TAPOL novel ketiga Ngarto Februana. Novel
pertama Lorong Tanpa Cahaya (1999).
Novel kedua Menolak Panggilan Pulang
(2000). Tapol mengangkat tragedi
sejarah Indonesia paling kelam dan berdarah: peristiwa G 30 S. Pertama kali
terbit, September 2002, daya hentak Tapol
mungkin masih kerasa. Sampai saat itu, belum begitu banyak penulis yang
terinsipirasi peristiwa G 30 S. Tapi jika dibaca sekarang, 2014, ketika penulis
lama maupun baru seolah-olah berlomba memfiksikan G 30 S, Tapol jadi ora ngangkat ora
gayeng. Ceritanya jadi biasa-biasa saja: seorang tak terlibat PKI, tetapi
diganyang musuh-musuh PKI: dituduh PKI, ditangkap dan diadili dan dipenjara
atau dibuang, kemudian menderita sepanjang hayat. Tidak ada yang istimewa.
Tidak ada yang menyentak.
Terlebih, alur ceritanya gampang ditebak.
Bagian awal novel jadi membosankan. Membuat malas menyelesaikan membaca hingga
tamat. Untung saja, Ngarto pintar bermain konflik. Bagian akhir novel
mengetengahkan konflik psikologis yang dialami Lastri dan Mirah, dua tokoh perempuan
utama. Tokoh utama Tapol ada tiga:
Kardjono, Lastri, dan Mirah.
Kardjono mulanya perwira angkatan udara
yang bersih, lurus, patuh, tetapi lugu. Pengikut Bung Karno yang tidak memihak
ataupun membenci PKI. Oleh Sudjono, komandannya, ia dan teman-temannya disuruh
menyelenggarakan pelatihan militer untuk masyarakat. Untuk menguatkan pondasi
Nasakom katanya. Pelatihan berpusat di daerah Lubang Buaya. Kardjono patuh
menjalankan komando. Tapi saat pelatihan, Kardjono merasakan sesuatu yang aneh:
yang dilatih hanya orang-orang PKI. Ia bercerita tentang hal ini kepada Lastri.
Istrinya itu menangkap firasat buruk dan menasihatinya. Nasihat tersebut agak
diabaikan Kardjono.
Firasat buruk Lastri terbukti. Malam itu
peristiwa G 30 S terjadi. Kemudian PKI diganyang. Kader dan simpatisannya
ditangkap lalu dibunuh atau dibuang atau dipenjara tanpa proses hukum. Kardjono
ikut ditangkap dan dipenjara. Diduga dan dituduh PKI. Lastri yang sedang hamil
tua mencari kabar Kardjono. Tetangganya, yang suaminya juga ditangkap, melapor:
Kardjono ditangkap, dipenjara, dibunuh; mayatnya dibuang ke laut. Dengan
laporan itu, Lastri percaya saja.
Kehilangan suami, Lastri pulang kampung.
Klaten, kampung halamannya, termasuk kawasan paling bergolak selama masa
ontran-ontran itu. Harapan Lastri bertemu orangtuanya, pupus. Ayah dan kakaknya
diganyang. Langsung tak langsung, keduanya ikut PKI. Keluarganya yang lain
diganyang juga. Akhirnya Lastri hijrah ke Yogya, numpang di rumah Sarijah, Bude
sahabatnya di Klaten, Sriharti. Perempuan sebatang kara itu menerima Lastri
seperti anak sendiri. Menganggap kedua anak Lastri, Mirah dan Hernowo, sebagai
cucu sendiri. Dibantu Sarijah, Lastri membesarkan kedua anaknya. Kepada
anak-anaknya, Lastri merahasiakan siapa sebenarnya bapak mereka.
Mirah perempuan yang gelisah. Menjadi
mahasiswa sosiologi UGM, Mirah ambil bagian dalam gerekan prodemokrasi
80/90-an. Mirah tertarik dengan komunisme. Bersimpati dengan PKI. Sangat
membenci Soeharto. Mengikuti diskusi-diskusi kiri. Teriak-teriak dalam aksi
demonstrasi kasus waduk Kedungombo dan rentetan kasus setelahnya. Lastri tidak
menyetujui aktivisme Mirah. Lastri tak mau anaknya menjadi komunis.
Tapi Mirah terus berdiskusi dan
berdemonstrasi. Setiap berdemonstrasi, seorang pemulung aneh selalu
mengawasinya. Mirah curiga: jangan-jangan pemulung itu intel yang khusus
memata-matai tindak-tanduknya. Kawan-kawan aktivis Mirah berpikiran serupa.
Namun pikiran mereka keliru. Sebab ternyata pemulung itu ialah Djon, mantan
perwira angkatan udara yang ditangkap dan dipenjara karena dituduh terlibat
PKI, ayah Mirah. Setelah ditengkap, Djon atau Kardjono dilempar dari penjara ke
penjara, kemudian dibebaskan pada 1975. Bagi Djon, kebebasan bukan gerbang
kebahagiaan. Ia tak tahu di mana keluarganya kini berada. Tak mungkin pulang ke
Nganjuk di mana sanak kadangnya yang berideologi Masyumi tinggal. Kardjono
akhirnya memutuskan menjadi pemulung. Hidup menggelandang di Yogya.
Sehabis sakit, Djon baru ketemu Mirah dan
Lastri. Djon ditolong Mirah yang setelah lulus kuliah mendirikan LSM untuk kaum
miskin kota, khususnya untuk anak jalanan dan pemulung. Djon terserang liver. Temannya
membawa Djon kepada Mirah. Mirah membawa Djon berobat ke rumah sakit. Seminggu Djon
dirawat disana. Ditunggui Mirah dan kawan-kawannya. Keluar dari rumah sakit,
Mirah membawa Djon ke rumahnya. Saat itulah Djon ketemu Lastri. Mirah sendiri
terkejut, ternyata pemulung yang ditolongnya adalah ayahnya yang dikira telah
meninggal. Mereka membuka lembaran idup baru, sebagai keluarga yang kini utuh
kembali.
Sebelum ketemu kembali dengan Djon,
Lastri sudah menerima lamaran Jumadi, duda yang sekian tahun ingin sekali
memperistrinya. Kembalinya Djon tentu menerbitkan dilema di hati Lastri: apakah
akan melanjutkan hubungannya dengan Jumadi atau kembali kepada Djon. Tapi Ngarto
tidak memaksimalkan potensi konflik psikologis ini. Ngarto malah tidak
menyinggung-nyinggung lagi bagaimana hubungan Lastri-Jumadi sekembalinya Djon.
Ngarto hanya berkutat pada konflik
psikologis Mirah. Mirah ingin setia pada komunisme, tapi bapak ibunya berharap
Mirah menanggalkan ideologi yang pernah menghancurkan keluarga itu. Djon terus
menasihati Mirah untuk bertaubat dari komunisme. Juga saat kesehatan Djon mulai
melemah. Djon barangkali sakit karena kebanyakan memikirkan Mirah yang kelewat
teguh dengan komunismenya. Sakit Djon kian parah, dirawat di rumah sakit. Saat itu
dilema batin Mirah memuncak: apakah bersetia pada komunisme atau mengikuti
nasihat orangtuanya. Ketika Mirah mau mengabarkan kepada ayahnya bahwa ia
memutuskan menanggalkan komunisme, Djon keburu meninggal.
Demikian Tapol ditutup. Dengan niat yang tak kesampaian. Dengan penyesalan
yang bakal terus membayang-bayangi Mirah seumur hidup.
Bagian akhir Tapol memang bagus, tapi bagian awalnya tidak. Ini kelemahan Tapol. Kekuatannya ada pada tema dan
gaya bahasanya yang lebih jurnalistis daripada sastrawi. Kalimatnya pendek-pendek
dengan sedikit metafor dan kata berbunga. Irit. Benar-benar seperti laporan soft-news. Memang, di samping menulis
fiksi, Ngarto bekerja juga sebagai wartawan di D & R, kemudian Semanggi
dan DeTak. Rampung menulis Tapol, Ngarto tercatat bekerja di Pusat Data dan Analisis Tempo. Kekuatan Tapol yang lain: imajinasi dalam Tapol didasari hasil riset. Pertama,
beberapa riset tentang G 30 S. Kedua, sebuah riset tentang pemulung Yogya. Tapi
kekuatan ini barangkali kelemahan juga: Tapol nyaris menjadi buku teks
pelajaran sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam