DOSA
itu anugerah. Jalan berbelok dan berkelok dalam rangka menghampiri Tuhan. Ibarat
lain: dosa itu jembatan. Jembatan memisahkan sekaligus menghubungkan.
Memisahkan kampung seberang sini dengan kampung seberang sana. Juga
menghubungkan kedua kampung tersebut.
Begitu
pula dosa. Dosa memisahkan, namun sesungguhnya juga menghubungkan, pendosa
dengan kebaikan dan Kebaikan. Dengan meniti jembatan, warga kampung seberang
sini dapat memijakkan kakinya di kampung seberang sana. Dengan meniti jembatan
dosa, yaitu dengan bernadam dan bertaubat, pendosa bertemu dan menyatu kembali
dengan Kebaikan. Tampaknya memang dosa menjauhkan pendosa dari Tuhan, tetapi
dosa dapat berfungsi sebaliknya, mendekatkan pendosa dengan Tuhan.
Pengertian
dosa yang tak satu dimensi ini hanya berlaku bagi hamba yang menyadari kodrat
kemanusiaannya. Manusia bukan malaikat. Ia tak bisa suci dari dosa. Dosa adalah
pakaian yang tak pernah dilepaskannya barang sedetik pun. Sekali bertaubat,
berkali-kali maksiat. Sulit untuk sebaliknya: sekali maksiat, berkali-kali
bertaubat.
Perjuangan
membersihkan hati tidak lain kecuali usaha, sadar atau pun tidak sadar, untuk mengisyafi
kodrat kemanusiaan yang rapuh dan ambivalen: dosa merupakan bagian integral
sekaligus unsur pembentuk kemanusiaan. Jangan sebut dirimu manusia jika kau
menganggap jiwamu bersih dari dosa.
Apa
implikasi etis dari pemahaman akan kodrat kemanusiaan yang rapuh dan ambivalen
ini? Manusia suci itu omong kosong. Setiap kita pasti berdosa. Maka, kerendahan
hati merupakan imperatif moral. Kesombongan mestinya ditertawakan, apalagi
kesombongan yang berakar pada perasaan suci, yang pelakunya menunggangi
simbol-simbol keagamaan untuk mempertontonkan kealiman dirinya kepada khalayak.
Kesombongan jenis ini biasanya bercampur dengan niat pamer.
Saya
tahu tentang hal ini karena saya sering mengalaminya sendiri. Bagaimana dengan
Anda? Kalau Anda tak pernah mengalami dan merasakan kesombongan suci ini,
berbahagialah, sebab Anda boleh jadi bagian dari jenis manusia yang terpilih
dan tertolong, yaitu para rasul, nabi, dan wali.
Kita
sepakat, Adam itu nabi, nabi pertama sekaligus manusia pertama. Sebagai
manusia, ia rapuh dan ambivalen. Sebagai nabi, ia ditolong dengan diselamatkan
dari kesombongan suci. Bagaimana cara Tuhan menyelamatkan Adam dari kesombongan
suci tersebut?
Syahdan,
waktu itu Hawa sudah diciptakan. Ia dan lelakinya, Adam, hidup di surga dengan
bahagia. Segala kebutuhan tercukupi. Tidak ada kesusahan. Tidak ada
penderitaan. Tidak ada lapar. Tidak ada dahaga. Tidak ada ketelanjangan. Tidak
ada panas matahari yang membakar badan dan dingin hujan badai yang menyayat
kulit. Suatu kehidupan ideal, yang bagi kita utopis.
Pasangan
manusia pertama itu hidup tenteram sampai iblis datang untuk menipu mereka
dengan mengajarkan ilusi dan kebenaran palsu. Iblis mengerti kelemahan manusia:
nalar, perangkat mental yang, celaka betul, dibanggakan manusia modern.
Sebelum
kedatangan iblis, Tuhan mempersilakan Adam Hawa untuk menikmati apa saja yang
ada di surga, kecuali buah pohon terlarang. Tuhan melarang mereka mendekati
pohon haram itu. Tapi iblis menghasut mereka dengan pertanyaan yang tampak
kritis.
Mengapa,
bisik iblis, Tuhan melarang kalian menikmati buah pohon haram itu? Larangan
Tuhan itu, dari sudut pandang kalian, tidak rasional. Tahukah kalian, jika
memakannya, kalian akan hidup abadi? Kalian akan memiliki kerajaan yang waktu
tidak dapat menghancurkannya. Bukankah yang kalian cari-cari itu adalah
keabadian? Bukankah kalian was-was, nikmat hidup di surga ini jangan-jangan
suatu saat akan berakhir? Dekatilah pohon itu. Makanlah buah itu. Agar kalian
memperoleh keabadian. Agar kalian menjadi penduduk surga selamanya.
Begitulah,
iblis menggunakan nalar manusia untuk membuat benar apa yang salah, untuk membikin
halal apa yang sebenarnya haram, dan untuk melegitimasi kedurhakaan kepada
Tuhan. Sampai sekarang, iblis masih menggunakan strategi nalar ini untuk
merekrut pengikut.
Bagai
seorang awam yang termakan tipuan rasional seorang cendekiawan, Adam Hawa
termakan oleh tipuan rasional yang diajarkan iblis. Mereka memetik buah pohon
terlarang itu. Memakannya. Demi keabadian.
Meskipun
telah melanggar larangan Tuhan, mereka mulanya merasa tak berdosa. Toh,
tindakan mereka rasional belaka. Secara nalar, tidak salah. Tapi bagi Tuhan,
pelanggaran adalah pelanggaran. Kedurhakaan tetaplah kedurhakaan. Nalar tidak
identik dengan kebenaran. Bahkan, boleh jadi, nalar malah bertentangan dengan
kebenaran.
Manakala
Adam Hawa memakan buah terlarang, jatuhlah titah Tuhan. Mereka harus keluar
dari surga. Pindah ke bumi. Pendurhaka tak pantas tinggal di surga. Pendosa
harus hidup di bumi, tempat segala ketaksempurnaan dan kesemantaraan, tanah ketaksucian,
medan permusuhan dan pertumpahan darah.
Fasilitas
surgawi yang dulu dinikmati Adam Hawa dicabut. Kini mereka mengalami kesusahan.
Penderitaan. Kelaparan. Dahaga. Ketelanjangan, yang memunculkan rasa malu,
sehingga mereka lekas-lekas menutupi tubuhnya dengan dedaunan. Juga merasakan
panas matahari yang membakar badan, dingin hujan badai yang menyayat kulit.
Segala kenikmatan tinggal kenangan. Bisakah masa lalu kembali?
Adam
mungkin mempertanyakan hal itu. Mungkin juga tidak. Kita tak pernah dengan
detail tahu apa yang berkecamuk dalam dada Adam setelah ia dikeluarkan dari
surga. Kita hanya mendengar berita dari langit yang disampaikan nabi bahwa
Adam merasa begitu berdosa dan begitu menyesali kedurhakaannya, bahwa Tuhan
mengajarkannya kalimat taubat, dan bahwa Tuhan menerima taubatnya. Demikianlah
cara Tuhan mengajarkan taubat kepada Adam. Demikianlah cara Tuhan
mensucikannya. Demikianlah cara Tuhan menyelamatkannya dari kesombongan suci.
Sekiranya
Tuhan tak membiarkan Adam berlaku dosa, Beliau tak punya alasan—jika kita
mengira bahwa Tuhan bertindak harus berdasarkan alasan—untuk memindahkan Adam
dari surga ke bumi. Dan sekiranya Tuhan tak menulis skenario pemindahan
tersebut, Adam barangkali terperosok dalam jurang kesombongan suci.
Semasa
masih tinggal di surga, barangkali Adam menyangka bahwa manusia itu suci. Tak
tersentuh dosa sama sekali. Kesucian ini merupakan keunggulan manusia atas
makhluk yang lain. Malaikat memang suci, tapi Tuhan telah memerintahkan
malaikat untuk memuliakan Adam, meninggikan manusia. Artinya, derajat manusia
lebih tinggi daripada malaikat. Artinya lagi, nilai kesucian manusia lebih
tinggi daripada nilai kesucian malaikat. Manusia, yang diwakili Adam, lebih
unggul daripada malaikat.
Kesucian
dari dosa dan penghormatan oleh malaikat adalah dua pemantik yang berpotensi
menyalakan api kesombongan suci Adam. Tapi Tuhan menyelamatkan Adam. Pemantik
pertama, kesucian dari dosa, dihancurkan dengan membiarkan Adam berlaku dosa
memakan buah pohon terlarang. Adam kemudian insyaf, dosa merupakan kodrat
manusia. Ia juga insyaf, justru karena kodrat keberdosaannyalah manusia
berpeluang untuk menempati kedudukan yang lebih tinggi daripada malaikat.
Malaikat
itu suci dan tak perlu mensucikan diri. Kesucian manusia beda dengan kesucian
malaikat. Tidak ada manusia suci, yang nilai dan bentuk kesuciannya serupa
dengan nilai dan bentuk kesucian malaikat. Kalau pun kerusakan tatanan budaya
dan sosial mengharuskan kita bicara tentang manusia suci, predikat kesucian
yang disandangnya sudah harus dipahami secara lain, yaitu secara tidak final
dan statis.
Bagi
manusia, kesucian adalah proses. Proses panjang, berat, dan melelahkan dalam
rangka membersihkan hati. Jihad akbar yang hampir-hampir mustahil dikerjakan.
Harapan setinggi langit yang hampir-hampir tak mungkin dibumikan.
Kendati
demikian, pendosa yang bertekad dan berjuang membersihkan hati, dilarang
berputus asa. Sebab, pada hakikatnya manusia tidak kuasa mensucikan dirinya
sendiri. Pada akhirnya Tuhanlah yang mensucikannya. Seperti Tuhan mensucikan Adam.
Sebab lain: membersihkan hati adalah kewajiban yang jauh lebih wajib daripada
kewajiban salat, puasa, zakat, haji.
Apalah
artinya ibadah ritual jika tak disertai kemauan keras membersihkan hati. Ia
hanya akan menjadi ibadah yang hampa makna. Tak berbekas di jiwa. Tak melahirkan
transformasi etika yang otentik. Tak menciptakan perbaikan karakter. Akhirnya,
tak mendukung dan mendorong kemajuan sosial dan budaya, malah mendegradasikan
budaya dan memporak-porandakan harmoni sosial. Ibadah menjadi kontraproduktif,
menyimpang dari orientasi spiritual yang digariskan.
Untuk
mengorientasikan ibadah, baik ibadah berbentuk vertikal maupun horizontal, kita
memerlukan dosa, perasaan selalu berdosa, yang berfungsi sebagai titik tolak
pembersihan hati. Kita memerlukan kesadaran akan ketaksucian pribadi yang
melahirkan kerendahan hati, sebuah sikap mental yang membuat kita mau dan mampu
menghormati, menghargai, dan meninggikan manusia lain. Mau dan mampu memanusiakan
manusia, ngewongke wong. Apapun latar
belakang agama, kebudayaan, kebangsaan, dan politiknya. Bagaimana pun tingkat
ekonomi, sosial, dan pengetahuannya. Kita membutuhkan dosa, perasaan selalu
berdosa, agar kembali terhubung dengan kebaikan dan Kebaikan.
Jadi,
para pendosa boleh tersenyum. Tak perlu tenggelam dalam kedukaan
berlarut-larut. Jangan terus-menerus berputus asa. Sebab, dosa adalah undangan
dari Tuhan untuk memasuki rumah-Nya dan bertatap wajah dengan-Nya. Pada rumah
Tuhan, ada banyak pintu. Salah satunya pintu taubat. Dosa adalah kunci untuk
membuka pintu taubat tersebut. Dalam urusan ini, Adam, bapak kita itu, ialah
teladan yang baik.
Yogyakarta, Juli
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam