. Sutasoma sama sekali tidak tergoda oleh kecantikan mereka.
Sebaliknya, bidadarilah yang terjerat oleh ketampanannya.
Akhirnya, raja para dewa, Indra turun
tangan sendiri. Untuk menggoda Sutasoma, ia menyamar menjadi dewi yang sangat
cantik, jauh lebih cantik daripada bidadari. Tapi hati Sutasoma tak goyah. Dan Indra
dibikin terkejut oleh Sutasoma yang menjelma dalam wujud ilahinya sebagai Sri
Wairocana. Seketika Indra dan seluruh dewa bersujud menyembahnya. Mereka
memohon agar Sutasoma berkenan menyudahi laku spiritualnya untuk menyelematkan
dunia dari kemusnahan akibat perilaku jahat Purosada. Berkat belas kasihnya,
Sutasoma bersedia mengabulkan permohonan mereka.
Sutasoma selanjutnya bertemu dengan raja
Dasabahu yang menikahkannya dengan adiknya, Candrawati. Candrawati ialah Locana,
permaisuri Buddha sebelum ia menitis di dunia. Setelah menikah, Sutasoma
kembali ke Hastina. Hastina menyambutnya dengan sukacita. Tidak lama kemudian, Sri
Mahaketu mangkat, Sutasoma diangkat menjadi raja. Dasabahu sendiri, dan seluruh
pangeran yang ayahnya ditangkap Purosada untuk dikorbankan kepada Dewa Kala, mengabdi
pada Sutasoma.
Bukan tanpa alasan Purosada menawan
raja-raja itu. Suatu kali Purosada terluka. Di hutan tempatnya kini berada
sendirian, tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya. Purosada lantas
bernazar, jika lukanya sembuh, ia akan mengumpulkan seratus raja untuk
dikorbankan bagi Dewa Kala. Lukanya sembuh. Dan Purosada melaksanakan nazarnya.
Sebagai raja raksasa yang amat sakti,
Purosada mampu mengumpulkan 100 raja untuk Dewa Kala. Tapi Dewa Kala menolak
persembahan tersebut. Ia menginginkan Sutasoma. Purosada segera mengerahkan
seluruh prajuritnya untuk berperang melawan bala tentara Hastina, demi
menangkap Sutasoma.
Hastina mengetahui rencana Purosada ini.
Sutasoma dan seluruh ksatria kerajaan berembuk. Sutasoma tidak ingin
pertumpahan darah terjadi. Baginya, lebih baik menyerahkan dirinya kepada Purosada
untuk dipersembahkan kepada Dewa Kala daripada berperang melawan raja raksasa
yang kuat itu. Hastina pasti kalah. Tapi pendapat Dasabahu dan para ksatria
Hastina lain. Peranglah yang mereka pilih.
Maka, terjadilah perang besar di padang
Kuru antara kubu Purosada dan kubu Dasabahu. Sutasoma tidak ikut dalam
peperangan. Perang raya yang berlangsung
sangat sengit itu, yang lebih dahsyat daripada Baratayuda, dimenangkan kubu
Purosada. Dasabahu gugur setelah beradu kesaktian dengan Purosada.
Mendengar kabar kalahnya Hastina,
Sutasoma datang menemui Purosada di padang Kuru. Purosada menjelma menjadi
Rudra, menyerang Sutasoma dengan berbagai senjata. Tapi senjata itu berubah
menjadi bebungaan dan tetumbuhan sebelum menyentuh tubuh Sutasoma.
Takut oleh akibat yang ditimbulkan
kamarahan Rudra, para dewa turun menyembahnya. Indra menjelaskan kepada Rudra,
hakikat Siwa dan Buddha sesungguhnya identik. Bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa. Beragam tapi hakikatnya
tunggal, tak ada kebenaran yang men-dua. Oleh penjelasan itu, Purosada melunak.
Dan semakin melunak ketika mengetahui sikap Sutasoma yang rela menyerahkan diri
untuk dikorbakan kepada Dewa Kala. Itu semua menyebabkan Purosada bertobat.
Setelah Sutasoma menghidupkan kembali
semua ksatria yang gugur, Purosada mengantarkannya menemui Dewa Kala. Dewa Kala
berubah menjadi naga, menyantap Sutasoma yang pasrah. Sebelum menelan seluruh
tubuh Sutasoma, Dewa Kala mengalami pencerahan. Ia pun bertaubat. Bersama Purosada
berguru pada Sutasoma.
Sementara keduanya menjadi pertapa untuk
mencapai pembebasan, Sutasoma kembali memerintah sebagai raja. Selama dipimpin
olehnya, Hastina damai sejahtera. Beberapa lama kemudian, Sutasoma mangkat,
kembali menjadi Buddha di Jinalaya, dengan Purosada sebagai pengawalnya.
Sementara itu, berkat tapanya yang keras, Dewa Kala telah kembali menjadi Hyang
Pasupati. Tahta Hastina sekarang dipegang putra Sutasoma, Arddhana.
Narasi Kakawin Sutasoma ini memperlihatkan kemahiran Mpu Tantular
menyisipkan filosofi relijius dan harapan etiknya ke dalam cerita. Sastra
digunakan sebagai wahana untuk menyebarkan ajaran agama dengan cara yang tak
verbalistis. Ini teladan yang baik untuk sastrawan-sastrawan kita.
Melalui Kakawin Sutasoma, Mpu Tantular mengajarkan: kebaikan mengalahkan
kejahatan. Tapi tidak dengan jalan pertumpahan darah, melainkan dengan
pengamalan belas kasih. Putaran lingkaran setan dendam kesumat mesti
dihentikan. Manusia mesti membebaskan diri dari perbudakan nafsu. Harus
berjuang mengalahkan dirinya, meneladani perjuangan batin Sutasoma, untuk membersihkan
hatinya dan mengembangkan potensi belas kasihnya. Kejahatan hanya dapat
disirnakan dengan belas kasih. Api tidak padam oleh api, tapi oleh air. Belas
kasih, kita tahu, adalah ruh semua agama, termasuk agama Siwa, Buddha, dan Siwabuddha.
Doktrin ini sepertinya respon atas Mahabarata. Kakawin Sutasoma barangkali resepsi dari epos yang sangat
memengaruhi budaya Jawa itu. Salah satu faktor utama pemicu meletusnya
Baratayuda adalah dendam kusumat Drupadi, istri Puntadewa, terhadap Kurawa.
Hikmah Baratayudha: dendam kesumat bermuara pada peperangan yang sia-sia; maka,
dendam kesumat harus dilenyapkan, belas kasih harus ditumbuhkan. Mpu Tantular
tampaknya sangat berharap, pembaca kakawinnya belajar menghayati belas kasih.
Kita bersyukur punya pujangga seluhur Mpu
Tantular, punya karya sastra semendalam dan seindah Kakawin Sutasoma.