Nilai ibadah terletak
pertama-tama pada motivasinya, pada niatnya. Semakin luhur motivasinya, semakin
bernilai ibadah tersebut. Ibadah yang bernilai selalu memberi umpan balik yang
positif kepada pengamalnya. Ibadah yang tidak atau kurang bernilai, yang
didorong oleh motivasi yang tidak luhur, malah akan menjatuhkan kemuliaan dan
menggerus kebahagiaan pengamalnya.
Ibnu Sina pernah
melontarkan teori motivasi ibadah yang perlu direnungkan. Menurutnya, orang
beribadah karena tiga hal.
Pertama, orang
beribadah karena takut akan siksa Tuhan. Orang ini bagaikan hamba sahaya yang
melakukan aktivitas karena didorong rasa takut. Ia memandang tuannya sebagai
sosok yang keras, kasar, kejam, dan tidak memiliki belas kasihan. Kemerdekaan,
kedamaian, dan keamanan hanyalah impian baginya.
Kedua, orang beribadah
karena mengharap surga Tuhan. Orang ini bagaikan pedagang yang tidak melakukan
aktivitas kecuali untuk memperoleh keuntungan. Tuhan adalah mitra bisnisnya.
Hubungannya dengan Tuhan merupakan hubungan yang ekonomistis dan matematis.
Semboyannya: saya membeli apa, saya membayar berapa; saya memberi apa, saya
mendapat apa. Kalau memberi sesuatu tetapi tidak kunjung mendapat gantinya yang
lebih baik atau minimal yang sama baiknya, ia akan dirundung putus asa dan kekecewaan.
Lunturlah kepercayaannya terhadap mitra bisnisnya. Orang seperti ini mereduksi ibadah
menjadi angka-angka dan mengkonversinya menjadi citra-citra. Seksama ia
mengamati berapa jumlah pahala ibadah ini dan itu. Telaten ia mempercantik
bungkus barang dagangannya, kemasan ibadahnya. Ia mempersuasi Tuhan sedemikian rupa
supaya mau membeli ibadahnya.
Ketiga, orang beribadah
karena dorongan cinta. Sikapnya terhadap Tuhan bagaikan sikap ibu terhadap
anaknya—tetapi, dengan mengunakan metafor ini, saya tidak bermaksud
menggambarkan Tuhan sebagai seorang anak. Sikap seorang ibu terhadap anaknya tidak dapat
lain kecuali dilatarbelakangi dan dilatardepani oleh cinta yang murni dan
sejati. Terhadap anaknya, ibu laksana matahari yang konsisten memberi tanpa menagih
dan menunggu imbalan. Pandangannya melampaui untung dan rugi. Ia masih akan
memberi meskipun pemberian itu merugikannya, bahkan menderitakannya. Ia tidak
berharap apa pun kepada anaknya selain kebahagiaan dan keridhaan anaknya itu.
Memang, teori Ibnu Sina
di atas tidak terbebas dari apa yang disebut sebagai koersi kategorisasi yang
merupakan salah satu bentuk kekerasan epistemik. Kenyataan yang kompleks
seolah-olah dapat terpetakan dengan jelas dan pasti. Ada sekelompok hamba yang
beribadah hanya karena dorongan rasa takut akan siksa Tuhan. Ada sekelompok hamba
yang beribadah hanya karena mengharap surga Tuhan. Ada sekelompok hamba yang
beribadah hanya karena dorongan rasa cinta yang satu dimensi kepada Tuhan.
Tipe hamba lain yang
beribadah karena semua hal itu tidak tercakup dalam kategorisasi yang
dirumuskan Ibnu Sina. Hamba tipe ini beribadah karena dorongan rasa cinta yang
multidimensi. Menurutnya, di dalam pengertian cinta terkandung pula unsur takut
dan harap, tetapi bukan sekadar takut akan siksa Tuhan dan berharap akan
surga-Nya, melainkan takut terhadap dan berharap kepada Tuhan itu sendiri.
Tuhan tidak disekutukannya dengan neraka dan surga.
Ia memandang Tuhan sebagai
pribadi yang bhineka tunggal ika. Tuhan itu Pengasih dan Penyayang tetapi sekaligus
Pembalas dan Penyiksa. Penghukuman dan keadilan Tuhan adalah manifestasi kasih sayang-Nya.
Tuhan merendahkan dan meninggikan hamba-Nya, menghinakan dan memuliakan hamba-Nya.
Pendek kata, ia tidak mampu menyingkap hakikat Tuhan secara total, utuh, dan lengkap.
Tuhan tidak terjangkau oleh akalnya. Tuhan adalah misteri yang tak tersingkap, teka-teki
yang tak terpecahkan, pertanyaan yang tak terjawab, rahasia yang tak terketahui.
Karena itu, Tuhan adalah keindahan sejati yang abadi. Daya tarik-Nya tak pernah
sirna. Kecantikan-Nya tak pernah pudar.
Meskipun hamba tipe ini
merasa tidak pernah sanggup menuntaskan identifikasinya terhadap Tuhan, ia memiliki
keyakinan yang kokoh dan kukuh bahwa Tuhan itu ada, keyakinan yang meningkatkan
secara generatif nilai ibadahnya. Barangkali, keyakinan inilah yang dikonsepkan
sebagai iman dalam agama Islam. Dan hamba itu sendirilah yang bakal menikmati buah
keyakinannya dan hasil ibadahnya: akhlak yang indah.
yogyakarta, juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam