Di depan mata Anda, teman Anda menyogok atasannya.
Tujuannya: meminta supaya atasannya memberinya proyek gede yang super basah.
Apa sikap Anda?
Jika Anda seorang apatis, Anda akan cuek
saja dengan peristiwa itu, dan menganggapnya tidak pernah terjadi, untuk
kemudian melupakannya selamanya. Jika Anda seorang pengecut, Anda akan
merahasiakan peristiwa itu dari publik, tidak menegur teman Anda dan atasannya,
menampik suara nurani, berapologi ini itu, dan mencomot teori tertentu untuk
membenarkan sikap Anda. Jika Anda seorang opurtunis yang punya bakat dagang +
ngakali, Anda akan cepat-cepat memancing di air keruh, meminta uang tutup mulut
kepada teman Anda. Jika Anda adalah seorang pembelajar yang sesat, Anda akan
meneladani sikap teman Anda, dan memodifikasi metode menyogoknya. Bila ini
semua, atau salah satu di antaranya, sudah atau akan Anda lakukan, maka ditinjau
dari perspektif moral, Anda tergolong orang yang tidak baik, dan Anda sah
menerima hukuman.
Jika Anda orang Jawa dan sejak kecil hidup
dalam lingkungan Jawa, maka ketika melihat peristiwa penyogokan tadi di depan
mata sendiri, biasanya, entah dengan sadar atau tidak sadar, Anda akan otomatis
bersikap: ngalah, ngalih, ngamuk. Ngalah dan ngalih, dalam konteks ini, bisa
diartikan sebagai pendiaman. Biar aman, dan biar pergaulan dengan teman Anda tetap
harmonis, lebih baik Anda tutup mulut. Pura-pura tak tahu saja, wong sudah sama-sama tahu juga. Hidup
rukun—meskipun saling memendam dendam, curiga, dan benci—selalu lebih baik
daripada hidup bermusuh-musuhan. Konflik harus dihindari. Stabilitas harus
diutamakan. Tetapi kalau penyogokan itu sudah merongrong eksistensi Anda di
hadapan masyarakat, maka Anda akan ngamuk, baik kepada teman Anda tadi maupun
kepada atasannya, baik dengan jalan hukum manusia maupun dengan jalan hukum
rimba, dalam rangka memulihkan citra Anda. Singkatnya, bagi Anda korupsi boleh,
asal tak melibatkan Anda, asal tak melecehkan kehormatan Anda, asal tak merusak
citra Anda di mata publik, asal tidak menggoyang kedudukan Anda, dan asal tidak
mengusik ketenteraman Anda.
Secara kultural, penegakan hukum dan
demokrasi pada dasarnya tidak sejalan dengan “sisi buruk” tradisi Jawa ini, yang
oleh Pramoedya dinamai Jawanisme. Ini juga menjelaskan mengapa Islam yang
berkembang di Jawa, terutama di wilayah yang terkena pengaruh kerajaan Mataram
Baru, adalah Islam yang coraknya mistik-sinkretik, dan bukan rasional-legal.
Jika Anda seorang muslim yang teguh dan
tegas, yang sedari anak-anak hidup dalam lingkungan muslim yang taat, maka
ketika Anda menyaksikan peristiwa penyogokan tersebut, Anda akan ber-nahi ‘anil mungkar. Caranya tiga macam:
melarang dengan pukulan, mencegah dengan lidah, mengharamkan dengan hati. Cara
terakhir, kata para kyai, adalah cara yang digunakan oleh muslim yang
sangat-sangat lemah imannya.
Kesimpulan: seorang muslim hendaknya
berpikir secara rasional, dalam koridor hukum, dengan pendekatan sosiologis. Nahi ‘anil mungkar adalah strategi
kebudayaan untuk menciptakan apa yang dalam al-Qur’an disebut sebagai khoiru ummah (masyarakat ideal).
Pribadi-pribadi yang hidup dalam masyarakat seperti itu adalah pribadi yang
bebas, rasional, dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, kemanusiaan
secara umum, dan sang hakim maha agung: tuhan; peran kongkretnya tidak beda
dengan citizen (warga negara) atau civilian (orang sipil) dalam sistem
sosial sekuler.
jogjakarta,
februari 2012