I
Setalah Orde
Baru tumbang, sejarah Indonesia dan sejarah sastra Indonesia memasuki babak
baru. Sejumlah penulis baru dari latar belakang sosial dan budaya yang beragam,
dengan gagasan dan cara pengucapan baru, tampil dalam panggung sastra kita. Pada
fase ini, sastra Indonesia menyaksikan maraknya penulis perempuan yang
megajukan proposal kesetaraan gender, tepatnya keadilan gender, dalam karya
sastra mereka (Wiyatmi, 2012: 65-78). Sekilas, hal ini memang tampak sebagai
kemajuan literer dan kemajuan kebudayaan. Namun demikian, kemajuan literer itu
sesungguhnya problematis. Kemajuan kebudayaan itu tidak luput dari kritik.
Sebab, beberapa penulis perempuan, yang paling kontroversial ialah Djenar Mahesa
Ayu dan Ayu Utami, menggugat ketidakadilan gender dengan menabrak pagar etika
Timur yang menjadi idealitas alam pikiran agamis masyarakat Indonesia.
Terutama
bersandar pada licencia poetica dan
visi kebaruan (newness), dalam karya
sastranya mereka menggambarkan fenomena seksual hampir tanpa tedeng aling-aling.
Mereka pun menghadirkan tema-tema yang pada periode sebelumnya tabu untuk
digarap, misalnya tema seputar Lesbian, Gay, Bisex and Transgender (LGBT).
Wajarlah apabila kritikus sastra yang dalam kerangka berpikirnya tidak
memisahkan etika, estetika, dan teologi, lebih-lebih yang berlatar belakang
keagamaan, melabeli karya sastra penulis perempuan itu sebagai sastra biru,
sastra selangkangan, sastra wangi, atau sastra daging.
Polemik sastra
wangi sedikit banyak mengaburkan pandangan kita akan keragaman dan kekayaan
realitas sastra Indonesia pasca-Orde Baru. Selain sastra wangi, ada fenonema
sastra kontemporer lain yang tak kalah menonjol, antara lain menculnya karya
sastra bercorak tradisi lokal, Tionghoa, Islam, dan sufi dalam jumlah yang tak
bisa dianggap kecil. Sebagaimana sastra wangi, fenomena-fenomena literer ini
tidak mengada dalam ruang hampa sejarah dan hampa sosial. Masing-masing corak
sastra tersebut memiliki akar sejarah yang panjang, bahkan merentang jauh
hingga masa ketika negara Indonesia masih merupakan embrio. Mereka juga
merupakan respon kreatif atas kondisi sosial yang melatarbelakangi kelahirannya.
Menonjolnya
karya bercorak sufi dalam sastra Indonesia barangkali menandai kebangkitan
spritualitas dalam ranah kebudayaan Indonesia. Manakala materialisme menjadi
gaya hidup yang dengan sadar atau tidak sadar dianut mayoritas masyarakat,
spiritualitas, termasuk spritualitas Islam yang disebut sufisme atau tasawuf,
menghadirkan dirinya secara tegas untuk menjawab persoalan dekadensi budaya
tersebut. Dalam konteks sastra Indonesia pasca-Orde Baru, sastra sufi, yaitu
karya-karya sastra Indonesia yang terpengaruh oleh sufisme, menjadi penyeimbang
dari sekaligus jawaban bagi sastra daging. Jika sastra daging menyalakan api
birahi pembacanya, sastra sufi memadamkannya dengan air makrifat.
Penjelasan
singkat tentang sastra sufi dalam konteks sastra Indonesia kontemporer di atas
menunjukkan pentingnya unsur sufisme dalam sastra Indonesia. Tanpa membicarakan
unsur ini, sastra Indonesia tidak dapat dipahami secara utuh dan lengkap. Sebab
itulah, dalam rangka memahami sastra Indonesia secara mendalam, pembicaraan
tentang unsur sufi atau sufisme dalam sastra Indonesia menjadi mutlak perlu
diadakan.
Penulis,
lantaran berbagai keterbatasan, dalam artikel tidak bermaksud menyajikan hasil
analisis seluruh korpus data sastra sufi yang terdapat dalam sastra Indonesia
modern, dengan hipotesis yang kuat dan dengan konsep yang dapat menjelaskan hakikat,
warna, dan dinamikanya. Penulis hanya akan mendeskripsikan beberapa sampel
karya sastra Indonesia yang dipilih secara arbitrer untuk menunjukkan adanya
unsur sufisme dalam karya-karya tersebut. Sebelum deskripsi itu disajikan, secara
ringkas akan dibicarakan terlebih dahulu apa sesungguhnya sufisme atau tasawuf
itu. Terakhir, seluruh pembicaraan dalam artikel ini akan diringkas dalam
kesimpulan.
II
Meskipun
berbeda dalam komponen dan susunan fonemis, sufisme dan tasawuf merupakan dua
istilah yang dapat digunakan secara bertukar-ganti tanpa menimbulkan
kebingungan semantis yang berarti. Para sarjana kajian keislaman umumnya
menggunakan baik sufisme maupun tasawuf untuk merujuk realitas yang sama. Buku
klasik mengenai sufisme, Sufism: A Short
Introduction (2000) karangan William C. Chittick, orientalis yang menekuni
kajian sufisme, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tasawuf di Mata Kaum Sufi (2002). Buku klasik
lain dalam subjek ini, What is Sufism?
karangan Martin Lings, teoretisi dan praktisi sufisme, diterjemahkan dengan
judul Membedah Tasawuf (1991).
Lantas,
apa sufisme atau tasawuf itu? Chittick (2002: 46) mengakui bahwa sufisme tidak
mudah didefinisikan. Realitas yang diwadahi oleh konsep ini begitu kompleks.
Definisi, yang pada kodratnya senantiasa mereduksi realitas itu, tidak
disetujui oleh praktisi tasawuf. Seringkali mereka menerangkan apa itu tasawuf
secara konkret dan praktis saja. Itu sebabnya, para praktisi tasawuf sulit
menemukan titik temu dalam mendefinisikan dunia yang digelutinya itu. Sebagaimana
Chittick, Schimmel (dalam Ali, 2005: 140), sarjana spiritualisme Islam
terkemuka, juga menemui jalan buntu dalam usahanya mendefinisikan tasawuf.
Menurutnya, definisi tasawuf yang kita rumuskan hanya akan menyentuh salah satu
sudut atau aspeknya saja. Walaupun bisa menyebabkan disalahpahaminya hakikat
tasawuf, definisi parsial seperti ini tetap diperlukan sebagai petunjuk awal
untuk menyelami lubuk tasawuf lebih dalam.
Terlepas
dari kesulitan pendefinisian tasawuf itu, sebagai pegangan, dalam makalah ini
dipilih dan digunakan definisi sufisme atau tasawuf menurut Anshoriy (2008: 25)
yang sederhana, tetapi cukup dapat menggambarkan hakikat tasawuf, kendati tidak
lengkap dan menyeluruh. Bagi Anshoriy, tasawuf adalah suatu upaya atau usaha
untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tekun beribadah dan melalui
pembersihan jiwa dengan jalan memutuskan ketergantungan hati selain kepada
Allah dan menjauhkan diri dari kemewahan dunia dan segala akibatnya. Maka,
tasawuf terutama memiliki dua esensi. Pertama, pendakatan hamba kepada Allah.
Kedua, penyucian jiwa. Tujuan salik, demikian praktisi tasawuf disebut, adalah
mendekati Allah, dalam arti menemukan-Nya. Metodenya dengan mensucikan jiwa
dari segala noda, najis, dan penyakit hati.
Sebagai
ekspresi keyakinan spiritualnya sekaligus sebagai kritik sosial-politik, konon
pada mulanya praktisi tasawuf enggan mengenakan sandangan yang mewah. Mereka
hanya memakai baju yang terbuat dari kain wol atau bulu domba kasar (shuf). Menurut keterangan yang populer, dari
sinilah istilah sufi, tasawuf, dan sufisme berasal. Namun demikian, keterangan
etimologis yang populer ini menyimpan masalah. Sebab, kata ‘tasawuf’ ternyata
dapat diturunkan dari tidak hanya satu akar kata. Maka, para sarjana pengkaji
sufisme akhirnya tidak menemukan kata sepakat dalam menentukan etimologi
istilah tasawuf (Ali, 2005: 140-142; Chittick, 2002: 45; Lings, 1991: 39-40).
Selain
dengan melacak akar kata tasawuf, pengertian kita tentang subjek ini dapat
diperdalam dengan mengamati kedudukan tasawuf dalam agama Islam. Dalam rangka
menguraikan masalah ini, Chittick (2002: 21-26) mengutip sebuah hadis yang
terkenal sebagai ‘Hadis Jibril’. Hadis itu menyebutkan, pernah Jibril menemui
Muhammad saw. dalam rupa seorang lelaki pengembara badui. Tanpa diketahui dari
mana datangnya, lelaki itu sekonyong-konyong duduk bertelimpuh di hadapan Muhammad
saw. yang tengah berbincang-bincang dengan para sahabatnya, kemudian menanyakan
kepada Muhammad saw. beberapa hal, antara lain apakah islam itu, apakah iman
itu, dan apakah ihsan itu. Muhammad saw. menjawab, Islam adalah bersaksi bahwa
tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan
salat, membayar zakat, berpuasa Ramadan, dan menunaikan ibadah haji; iman
adalah percaya kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari
kiamat, dan takdir Allah (baik yang baik maupun yang buruk); ihsan adalah
engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sekiranya engkau
tak dapat melihat-Nya, Dia pasti melihat-Mu. Setelah Jibril pergi, Muhammad
saw. menyatakan bahwa lelaki tadi adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan
apa makna agama (al-din) kepada para
sahabatnya, maksudnya kepada umat Islam.
Hadis
Jibril tersebut menerangkan bahwa iman merupakan dasar teologis atau pandangan
dunia seorang muslim, Islam merupakan ekspresi ritual atas pandangan dunia itu,
dan ihsan merupakan cara yang memungkinkan seorang muslim memaknai dan menyempurnakan
ekspresi ritual tersebut. Inilah tiga serangkai aspek pembangun agama yang
menentukan tegak robohnya agama Islam. Iman adalah aspek intelektual agama yang
berhubungan dengan doktrin-doktrin dasar Islam yang bidang ilmunya disebut
kalam, Islam adalah aspek formal yang secara teknis diistilahkan sebagai
syariat yang bidang ilmunya dinamakan fiqih, dan ihsan adalah aspek rohani
agama yang kajian dan praktiknya terutama digeluti oleh kaum sufi yang bidang
ilmunya disebut tasawuf.
Sejalan dengan
pengertian tasawuf yang dirumuskan Anshariy, Ismail (2005: 307) menyatakan
bahwa ajaran pokok tasawuf berkisar sekitar proses penyucian jiwa dan jalan
pendekatan diri menuju Tuhan. Saat menempuh jalan panjang dan berat itu salik
melewati tahapan-tahapan yang disebut maqamat
(stasiun). Sementara itu, di sela-sela perjalanan tersebut ia mengalami ahwal (keadaan mental) tertentu.
Ada sedikitnya enam
versi teori maqamat yang beredar di
kalangan tasawuf: teori 7 maqamat
al-Sarraj, teori 7 maqamat al-Jilli,
teori 40 maqamat al-Khair, teori 6 maqamat al-Qusyairi, teori 7 maqamat al-Ghazali, dan teori 10 maqamat al-Kalabadzi. Dari semua versi
tersebut, yang paling sering dibicarakan—sepanjang penelusuran penulis—adalah
teori maqamat al-Kalabadzi, yang
terdiri dari 10 tingkatan atau stasiun yang berjenjang-berurutan dari tingkat
paling dasar sampai tingkat paling puncak, yaitu: (1) tobat, (2) zuhud, (3)
sabar, (4) fakir, (5) rendah hati (tawaduk), (6) takwa, (7) tawakal, (8) rida,
(9) cinta (mahabbah), dan (10)
makrifat (Ismail, 2005: 308-316; Ali, 2005: 144-152; Kartanegara, 2006:
184-202). Manakala mencapai stasiun terakhir, sufi penempuh jalan spiritual
mengalami pengalaman religius khusus yang disebut dengan beragam istilah: fana-baqa, ittihad, hulul, dan wahdatul wujud (Ali, 2005: 149-152).
III
Jika kita memahami
‘Indonesia’ lebih sebagai konsep geo-budaya daripada konsep geo-politik, kita
akan melihat bahwa pengaruh sufisme dalam sastra Indonesia telah berumur sangat
tua, lebih tua daripada umur sastra Indonesia modern itu sendiri—menurut versi
siapa pun. Sebagai bagian tak terpisahkan dari agama Islam, sufisme masuk ke
nusantara bersamaan dengan masuknya agama Islam.
Dalam proses islamisasi
itu, baik dalam arti ekstensifikasi maupun intensifikasi, kaum sufi menggubah
karya sastra yang dikategorikan klasik dalam khasanah, antara lain, sastra
Melayu dan Jawa, dua tradisi sastra besar yang diakui atau tidak merupakan
induk dan ilham sastra Indonesia modern. Sebagai contoh, di tanah Melayu,
Hamzah Fansuri beserta murid-muridnya menciptakan syair-syair sufistis,
sedangkan di tanah Jawa Sunan Bonang menggubah sejumlah prosa-liris suluk: Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk
Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Gita Suluk Latri, Suluk Jebeng, dan Suluk Wujil (Hadi, 2005: 369-376).
Setelah masa Sunan
Bonang, sufisme terus memberikan pengaruh terhadap sastra Jawa sehingga
bermunculanlah pujangga-pujangga sufistis Jawa yang terkenal, di antaranya
Mangkunegara IV, Pakubuwana IV, dan Ranggawarsita. Demikian pula, dalam ranah
sastra Melayu, pengaruh ajaran sufi masih terlacak sampai pada
sastrawan-sastrawan perintis sastra Indonesia modern yang berlatar belakang
kebudayaan Melayu. Pengaruh ini khususnya terasa sekali pada Amir Hamzah.
Lama setelah periode
pujangga baru Amir Hamzah, pengaruh sufisme dalam sastra Indonesia menguat pada
1970-an ketika sejumlah sastrawan merumuskan konsep sastra sufi dan
mencanangkannya sebagai gerakan literer. Pelopornya ialah Abdul Hadi WM,
Kuntowijoyo, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, dan M. Fudoli Zaini. Danarto
mengumandangkan gerakan kembali ke sumber, senada dengan eksponen sastra sufi
yang lain yang menggagas gerakan kembali ke tradisi. Kembali ke sumber dapat berarti kembali mencari ilham penciptaan
langsung dari sumber kreatif kehidupan: Tuhan, setelah rata-rata sastrawan
Indonesia mencari ilham penciptaan dari sastra dan kebudayaan asing.
Kuntowijoyo mencanangkan sastra profetik, yang pada substansinya adalah sastra
sufi juga.
Sebelum lahirnya sastra
sufi secara konseptual, kecenderungan sufistis menurut Hadi (2005: 388) telah
terlihat pada karya Taufiq Ismail, Arifin C. Noer, Ikranegara, D. Zawawi Imron,
Emha Ainun Nadjib, dan Hamid Jabbar. Selanjutnya, Hadi mencatat bahwa dalam
generasi 1980-an terdapat sejumlah penulis yang menunjukkan kecenderungan
sufistis dalam puisi-puisi mereka: Ajamuddin Tifani, Ahmad Nurullah, Abidah
el-Khaliqy, Sonie Faried Maulana, Jamal D Rahman, Agus Sardjono, Isbedy Setiawan,
dan Acep Zamzam Noer. Nama-nama sastrawan berkecenderungan sufistis lain yang
belum disebutkan Hadi adalah Suminto A Sayuti, Rendra, Iman Budhi Santosa,
Ahmadun Yosi Herfanda, Kuswaidi Syafii, Ahmad Tohari, AA Navis, Dimas Arika
Mihardja, A Mustofa Bisri, Mustofa W Hasyim, Abdul Wahid BS, Aguk Irawan MN,
dan lain-lain.
Nama-nama itu menulis
jenis pertama sastra sufi. Karya-karya mereka mengungkapkan atau berisi
gagasan-gagasan sufistis. Jenis sastra sufi kedua adalah karya yang berisi
kritik atas sufisme. Karyatama Achdiat K Mihardja, Atheis, termasuk ke dalam jenis ini.
Melalui lidah Rusli,
tokoh yang Marxis, Achdiat mengkritik Islam dan sufisme. Kepada Hasan, tokoh
utama Atheis yang menghayati Islam
sebagai warisan leluhur dan menekuni sufisme sebagai pelarian dari kegagalan
cinta, Rusli mengajarkan bahwa agama itu candu bagi masyarakat. Agama merupakan
penghalang besar kemajuan umat manusia. Ajaran modern ini menyebabkan Hasan bimbang
dengan keislaman dan kesufiaannya. Meskipun hingga menjelang ajalnya
terus-menerus bergulat dalam kebimbangan ini, Hasan tidak bisa melepaskan
dirinya dari Islam dan sufisme. Sebelum nyawanya melayang, ia berkata, Allahuakbar.
Sikap kritis Achdiat
terhadap Islam, khususnya sufisme, dalam Atheis
sudah tergambar secara tersirat sejak halaman-halaman awal. Saat Hasan
kecil, di rumahnya menginap seorang tamu yang ayahnya sangat menghormatinya,
pengikut tarekat bernama Haji Dahlan. Dalam naskah roman biografisnya yang tak
rampung, Hasan menggambarkan perilaku ayahnya dan Haji Dahlan saat mereka
berbincang-bincang tentang tasawuf.
Tapi yang masih kuingat sekali,
ialah caranya Haji Dahlan bercerita. Banyak tertawa, dan banyak bertanya: “bukan?!”
di belakang hampir tiap kalimat. Yang masih aku ingat pula ialah janggutnya
yang meruncing ke depan seperti janggut kambing benggala. Sambil bercakap ia
suka mengelus-elus janggutnya.
Ayah mendengarkan dengan
sungguh-sungguh. Ia duduk bersila menghadap Haji Dahlan yang duduk di atas
sehelai kulit kambing, seraya tak ada henti-hentinya memetik tasbih hitam.
Depan masing-masing sebuah mangkok besar berisi kopi tubruk.
Sekali-sekali kalimat Haji Dahlan
terputus oleh suara bibir yang menyeropot air kopi yang masih panas.
Kadang-kadang suara seropot itu disusul oleh suara sendawa “eueueu”, yang
segera disusul pula oleh ucapan “Alhamdulillah”, sedang gondok lakinya naik ke
atas sertak dengan lehernya yang memanjang. Kemudian disahuti pula oleh suara
“eueueu” juga dari kerongkongan ayah.
Jarang-jarang ayah mengemukakan
sesuatu pertanyaan, dan biarpun banyak bertanya “bukan?”, atau justru karena
banyak bertanya “bukan?”, Haji Dahlan sangat lancar bicaranya, seperti seorang
guru yang masih hafal pelajarannya. Tetapi sebaliknya, ayah sendiri seperti
seorang murid yang takut dipandang bodoh, tak berani bertanya sendiri. Padahal
rupanya banyak juga yang tidak dapat dimengerti oleh ayah.
(Atheis,
2011:13)
Sekilas,
penggambaran itu terlihat netral, tetapi sebenarnya merupakan suatu karikatur
yang kritis. Dengan tidak terbahak-bahak, Achdiat menertawakan para penghayat
tasawuf, yaitu Haji Dahlan yang menggurui dan kurang etika dan ayahnya yang penakut
dan tidak kritis. Pada halaman-halaman atheis
selanjutnya, penertawaan lirih ini ditindaklanjuti sedemikian rupa sehingga atheis dapat dipandang sebagai kritik
terhadap kecenderungan untuk menggeluti sufisme secara ikut-ikutan belaka; juga
sebagai kritik terhadap mereka yang memasuki dunia sufi sebagai pelarian dari permasalahan
kehidupan, diungkapkan dalam idiom Marxian, sebagai candu masyarakat. Jadi,
sufisme dalam Atheis dicitrakan
secara negatif.
Citra yang sepenuhnya
positif terhadap sufisme terdapat dalam puisi-puisi Amir Hamzah. Bahkan,
sebagai penyair, Amir Hamzah telah tersedot masuk ke dalam dunia tasawuf dan
menghayati doktrin-doktrinnya. Lebih jauh lagi, puisi sufistis Amir Hamzah boleh
dipandang sebagai jalan kerohanian atau suluk. Sastrawan angkatan Pujangga Baru
yang oleh HB Jassin dijuluki raja penyair ini melanjutkan tradisi sastra yang
pernah dijalani oleh Sunan Bonang dan Hamzah Fansuri. Salah satu puisi
sufistisnya yang terkenal berjudul Padamu
Jua.
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu
Satu kasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihku sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu—bukan giliranku
Mati hari—bukan kawanku
Menunggu seorang diri
Lalu waktu—bukan giliranku
Mati hari—bukan kawanku
(Pradopo, 2010:
128-129)
Padamu
Jua merekam
perjalanan rohani Amir Hamzah dalam rangka mendekati dan menemukan Kau-lirik,
yaitu Tuhan. Bagi penggubah dan pembacanya, baik yang menekuni laku tasawuf
maupun tidak, puisi ini berfungsi sebagai sarana transendensi. Bentuk formal
diterobos dengan menggunakan bentuk formal itu sendiri. Simbol dari alam
empiris digunakan sebagai jembatan untuk menghantarkan kesadaran kita menuju
alam metafisik. Yang bukan-Tuhan, yaitu makhluk, dipakai sebagai simbol untuk
mengiyaratkan kehadiran-Nya. Yang profan dijadikan tangga naik menuju puncak
yang sakral. Menurut Hadi (2004: 58), bahasa karya sastra yang menyandang
fungsi ini bukanlah ungkapan lahir, tetapi kias dan simbol (mitsal). Pembaca jangan terlena dan
terjebak pada ungkapan lahirnya. Ia harus menafsirkan ungkapan lahir itu
sebagai dunia simbol yang melambangkan dunia lain yang berada di balik alam
empiris. Jadi, engkau-lirik “yang serupa dara di balik tirai” itu, yang “pelik
menarik ingin” sang penyair bukanlah perawan tertentu yang hidup di alam nyata,
tetapi Tuhan yang sifat dan perilakunya dipersonifikasikan sebagai perawan.
Kerinduan dan
kecemburuan yang tergambar dalam puisi itu juga bukanlah kerinduan dan
kecemburuan profan, tetapi kerinduan dan kecemburuan spiritual. Kerinduan aku-lirik
mengungkapkan kerinduan primordial manusia kepada Tuhannya, yang dalam
terminologi tasawuf disebut isyq.
Kecemburuan engkau-lirik merupakan kecemburuan Ilahi yang baru dapat dipahami
dan dirasakan oleh praktisi tasawuf yang menghayati doktrin tauhid, suatu
doktrin yang sentral posisinya dalam alam tasawuf. Judul puisi, Padamu Jua, sendiri sudah menyiratkan adanya
cinta (mahabbah) aku-lirik yang
sungguh-sungguh kepada Tuhan dan keikhlasannya untuk pulang kembali kepada-Nya
(taubat al-nasuha). Dalam teori 40 maqamat al-Khair, mahabbah, ikhlas, dan taubat
merupakan tiga stasiun yang harus dilewati sufi untuk sampai pada stasiun
terakhir: maqam tasawwuf (Ali, 2005:
144).
Begitulah, dalam Padamu Jua ada dimensi horizontal
sekaligus vertikal. Namun demikian, dimensi horizontal di situ hadir tak hanya
sebagai simbol untuk menyatakan dimensi vertikal. Dimensi horizontal pun hadir
sebagai rekaman pengalaman percintaan penyair selama hidupnya. Puisi ini
mengungkapkan dengan samar-samar perjalanan cinta penyair dari cinta manusia ke
cinta Ilahi. Setelah segala cintanya dengan seorang perempuan nyata hilang
terbang dan terkikis habis, ia kembali pulang kepada Tuhan, menemui Kekasih
sejatinya, satu-satunya kekasihnya, yang sabar, setia, tetapi pencemburu, yang
selalu ada bahkan di saat-saat krisis, bagai kandil yang cahayanya gemerlapan,
atau bagai jendela yang terbuka di malam gelap.
Jika Padamu Jua Amir Hamzah melukiskan
kilatan pengalaman spiritual mahabbah,
puisi Abdul Hadi WM, Tuhan, Kita Begitu
Dekat, melukiskan pengalaman spiritual yang lain: ittihad, lebih tepatnya hulul,
yaitu bertempatnya sifat ketuhanan (lahut)
pada sifat kemanusiaan (nasut).
Tuhan.
Kita
begitu dekat.
Sebagai
api dengan panas.
Aku panas dalam apimu.
Tuhan.
Kita
begitu dekat.
Seperti
kain dengan kapas.
Aku
kapas dalam kainmu.
Tuhan.
Kita
begitu dekat.
Seperti
angin dan arahnya.
Kita
begitu dekat.
Dalam
gelap
kini
aku nyala
pada
lampu padamu
1976
(Hadi, 1977: 40)
Dalam puisi itu, aku-lirik
merasa sebegitu dekatnya dengan Tuhan. Kedekatan tersebut diibaratkan laksana
kedekatan api dan panas. Tuhan adalah api yang panas, sementara aku-lirik
adalah sifat panas api itu. Dengan demikian, sifat ketuhanan bersemayam dalam
wadah kemanusiaan. Tuhan, Kita Begitu
Dekat tampaknya adalah ungkapan kemabukan cinta ilahi penyairnya. Pada
puncak perjalanan spiritualnya, sufi mengalami salah satu dari dua hal: atau
kemabukan spiritual (sukr), atau
ketakmabukan spiritual (sahw).
“Kemabukan spiritual,”
tulis Chittick (2002: 57) “terjadi karena dikuasai kehadiran Allah dan
menandakan kebahagiaan para penempuh jalan sufi dalam menemukan sumber abadi
dari segenap keindahan dan cinta dalam diri mereka sendiri. Para penempuh jalan
ini menyaksikan Allah dalam segala sesuatu sehingga hilanglah kemampuan mereka
untuk membedakan-Nya dari makhluk atau memilah yang benar dari yang salah”.
Chittick melanjutkan, sufi yang mengalami kemabukan spiritual mengekspresikan
pengalaman spiritualnya dalam syair atau puisi. Secara ideal, puisi memang
merupakan genre sastra yang cocok
untuk digunakan sebagai media pelukisan alam imajinal pengetahuan yang tunggal
dan tidak berhijab (Chittick, 2002: 59).
Sementara Abdul Hadi WM
mengungkapkan kemabukan spiritualnya dengan media puisi, Danarto mengekspresikannya
melalui cerpen. Salah satu cerpen kemabukan spiritual Danarto yang menarik
untuk dibicarakan adalah cerpen berjudul gambar hati yang tertusuk panah—kita
sebut saja judulnya Rintrik, mengambil nama tokoh utamanya, sekadar untuk
memudahkan identifikasi.
Rintrik adalah hikayat
al-Hallaj (244 H/859 M – 309 H/913 M), sufi Baghdad yang dihukum mati karena
kemabukan spiritualnya, dalam versi Danarto. Bagi seorang Jawa, cerpen ini
tentu mengingatkannya pada kisah Syekh Siti Jenar yang menurut cerita folklor juga
dihukum mati oleh dewan Wali Sanga karena kemabukan spiritualnya. Rintrik,
perempuan suci, saleh, dan keramat, itu dieksekusi mati oleh Sang Pemburu.
Sebab, menurut pandangan tokoh yang merupakan simbol penguasa hipokrit ini,
Rintrik ialah seorang ateis antisosial yang telah meracuni masyarakat,
mengacaukan suasana, dan menyebarkan kata-kata yang berbahaya bagi rohani.
Danarto menutup cerpen Rintrik dengan akhir yang konvensional: Rintrik mati di
tangan Sang Pemburu, sebagaimana al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar mati di tangan
eksekutornya. Nasib Rintrik tidak dapat lain kecuali mati.
Dibandingkan dengan
kisah syariat versus hakikat lain, yang unik dari Rintrik adalah martir sufinya seorang perempuan. Unik, namun tidak
baru. Unik dari segi kemartirannya, tidak baru dari segi kesufiannya. Salah
seorang perintis tasawuf, Rabiah al-Adawiyah, adalah sufi perempuan, guru besar
tasawuf yang pertama kali mengajarkan doktrin cinta ilahi (mahabbah) (Ali, 2005: 147-148). Entah terinspirasi oleh al-Adawiyah
sebagai model atau tidak, Danarto mendongeng bahwa Rintrik juga memendam rasa
cinta yang besar terhadap Tuhan. Sedemikian besar rasa cinta itu sampai-sampai
menjelang ajalnya Rintrik menyatakan bahwa keinginan terakhirnya adalah suatu
syahwat yang besar sekali, yaitu melihat wajah Tuhan.
Gambaran cinta Ilahi
yang lain dari yang tergambar dalam Rintrik,
terdapat dalam cerpen Sepotong Kayu untuk
Tuhan, karangan Kuntowijoyo. Tokoh cerpen ini ialah lelaki tua pecinta
Tuhan sederhana dari kalangan awam yang ingin mengamalkan ilmu ikhlas, sebutan
lain untuk cinta Ilahi. Sekali saja seumur hidupnya ia ingin memberikan sesuatu
untuk Tuhan, semata-mata untuk Tuhan. Kesempatan datang ketika di kampungnya
masyarakat sedang bergotong-royong menyumbang ini dan itu untuk membangun
surau. Dalam pembangunan surau itu, ia mau menyumbang kayu nangka. Namun, ia
tidak ingin sekadar menyumbang kayu nangka, ia ingin menyumbang kayu nangka
untuk pembangunan masjid, artinya semata-mata untuk Tuhan, tanpa sepengetahuan
orang lain.
Demi tujuan itu, ia
berhasrat menebang sendiri pohon nangka tua yang kayunya akan disumbangkan.
Tetapi, ketuaannya memustahilkan hal itu sehingga ia meminta tolong kepada
seorang penebang pohon berusia muda. Orang yang telah mengetahui rahasia
besarnya ini dimintanya untuk merahasiakan rahasia besarnya dari mata
masyarakat. Setelah ditebang dan dibalok, bersama pemuda penebang pada suatu
magrib ia menghanyutkan sepotong kayu itu di sungai yang alirannya menuju
lokasi sekitar masjid. Ternyata sepotong kayu itu tidak mengalir menuju arah
yang seharusnya karena pada malam harinya terjadi banjir. Sepotong kayu untuk
Tuhan itu hanyut entah ke mana. Mengetahui itu, lelaki tua pecinta Tuhan yang
sederhana tersebut membatin, kayu itu telah “sampai kepadaMukah, Tuhan?”
Selain ikhlas, cerpen
ini mengandung sekurang-kurangnya dua warta sufistis lain. Pertama, manungsa winenang
ngudi, purba wasesa ing hastane Gusti. Manusia hanya bisa berencana, hasil
akhir ditentukan Tuhan. Inilah makna tawakal, salah satu maqam yang terdapat dalam teori maqamat
al-Sarraj, al-Kalabadzi, al-Qusyairi, dan al-Khair. Kedua, sebuah tindakan kecil boleh jadi bernilai besar dan tidak
bisa disepelekan. Besar kecilnya tindakan tidak diukur pada hasilnya, tetapi
pada prosesnya, utamanya pada niatnya. Tuhan melihat niat-kerja seorang hamba,
tidak melihat hasil-kerja. Seorang sufi selalu memperhatikan bagaimana
penglihatan dan penilaian Tuhan terhadapnya.
IV
Sesudah melewati
penjelasan yang relatif panjang mengenai sufisme dalam sastra Indonesia,
sampailah kita pada sejumlah kesimpulan.
Pertama,
sufisme merupakan unsur yang menonjol dan penting dalam sastra Indonesia. Tanpa
membicarakan unsur sufisme, tidak mungkin memahami sastra Indonesia secara
utuh, lengkap, dan menyeluruh. Ini terutama karena sastra sufi merupakan benang
merah yang menyambungkan sastra Indonesia klasik dan sastra Indonesia modern.
Kedua,
pengaruh sufisme dalam sastra Indonesia modern kian meluas dan mendalam.
Setelah generasi pelopor, yaitu generasi konseptor sastra sufi 1970-an,
bermunculan banyak sastrawan muda yang menempuh sufisme sebagai jalan sastra.
Konsekuensinya, semakin menumpuklah karya-karya sastra bercorak sufi dalam
khasanah sastra Indonesia modern. Sayangnya, belum banyak peneliti sastra yang
mengkaji karya-karya tersebut. Karena itu, tampaknya kita memerlukan sekelompok
peneliti dan kritikus sastra yang secara khusus mendalami sastra sufi di Indonesia.
Ketiga,
diperhatikan
secara sederhana dan kasar, berdasarkan isinya ada dua jenis sastra sufi dalam
khazanah sastra Indonesia modern, yaitu (1) yang mengungkapkan atau berisi
gagasan sufistis dan (2) yang berisi kritik atas sufisme. Atheis Achdiat K Mihardja termasuk jenis kedua, sedangkan Padamu Jua Amir Hamzah, Tuhan, Kita Begitu Dekat Abdul Hadi WM, Rintrik Danarto, dan Sepotong Kayu untuk Tuhan termasuk jenis
pertama.
Kepustakaan
Ali, Yunasril. 2005. “Tasawuf” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 4:
Pemikiran dan Peradaban (peny. Taufik Abdullah, dkk.). Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve.
Anshory CH, Nasruddin. 2008. Mengintip Singgasana Tuhan. Surakarta: Babul Hikmah.
Chittick, William C. 2002. Tasawuf di Mata Kaum Sufi. Bandung: Penerbit Mizan.
Danarto. 1987. Godlob.
Kumpulan Cerita Pendek. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Hadi WM, Abdul. 1977. Tergantung pada Angin. Kumpulan Sajak 1975-1976. Jakarta: Budaya
Jaya.
Hadi WM, Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas. Esai-Esai Sastra Sufistik dan
Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari.
Hadi WM, Abdul. 2005. “Sastra Islam di Alam Melayu”,
dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam
Jilid 4: Pemikiran dan Peradaban (peny. Taufik Abdullah, dkk.). Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve.
Ismail, Asep Usman. 2005. “Tasawuf” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3:
Ajaran (peny. Taufik Abdullah, dkk.). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Kartanegara, Mulyadhi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kuntowijoyo. 1992.
Dilarang Mencintai Bunga-Bunga.
Kumpulan Cerpen Kuntowijoyo. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Lings, Martin. 1987. Membedah Tasawuf. Jakarta: Penerbit Pedoman Ilmu Jaya.
Mihardja, Achdiat K. 2011. Atheis. Jakarta: Balai Pustaka.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wiyatmi. 2012. Kritik
Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam