MESKIPUN kelihatan tradisional, pesantren sebenarnya telah mengandung elemen modern, bahkan sebelum melakukan proses panjang modernisasi--sejak awal abad ke-20--yang hingga kini belum mencapai bentuk finalnya. Di antara elemen modern dalam pesantren adalah budaya literasi. Membaca, menulis, dan berdiskusi merupakan suatu living culture dalam komunitas pesantren.
Jadi, bila sebuah pesantren memiliki madrasah, sekolah umum, atau pun semacam perguruan tinggi, lembaga-lembaga pendidikan ini tak perlu disuruh-suruh untuk menghidupkan budaya literasi. Munculnya suruhan demikian menandakan bahwa pihak eksternal, yang menyuruh pesantren untuk menghidupkan budaya literasi, tak memahami betul seluk-beluk pesantren. Dalam hal menghidupkan budaya literasi, justru lembaga-lembaga pendidikan formal non-pesantrenlah yang harus belajar kepada pesantren.Di pesantren, aktivitas dan habit literasi dapat dipilah menjadi dua kategori. Pertama, guided collective literacy, yaitu aktivitas literasi santri secara berjamaah yang dibimbing sang kiai.
Contoh konkretnya, dalam pengajian kitab kuning yang rutin dilaksanakan, kiai dan para santri membaca kitab, yang umumnya berbahasa Arab, yang dipelajari secara bersama-sama. Sang kiai membaca kitab tersebut kata per kata, lalu menerjemahkannya kata per kata pula. Setelah itu, ia menerangkan makna satuan kalimat atau satuan wacana (discourse) yang telah diterjemahkan itu.
Ketika sang kiai membaca dan menerjemahkan kitab kata per kata, para santri juga membaca kitab tersebut, sembari memberi harakat pada tiap kata dan menulis arti kata di bawah kata bersangkutan.
Sebelum dan setelah melakukan guided collective literacy, sebagian santri melakukan creative individual literacy. Inilah kategori kedua aktivitas literasi dalam dunia pesantren.
Sebelum mengaji, santri yang rajin biasanya membaca kitab yang akan dipelajari. Ia memberi harakat tiap kata dan mencari sendiri terjemahannya, juga merenung-renung sendiri untuk memahami makna dan maksud kitab yang sedang dibacanya.
Untuk mengharakati kata, menerjemahkan kata, serta menelusuri makna dan maksud kandungan kitab, diperlukan daya pikir dan daya kreatif yang tidak kecil. Karena itulah, kategori literasi kedua ini dipandang sebagai aktivitas literasi yang "creative".
Setelah mengaji, si santri kembali membaca satuan wacana dalam kitab yang baru saja dipelajari. Jika menemukan wawasan, pandangan, atau persoalan baru, ia mendiskusikannya dengan teman-temannya sesama santri.
Kegiatan diskusi yang semula bersifat spontan ini kemudian dilembagakan menjadi forum bahtsul masa-il, ruang bagi para santri yang ilmu agamanya telah cukup memadai untuk berdialektika dalam rangka merumuskan pemecahan atas persoalan fikihiah tertentu, dengan merujuk pada kitab-kitab fikih yang mu'tabarah di kalangan pesantren.
Berdasarkan fenomena-fenomena keliterasian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam dunia pesantren, bahkan pesantren tradisional (salafiyah) sekali pun, budaya literasi telah berjalan dan berkembang sedemikian rupa. Budaya literasi (di) pesantren merupakan fenomena yang "la raiba fihi"; yang sudah tak diragukan lagi keberadaannya. Dan budaya literasi ini sesungguhnya merupakan elemen modern dalam pesantren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam