SAYA
tak pernah berjumpa dengan orang-orang ini: Nelson Mandela, Ahmad Dahlan, Gus
Dur, dan Ki Hadjar Dewantara. Anda boleh menyebut saya sebagai pengagum mereka.
Tapi tunggu dulu, pengagum mungkin istilah yang muluk dan sentimental. Saya hanya
bocah bodoh yang ingin mengenali gagasan mereka. Atau, seorang awam yang
tertarik dengan apa yang mereka rasakan, pikirkan, dan lakukan. Itu saja.
Kita
berduka karena 5 Desember lalu Mandela meninggalkan kita. Ia mendermakan
hidupnya untuk membebaskan rakyat Afrika Selatan dan Inggris dari belenggu
rasialisme yang berpilin dengan kolonialisme. Memang Mandela berhasil mengusir
Inggris dari benua Hitam. Ia pun berhasil menggerakkan dunia untuk melawan
rasialisme. Akan tetapi, rasialisme belum benar-benar hilang. Prasangka rasial
sekaligus mental kolonial, yang bagaikan dua sisi sekeping mata uang logam, masih
berdiam dalam alam sadar dan alam bawah sadar kita.
Itu
pendapat Jean Couteau dalam rubrik Udar Rasa SKH Kompas minggu ini. Adalah hak
Anda untuk tak sepaham dengannya. Namun pendapatnya bisa jadi benar belaka.
Palestina dan Israel belum merasa lelah dan jengah berperang. Minoritas muslim
misalnya di Jerman atau Thailand masih mengalami diskriminasi. Belum pula lekang
dari ingatan kita: Farhat Abbas menghina Ahok, wakil gubernur DKI Jakarta yang
kebetulan berdarah Cina itu, bukan karena kebijakannya yang barangkali keliru,
tetapi lebih karena kecinaannya. Sebagian orang Melayu Jambi tidak
bosan-bosannya memandang orang kubu dengan sebelah mata, seolah-olah mereka
bukan manusia saja. Atau, memandang orang kubu sebagai setengah manusia,
sepertiga manusia, seperempat manusia; persis seperti dulu Londo memandang
inlander.
Prasangka
rasial Londo terhadap inlander, dan inferioritas inlander ketika
berhadap-hadapan dengan Londo, itulah yang dikisahkan Pramoedya dalam tetralogi
Buru. Karena itu, dengan menulis tetralogi Buru, Pramoedya juga mau
menyampaikan pesan humanitas: manusia pada fitrahnya setara dan sederajat; hukum dan aparat hukum tidak boleh merestui dan
menyokong penjajahan dan penghisapan manusia oleh manusia. Terkadang, kita
menggunakan kata “adil” untuk menunjukkan situasi humanitas tersebut. Kita
beruntung sebetulnya. Sebab, pesan humanitas yang terus-menerus disuarakan
kembali oleh tokoh-tokoh agung sepanjang sejarah telah tersarikan sebagai sila
kedua Pancasila: kemanusiaan yang adil dan beradab.
Menempatkan
Ahmad Dahlan, Gus Dur, dan Ki Hadjar Dewantara sebagai tokoh agung mungkin
merupakan sikap yang agak gegabah dan tergesa-gesa karena sikap seperti itu
dapat menumbuhkan dan menyuburkan pengkultusan, sedangkan pengkultusan justru
menjauhkan kita dari cita-cita yang mereka realisasikan dan mereka wariskan
kepada kita. Namun demikian, bahwa Ahmad Dahlan, Gus Dur, dan Ki Hadjar
Dewantara semasa hidupnya telah memperjuangkan cita-cita humanitas dengan
begitu gigih, tentu merupakan kenyataan yang tak menemukan penyangkalnya.
Ahmad
Dahlan secara luwes bergaul dengan komunitas nonmuslim. Bahkan, ia menyerap ide
dan praktik pedagogis misionaris yang sejalan dengan pandangan keislamannya. Ia
membuka sekolah Islam modern. Ia mengajar seperti guru eropa mengajar. Tanpa
kehilangan identitasnya, Ahmad Dahlan bergerak melampaui batas tradisi dan
sekat ideologinya. Pikirannya bersih dari prasangka-prasangka sosial-budaya
yang sempit dan dangkal. Gerakan transendentif Ahmad Dahlah itulah yang
brangkali disebut Cak Nur sebagai universalisasi Islam, dan disebut Kuntowijoyo
sebagai objektivikasi Islam. Dalam dan dengan gerakan transendentif itu,
keislaman dan kemanusiaan yang pada hakikatnya memang manunggal, kembali
menjadi manunggal.
Patah
tumbuh hilang berganti. Ahmad Dahlan pergi, Gus Dur datang dengan cita-cita
pluralisme dan kosmopolitanisme Islamnya. Minoritas Tionghoa Indonesia yang terutama
pada masa orde baru menjadi korban politik dan budaya nasional, kembali
memperoleh hak-haknya ketika Gus Dur menjadi presiden. Kini, pementasan budaya
Tionghoa bukan hal yang tabu lagi. Imlek dirayakan dengan sukacita, baik oleh
komunitas Tionghoa sendiri maupun oleh kemunitas-komunitas etnis dan agama lain.
Klenteng-klenteng tegak dengan gagah dan percaya diri, terbuka untuk umum, juga
untuk warga yang berbeda keyakinan. Tionghoa muslim telah menjadi kategori
sosial yang tidak asing lagi. Semaraklah dialog lintas budaya, lintas iman, dan
lintas ideologi. Indonesia pun pelan-pelan kembali menemukan jati diri
kebangsaannya yang hamemayu hayuning manungsa.
Saya
kira, kebangsaaan yang selaras dengan kemanusiaan itulah yang menjadi cita-cita
sekaligus citra diri Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar ialah keturunan Sunan
Kalijaga, ulama yang dengan pendekatan budaya turut mengislamkan tanah Jawa.
Akan tetapi, Ki Hadjar tidak menjadikan Islam sebagai identitas pribadi yang
dipamer-pamerkan. Islam Ki Hadjar adalah islam yang esoteris, Islam yang sunyi,
Islam yang subtantif, Islam yang menjadi jiwa bagi aktivisme politik dan
pedagogisnya. Untuk tubuh aktivismenya, ia memilih Indonesia, sebuah
universalisasi atau objektivikasi Islam pada tingkatnya yang radikal. Bukan
tanpa alasan Ki Hadjar menjalankan gerakan transendentif tersebut.
Ki
Hadjar menyaksikan bagaimana Belanda dengan gencar mengadakan klasifikisasi
sosial berdasarkan ras dan agama secara ilmiah, politik, dan ekonomi di Hindia
Belanda. Islam dipertentangkan dengan nonislam. Etnis jawa dipertentangkan
dengan etnis nonjawa. Prasangka rasial dan agama diajarkan lewat pendidikan
kolonial yang programatis dan sistematis. Potensi pemersatu dan resistensi yang
terkandung dalam agama Islam dikebiri, bahkan ditiadakan. Gerakan kemerdekaan
apa pun yang menggunakan Islam sebagai senjata ideologisnya pasti segera berakhir
dalam kegagalan. Itulah yang terjadi pada Perang Diponegoro. Itulah pula yang
dialami Sarekat Islam pada 1926.
Sementara
itu, klasifikasi sosial belanda mematangkan mental kolonial dalam diri
inlander. Dan di pihak lain, sistem pendidikan kolonial menyelenggarakan
kurikulum tersembunyi yang bertujuan untuk melanggengkan mental kolonial
tersebut. Mental kolonial menyebabkan inlander bersikap menjilat ke atas ke
londo yang putih kulitnya, menginjak ke bawah ke kawula pidak-pedarakan yang
tersia-siakan. Karena mental kolonial itu pula, seorang muslim menjadi mudah
tersulut amarahnya hanya karena provokasi remeh-temeh, sehingga dia dengan bangga
mengacung-acungkan senjata demi membunuh saudaranya sendiri yang nonmuslim;
atau sebaliknya. Dengan gaya bertutur yang memikat, dalam tetralogi Burunya Pramoedya
mengisahkan konflik horizontal di Jawa yang antara lain disebabkan oleh
mengakarnya mental kolonial dalam diri inlander ini.
Pada
kondisi demikian, ketika Islam-dalam-praktik sudah menjadi lawan dari
humanitas, Islam tidak mungkin lagi dipakai sebagai senjata ideologis untuk
merebut kemerdekaan. Maka, tidak dapat tidak, tinggal kebangsaan yang selaras
dengan kemanusiaanlah yang dapat menjalankan tugas itu ketika komunisme telah
menampakkan watak dehumanitasnya.
Perlu
digarisbawahi, kebangsaan Ki Hadjar adalah kebangsaan yang selaras dengan
kemanusiaan. Ia mencela Nazisme, penjelmaan politis dari ide kebangsaan yang
sempit, buas, dan ganas, yang bertentangan dengan asas kemanusiaan. Pada titik
ini, kita menemukan kesamaan pandangan antara Ki Hadjar dan Nelson Mandela.
Namun demikian, kesamaan paling mendasar antara Ki Hadjar dan Mandela adalah
cita-cita humanitas yang mereka perjuangkan dengan pengorbanan yang tidak
main-main, cita-cita yang juga diperjuangkan dengan semangat jihad yang tinggi
oleh Ahmad Dahlan dan Gus Dur. Saya memang tak pernah berjumpa dengan mereka.
Saya hanya seorang awam yang tertarik dengan apa yang mereka rasakan, pikirkan,
dan lakukan. Itu saja.
mantap tulisanmu jok, sangat sederhana dan bersahaja. merdeka harus dalam pengertian memerdekakan orang lain. ki hajar, gus dur, dan nelson konsisten terhadp kemerdekaan terhadap kemanusiaan.
BalasHapus