Berikut kami sajikan sinopsis Hikayat Negeri Jambi (HNJ), sebuah naskah
klasik Melayu Jambi yang ditulis pada paruh pertama abad ke-19. HNJ
berisi pseudo-sejarah Jambi sejak masa pemerintahan Tuan Talanai,
rajanya yang pertama, hingga masa pemerintahan Sultan Mahmud Fakhruddin
yang memerintah kesultanan Jambi ketika HNJ ditulis. Sepelacakan kami,
sejauh ini HNJ baru dipelajari oleh dua sarjana, Indiyah Prana
Amertawengrum dan Sergei Kukushkin. Sinopsis HNJ di bawah ini kami salin
dari tesis Amertawengrum, Hikayat Negeri Jambi: Suntingan Teks dan Analisis Struktural (1996), hlm. 2017-217. Selamat membaca.
Dusun
Muara [Jambi] merupakan tempat asal mulanya kerajaan Jambi. Rajanya bernama
Tuan Talanai. Dalam memerintah, ia dibantu oleh lima orang hulubalang. Atas
perintah Tuan Talanai, salah seorang hulubalang yang bernama Si Pahit Lidah
berhasil membuat sungai mulai dari dusun Muara [Jambi] hingga ke laut dalam
tempo satu jam. Oeh karena itu, nagari tersebut disebut Jambi.
Telah
beberapa lama Tuan Talanai bertahta, belum juga ia dikaruniai anak. Hal itu
membuatnya gundah karena memikirkan siapa yang akan menggantikannya bila ia
meninggal. Tuan Talanai dan isterinya berupaya agar mendapat anak, baik dengan
mencari obat, pergi ke dukun, maupun minta kepada para dewa.
Tidak
lama kemudian isteri Tuan Talanai hamil. Setelah genap bulan kehamilannya,
isteri Tuan Talanai melahirkan seorang anak laki-laki yang baik parasnya. Kelahiran
bayi tersebut disertai dengan tanda-tanda yang menakjubkan. Guncangan yang
ditimbulkannya membuat dukun yang menolong tidak kuasa untuk memegangnya,
bahkan papan rumah maupun atap rumah pun patah.
Kelahiran
seorang putera yang sangat dinantikannya membuat Tuan Talanai bersuka cita.
Akan tetapi, setelah mengetahui kejadian yang menyertai kelahiran puteranya
tersebut, Tuan Talanai merasa heran dan sekaligus takut kelak anaknya lebih
berkuasa sehingga akan membahayakan nagari Jambi. Untuk mengetahui ihwal
anaknya tersebut, Tuan Talanai memanggil 40 orang ahli nujum.
Dikatakan
oleh para ahli nujum bahwa anak yang baru dilahirkan itu kelak membawa bencana
yang besar bagi nagari Jambi serta menjadikan hidup Tuan Talanai tidak senang.
Agar nagari Jambi terhindar dari bencana, maka anak yang baru dilahirkan itu
harus dibuang ke laut. Mendengar kata ahli nujum, Tuan Talanai segera memberi
perintah kepada hulubalangnya untuk membuatkan peti tujuh lapis untuk membuang
anaknya.
Setelah
dihiasi dengan pakaian yang indah, sebagaimana layaknya anak seorang raja, anak
Tuan Talanai dimasukkan ke dalam peti yang jumlahnya tujuh lapis dan disertakan
pula sebuah surat di dalam peti tersebut. Selanjutnya, peti itu dibuang ke
laut.
Empat
puluh hari empat puluh malam lamanya peti itu dibawa gelombang hingga sampai ke
laut Siam dan ditemukan oleh raja Siam. Raja Siam dan isterinya merawat anak
itu dengan penuh kasih sayang. Dicarikannya inang pengasuh dan kawan
bermain-main buat anak angkatnya itu. Anak itu tumbuh menjadi anak yang sangat
ditakuti oleh kawan-kawannya bermain karena jikalau ia marah maka
dihempaskannya orang yang membuatnya marah tersebut. Melihat ulahnya yang
demikian, kawan-kawannya memperoloknya dengan mengatakan bahwa ia anak yang
tidak tentu siapa bapanya, raja Siam bukanlah orang tua yang sebenarnya
sehingga pantas apabila perilakunya sangat jahat.
Mendengar
olok-olok kawannya, anak angkat raja Siam pun bertanya kepada bundanya tentang
orang tuanya yang sebenarnya. Menginjak umur empat belas tahun, anak angkat
raja Siam teringat kembali akan perkataan bahwa ia bukan anak raja Siam yang
sebenarnya. Ia pun menanyakan kembali hal itu kepada bundanya dan menceritakan
tentang mimpinya bahwa sesungguhnya ia adalah anak Tuan Talanai, raja Jambi. Ia
bertekad akan bunuh diri bila tidak diberi tahu tentang hal yang sebenarnya.
Mengetahui anak angkatnya hendak bunuh diri, raja Siam kemudian memerintahkan
orang-orangnya untuk menyediakan kelengkapan berlayar bagi anak angkatnya yang
hendak ke nagari Jambi menemui Tuan Talanai.
Sesampai
di Jambi, ternyata Tuan Talanai tidak mau mengakui anak angkat raja Siam sebagai
anak kandungnya meskipun kepadanya telah ditunjukkan surat dari raja Siam sebagai
bukti bahwa anak itu adalah anak kandungnya. Penolakan Tuan Talanai tersebut
menyebabkan kemarahan anak angkat raja Siam dan kemudian menyerang nagari Jambi.
Dalam peperangan inilah akhirnya Tuan Talanai dibunuh oleh anak kandungnya
sendiri. Setelah berhasil membunuh Tuan Talanai, anak angkat raja Siam kembali
ke negeri Siam. Sepeninggal Tuan Talanai, negeri Jambi tidak beraja lagi.
Pada
pasal kedua diceritakan bahwa pada kurun waktu berikutnya bangsawan dari Turki datang
ke pulau berhala dan menjadi raja di pulau ini dan dikenal dengan sebutan Datuk
Paduka Berhala. Sebelum meninggal ia berpesan kepada puteranya, Datuk Paduka
Ningsun, agar mengantarkan persembahan kepada Sultan Mantaram setahun sekali.
Datuk
Paduka Ningsun menjadi raja setelah ayahnya meninggal. Ia menikah dengan
seorang puteri Ki Demang Lebar Daun dari Palembang. Pada saat menjadi raja, Datuk
Paduka Ningsung berpindah nagari ke Ujung Jabung. Ia dikaruniai empat orang
anak, yaitu Orang Kaya Itam, Orang Kaya Pingai, Orang Kaya Pedataran, dan Orang
Kaya Gemuk.
Sepeninggal
Datuk Paduka Ningsung, Orang Kaya Itam menjadi raja dan kemudian membuat nagari
di Muara Sampang yang dikenal dengan sebutan nagari Kota Tua. Pada saat menjadi
raja, Orang Kaya Itam tidak mau lagi mengantarkan persembahan kepada Sultan
Mantaram sehingga datang surat dari Sultan Mantaram menanyakan hal tersebut.
Orang
Kaya Itam, Orang Kaya Pingai, dan Orang Kaya Pedataran pergi ke Mantaram dengan
cara menyamar. Sesampai di Mantaram mereka bertiga tiba di tempat membuat
keris. Dari tukang keris itu Orang Kaya Itam mengetahui bahwa keris itu milik Sultan
Mantaram yang akan digunakan untuk membunuh Orang Kaya Itam jika datang ke Mantaram.
Hal itu menimbulkan kemarahan Orang Kaya Itam sehingga ia merampas keris itu
kemudian membunuh tukang keris dan mengamuk di pasar.
Sultan
Mantaram terdiam tatkala mengetahui bahwa orang yang mengamuk itu adalah Orang
Kaya Itam yang berasal dari Jambi. Setelah mengetahui duduk persoalan mengapa Orang
Kaya Itam tidak pernah datang ke Mantaram, Sultan Mantaram menyerahkan keris
itu kepada Orang Kaya Itam tiga bersaudara. Selain itu, diserahkannya juga
sebuah pedang dan dua batang tombak kepada Orang Kaya Itam untuk dibawa pulang
ke Jambi. Sejak saat itu Sultan Mantaram memeberikan kebebasan kepada Orang
Kaya Itam untuk datang ke Mantaram sesuka hatinya.
Sekembali
dari Mantaram, Orang Kaya Itam berhasil menundukkan beberapa dusun hingga
sampai ke Muara Tembesi. Orang Kaya Itam meninggal di nagari Kota Tua. Ia tidak
memiliki anak sehingga kedudukannya sebagai raja dilanjutkan oleh Orang Kaya
Pingai. Sepeninggal Orang Kaya Pingai, yang juga tidak mempunyai anak, Orang Kaya
Pedataran menjadi raja. Setelah Orang Kaya Pedataran meninggal, Orang Kayo
Gemuk yang berada di Mantaram dan memiliki lima orang anak pun kembali ke
nagari Kota Tua. Akan tetapi, tatkala baru sampai di pulau Tungkal, Orang Kaya
Gemuk mendadak sakit dan kemudian meninggal. Anak turunan Orang Kaya Gemuk
inilah yang selanjutnya mengadakan rukhyat raja di dalam nagari Jambi.
Pada
pasal ketiga diceritakan tentang anak keturunan Orang Kaya Gemuk menjadi raja.
Sesuai dengan wasiat Orang Kaya Gemuk, kelima anaknya bermufakat untuk
mengangkat salah satu di antaranya menjadi raja di nagari Kota Tua. Mereka
bersepakat untuk mengangkat Si Bungsu Yang Berujud menjadi raja. Sebelum
menyatakan kesediaannya menjadi raja, Si Bungsu Yang Berujud menghendaki adanya
kata mufakat dari semua saudaranya itu. Masing-masing kemudian menyatakan
kesanggupannya untuk melakukan sesuatu demi kepentingan raja dan nagari sesuai
dengan kecakapannya. Mereka membuat nagari di Rangas Pandak sehingga raja yang
terpilih diberi gelar Pangeran Rangas Pandak. Saat itulah dimulainya adat
penobatan raja.
Sementara
itu, Tuan Puteri Pinang Masak, anak raja Minangkabau bermaksud hendak membuat
nagari di Jambi yang dikabarkan telah menjadi hutan sejak ditinggal Tuan
Talanai. Mendengar berita tentang adanya puteri raja Minangkabau yang menetap
di bekas kerajaan Tuan Talanai (Muara Jambi), Pangeran Rangas Pandak mengirim
utusan untuk melihatnya. Tuan Puteri Pinang Masak merasa gembira dengan
kunjungan utusan Pangeran Rangas Pandak. Pangerang Rangas Pandak menikah dengan
Tuan Puteri Pinang Masak dan selanjutnya mereka menetap di Rangas Pandak. Mereka
memiliki empat orang anak, yaitu Pangeran Tumenggung Kabul Di Bukit, Pangeran
Adipati Tiada Katik Bayang-Bayang, Pangeran Paku Negara, dan Panembahan Di
Bawah Sawo. Pada saat Pangeran Rasas Pandak menjadi raja, belum seluruh
pucuknya Jambi sembilan lurah kepadanya, kecuali dusun-dusun yang dulu telah
ditundukkan oleh Orang Kaya Itam.
Pada
pasal keempat diceritakan tentang anak Pangeran Rangas Pandak menjadi raja.
Pangeran Tumenggung Kabul Di Bukit bermufakatan dengan saudara-saudaranya
hendak membuat nagari terlebih dahulu sebelum menetapkan raja yang baru karena
hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi raja-raja sebelumnya. Mereka membuat
nagari di Malayapura sehingga semua yang ada di Rangas Pandak pindah ke Malayapura.
Selain
membuat nagari, mereka juga bersepakat untuk menundukkan pucuknya Jambi sembilan
lurah. Setelah berhasil menundukkannya, mereka memilih salah seorang di antara
mereka untuk menjadi raja. Panembahan Di Bawah Sawo terpilih untuk menjadi
raja. Selain membuat perjanjian dengan orang-orang yang telah ditundukkannya, Panembahan
juga membuat perjanjian dengan Yang Dipertuan Balang
mengenai batas-batas daerah kerajaan. Setelah itu, mereka kembali ke tempat
masing-masing.
Sesampai
di muara sungai Tabo, Panembahan berhenti dan menyuruh orang untuk membuat
takir sejumlah seratus. Setelah diisi, takir tersebut dihanyutkan hingga
sampailah di sebelah ulu Tanah Pilih. Di tempat ini panembahan bertapa selama
tujuh hari tujuh malam dan bertemu dengan Cina yang kemudian memberinya bedil
yang bernama Si Jimat, gong bernama Si Taming Jambi, dan tombak bernama Si
Macan Turu. Di Tanah Pilih inilah akhirnya Panembahan membuat nagari dan
mendirikan keraton. Sementara itu, saudara-saudaranya yang lain membuat kampung
sendiri pula. Pangeran Tumenggung Kabul Di Bukit membuat kampung yang diberi
nama Kadipan, Pangeran Adipati Yang
Tiada Katik Bayang-Bayang membuat kampung yang diberi nama Perabon, dan Pangerann
Paku Negara membuat kampung yang diberi nama Kebumen.
Panembahan
memiliki dua orang anak, perempuan dan laki-laki. Anak perempuannya, Ratu Mas
Juminten, menikah dengan raja Johor. Anak laki-lakinya selanjutnya
dinobatkannya menjadi raja dengan gelar Sultan Agung Sri Ingalaga.
Ketika
Ratu Mas Juminten meninggal, Raja Johor tinggal bersama Sultan Agung di nagari Jambi.
Pada saat Sultan Agung sedang pergi ke ulu, Raja Johor pulang ke Johor dengan
melarikan bedil kerajaan yang bernama Si Jimat dan gong yang bernama Si Taming
Jambi.
Sekembali
dari ulu, Sultan Agung terkejut mengetahui bedil dan gong kerajaan dilarikan
oleh Raja Johor. Sultan Agung segera memerintahkan orang-orangnya untuk menyerang
nagari Johor hingga akhirnya Johor dapat dikalahkan. Nagari Johor kemudian
meminta bantuan dari Palembang dan Jambi pun minta bantuan dari Padang di bawah
pimpinan Tuan Petor. Setelah Johor dapat dipukul mundur kembali, Tuan Petor
membuat gedung di Pacinan.
Pada
pasal kelima diceritakan tentang pembuangan Sultan Agung oleh anaknya.
Diceritakan bahwa Sultan Agung mempunyai dua orang anak, Raden Gegadih dan Raden
Jumut. Raden Gegadih yang gagal membunuh Sultan Agung meminta bantuan kepada Tuan
Petor untuk membuang ayahnya ke Betawi. Mengetahui perbuatan Raden Gegadih, Raden
Jumut melarikan diri ke Muara Tabo dan kemudian diangkat sebagai raja oleh
rakyatnya dengan gelar Sultan Maharaja Batu.
Niat
jahat Raden Gegadih muncul tatkala mengetahui bahwa Raden Jumut telah menjadi
raja di Muara Tabo. Ia minta bantuan ke Palembang untuk menyerang Sultan
Maharaja Batu. Peperangan ini dapat dilerai oleh Yang
Dipertuan Minangkabau. Selanjutnya, mereka pulang ke tempat
masing-masing. Meskipun demikian, Raden Gegadih tetap saja berniat jahat kepada
Sultan Maharaja Batu. Ia minta bantuan kepada Tuan Petor untuk membuang Sultan
Maharaja Batu. Sultan Maharaja Batu tertangkap dan dibuang ke Betawi.
Sepeninggal Sultan Maharaja Batu, anak tertuanya diambil oleh Sultan Gegadih
dan diangkatnya sebagai raja untuk menggantikannya, dengan gelar Sultan Abdul
Mukhyi.
Mendengar
kabaar bahwa saudaranya menjadi raja di nagari Jambi, Raden Abdul Rahman, yang
juga putera Sultan Maharaja Batu, pergi ke hilir menemui Sultan Abdul Mukhyi
dan memaksanya untuk menyerahkan kedudukannya sebagai raja kepada dirinya. Saat
itu pula Raden Abdul Rahman menjadi raja dengan gelar
Sultan Abdul Rahman Anom Sri Ingalaga. Sementara itu, Sultan Abdul Mukhyi
dibuang ke pedalaman.
Di
dalam masa pemerintahannya, Sultan Abdul Rahman mengangkat menteri-menteri dan
memberi nama serta pangkatnya masing-masing. Seorang menterinya yang bernama Ki
Demang Miskin bermaksud memperisteri anaknya, tetapi hal itu menimbulkan
kemarahan raja-raja di dalam nagari itu. Mengetahui hal tersebut, Ki Demang
Miskin datang kepada Tuan Petor dan menyebarkan fitnah bahwa sultan bersama
raja-raja dan menteri bersepakat hendak menyerang Tuan Petor.
Akibat
fitnah yang dilontarkan oleh Ki Demang Miskin tersebut, Tuan Petor menyerang
negeri Jambi hingga berbulan-bulan lamanya. Dalam peperangan itu banyak rakyat
negeri Jambi yang mati. Sultan Abdul Rahman Anom segera menyuruh utusan pergi
menghadap Tuan Jenderal di Betawi untuk mengadukan adanya serangan Tuan Petor tanpa sebab yang jelas. Setelah
memeriksa perkara itu, Tuan Jenderal memulangkan Ki Demang Miskin ke Jambi serta
menyuruh Tuan Petor menetap kembali di Jambi. Selanjutnya, Tuan Petor membangun
kota di Muara Kumpeh.
Tatkala
Sultan Abdul Rahman meninggal, anaknya yang menjadi pangeran ratu
menggantikannya menjadi raja dengan gelar Sultan Ahmad Zainuddin. Pada masa Sultan
Ahmad Zainuddin menjadi raja inilah Tuan Petor yang berada di Muara Kumpeh
diamuk oleh orang Jambi karena persoalan dalam jual beli lada. Tuan Petor akhirnya
melarikan diri pulang ke Betawi.
Selanjutnya
hanya diceritakan secara ringkas jurai kuturunan Sultan Ahmad Zainuddin.
Sepeninggal Sultan Ahmad Zainuddin, anaknya yang menjadi pangeran ratu menggantikannya
sebagai raja dengan nama Sultan Masyhud. Sepeninggal Sultan Masyhud, anaknya
yang menjadi pangeran ratu menggantikannya sebagai raja dengan nama Sultan
Mahmud Mukhiddin. Anak Sultan Mahmud Mukhiddin yang pertama, Raden Mahmud,
dijadikannya pangeran ratu yang kemudian menggantikannya menjadi raja dengan
nama Sultan Mahmud Fakhruddin. Tamatlah hikayat ini di dalam Muara Kumpeh pada
sanat 1253 dan kepada 27 Rabiulakhir, hari Ahad tamat adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam