Ketika
dipimpin oleh seorang raja yang berasal dari Keling, Jambi menjadi negeri yang
sejahtera, makmur, dan sentosa. Rakyat tidak mengeluh kelaparan. Keadaan aman
dan tenteram. Tetapi, hal itu tak berlangsung lama. Sesosok makhluk tak dikenal
membuat keonaran di mana-mana. Orang-orang menyebutnya Hantu Pirau. Tubuhnya
pendek, kira-kira setengah dari tinggi manusia normal. Wajahnya berbulu.
Kakinya terbalik, tidak menghadap ke depan, tetapi menghadap ke belakang. Ia
bicara dengan bahasa manusia.
Anehnya,
Hantu Pirau yang tiba-tiba muncul itu tidak mengganggu orang dewasa. Ia hanya
mengganggu anak-anak ketika mereka sedang ditinggalkan oleh orang tuanya.
Awalnya ia hanya menggelitiki anak-anak, namun kemudian menakut-nakuti mereka
sehingga mereka menangis.
Para
orang tua merasa khawatir dengan kondisi anak-anak mereka yang kerap diganggu
Hantu Pirau. Mereka lantas melaporkan keadaan itu kepada kepala kampung. Mereka
berharap agar kepala kampung mencarikan jalan keluar dari permasalahan itu,
atau menaklukkan Hantu Pirau atau mengusirnya. Tetapi kepala kampung tidak
segera memberi jawaban. Ia menghadap kepada raja untuk melaporkan keonaran yang
diperbuat Hantu Pirau itu.
Setibanya
di istana, kepala kampung baru tahu bahwa Hantu Pirau tidak hanya membuat
keonaran di kampungnya, tetapi juga di kampung-kampung lain di negeri Jambi.
Banyak kepala kampung yang pada hari itu menghadap raja untuk melaporkan hal
yang sama.
Mendengar
laporan para kepala kampung, raja mengambil keputusan. “Perintahkanlah rakyat
kalian untuk membuat lukah sebanyak-banyaknya. Pasanglah lukah-lukah itu di
atas bukit. Ikat kuat-kuat pada tonggak kayu. Lalu, periksalah lukah-lukah itu
setiap hari tepat saat matahari naik sepenggalah.”
Berpikir
bahwa keputusan raja itu tak masuk akal, seorang kepala kampung bertanya kepada
raja: “Duhai Paduka yang kami muliakan, kami diganggu Hantu Pirau, tapi mengapa
Paduka menyuruh kami membuat lukah? Kami tidak sedang akan berkarang. Apatah
mungkin dengan lukah itu kita dapat menangkap Hantu Pirau?”
“Laksanakan
saja perintahku. Nanti kalian akan tahu hasilnya,” jawab sang raja.
Para
kepala kampung akhirnya pulang dengan membawa seribu pertanyaan di dalam
kepalanya. Mereka masih belum mengerti jalan pikiran sang raja. Tetapi
sesampainya di kampung masing-masing, mereka langsung memerintahkan rakyatnya
untuk membuat lukah, sebanyak-banyaknya. Rakyat pun membuat lukah. Lukah-lukah
itu dipasang di atas bukit, diikat kuat-kuat pada tonggak kayu.
Secara
bergiliran, para kepala kampung setiap hari, tepat saat matahari naik
sepenggalah, memeriksa lukah-lukah itu. Pada hari pertama, tidak ada yang
berubah dengan lukah-lukah itu, masih seperti sediakala. Demikian juga pada
hari kedua. Namun pada hari ketiga, kepala kampung yang mendapat giliran
memeriksa lukah terkejut sewaktu melihat salah satu lukah. Di dalamnya, ada
sesosok makhluk aneh, bertubuh kecil, meronta-ronta, berusaha membebaskan diri
dari jeratan lukah. “Jangan-jangan, itulah si Hantu Pirau,” tebak si kepala
kampung.
Kepala
kampung tersebut bergegas menghadap raja. Kepada raja, ia melaporkan bahwa
tampaknya Hantu Pirau telah terjarat oleh salah satu lukah. Setelah
memerintahkan kepada seluruh kepala kampung untuk mengasah parangnya
tajam-tajam, raja dan beberapa pengawalnya dan para kepala kampung pergi ke
atas bukit untuk melihat hal itu.
Mereka
tiba di atas bukit. Raja membenarkan bahwa yang terjerat di salah satu lukah
itu adalah Hantu Pirau. Menyaksikan para kepala kampung datang dengan membawa
parang yang tajam, Hantu Pirau takut. Ia pun menghiba-hiba kepada sang raja.
“Wahai
Raja, jangan bunuh hamba. Ampuni hamba. Lepaskan hamba. Bila Paduka melepaskan
hamba, hamba berjanji tidak akan membuat keonaran lagi di negeri Paduka. Wahai
Raja, ampunilah hamba.”
“Hei
Hantu Pirau,” kata sang raja “kau akan kubebaskan, tetapi dengan dua syarat.
Pertama, sesudah kau kulepaskan dari lukah, enyahlah kau selama-lamanya dari
negeri Jambi. Kedua, aku dengar kau punya cincin sakti bernama cincin
pinto-pinto. Berikanlah cincin itu kepadaku.”
“Baiklah
Paduka, saya akan memenuhi dua persyaratan yang Paduka ajukan.”
Hantu
Pirau memejamkan matanya. Sesaat kemudian di tanganya muncul sebuah cincin, dan
Hantu Pirau memberikan cincin itu kepada sang raja. Ia lalu dibebaskan, pergi
dari bukit itu.
Mungkin
Hantu Pirau mengingkari janjinya. Konon saat ini ia masih berkeliaran di hutan-hutan
di negeri Jambi. Ada saja orang yang mengaku bahwa secara tak sengaja ia
berjumpa dengan Hantu Pirau ketika pergi berburu atau mencari kayu di hutan. Kini
keberadaan Hantu Pirau membuat orang-orang penasaran. Mereka ingin melihat
Hantu Pirau dengan mata sendiri. Tetapi mitosnya, siapa yang dengan sengaja
menelusuri hutan untuk melihat Hantu Pirau, justru tak akan pernah dapat
melihatnya.
Sumber:
Okta Priyandi, sahabat saya; dan Cerita Rakyat Dari Jambi 2 (Kaslani, 1997)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam