Apa
yang dapat dipelajari dari “Bertanya Kerbau pada Pedati”, sebuah cerpen olahan
A.A. Navis? Proses penandaan yang terus-menerus. Sentral dalam cerpen itu
adalah “kerbau” sebagai simbol. Seiring bergulirnya plot, pelan-pelan Navis
mentransendensikan “kerbau” dari konteks lamanya—yang walaupun masih hidup,
tetapi tampaknya sudah tidak menghidupkan, untuk selanjutnya meletakkan
“kerbau” pada konteksnya yang baru. Pada konteksnya yang baru itu, “kerbau”
seakan-akan menjadi jawaban, atau menjadi representasi dari jawaban yang
diikhtiarkan oleh Navis, terhadap permasalahan hidup kontemporer. Dalam hal
ini, yang dimaksud dengan kontemporer adalah masa revolusi. Terserahlah kepada
pembaca apakah akan menerima, atau menerima dengan syarat, atau menolak jawaban
alternatif yang diketengahkan Navis itu.
Pada
konteksnya yang lama, “kerbau” (1) dikaitkan dengan ceritera Cindur Mato “yang mengisahkan seekor
kerbau keramat bernama Binuang, yang dalam telinganya bersarang lebah berbisa
yang bila dikehendaki Cindur Mato lebah-lebah itu akan memantak penyamun yang
menghadang perjalanan”; (2) dihubungkan dengan kisah “kalah perangnya panglima
Jawa melawan Datuk nan Baduo, oleh sebab kalah taruhan adu kerbau” yang mana
kisah tersebut menjadi sendi budaya Minangkabau; (3) dipahami melalui ungkapan
“bagai kerbau dicocok hidungnya” yang menjelaskan bahwa kerbau adalah binatang
yang bodoh dan menuruti saja apa pun perintah tuannya; (4) adalah binatang yang
dagingnya lebih disukai masyarakat dan manfaatnya lebih banyak ketimbang sapi.
Pada konteks (1) “kerbau” berkonotasi kuno dan tak masuk akal, pada konteks (2)
berkonotosi kebesaran adat yang bisa saja menyebabkan seseorang berpikir sempit
dan tertutup, pada konteks (3) berkonotasi budak, dan pada konteks (4)
berkonotasi tak lezat dan tak menguntungkan. Daripada bersifat positif atau
netral, keempat konotasi “kerbau” itu bersifat negatif.
Kemudian,
Navis membalik konotasi yang disandangkan pada “kerbau” dari negatif menjadi
positif. Seusai membaca cerpen tersebut, kita akan memahami “kerbau” sebagai
simbol kemanusiaan, pemberontakan, revolusi. Cerpen itu mengandung satir yang
membangunkan kesadaran pembaca bahwa kerbau pun tidak kuat dan tidak kerasan
selama-lamanya menjadi budak; bahwa kerbau yang dianggap bodoh itu pun akhirnya
memberontak terhadap tuannya, tukang pedati; bahwa kerbau memerdekakan dirinya
sendiri. Jika demikian, mengapa manusia yang berakal tidak menolak menjadi
budak, tidak memberontak kepada tuan atawa pemimpinnya yang zalim, tidak mau
dan tidak mampu memerdekakan dirinya sendiri? Apakah manusia lebih bodoh dari
kerbau, binatang yang dianggap sangat bodoh itu?
Yogyakarta, 28 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam