Bagi pembaca yang, katakanlah, serius, membaca esai seorang pengarang
tentang proses kreatifnya, merupakan hal yang riskan. Kalau tak hati-hati, dia
bisa terjebak pada intentional fallacy, kekeliruan pemaknaan yang disebabkan
oleh asumsi bahwa pengarang berhasil menyampaikan pesan yang hendak disampaikan
melalui karya sastra ciptaannya. Ada garis lurus yang pasti antara pesan yang
dikehendaki pengarang dengan pesan yang tertuang dalam struktur karya. Akan
tetapi, tanpa membaca esai tentang proses kreatif itu, pemaknaan yang ditemukan
pembaca akan berjarak dari konteks di luar karya sastra, khususnya konteks
ekspresif. Pemaknaan akan berakhir pada ketak-utuhan.
Jalan tengah dari dilema ini adalah berpegang pada prinsip bahwa pesan yang
terkandung dalam karya sastra tidak harus sejalan dengan pesan yang dikehendaki
pengarangnya. Adakalanya karya sastra mengikuti kemauan pengarang, tetapi
adakalanya pula dia mengambil jalan lain untuk menuju alamat yang lain pula.
Jadi, ada ketegangan antara karya sastra dengan pengarang. Pembaca berdiri di
tengah dan di atas ketegangan ini, menjadi semacam kanal atau mediator, juga
menjadi pengamat. Dengan peran dan posisi tersebut, pembaca berhak memilih
untuk sekadar menjadi saksi atau menjadi hakim.
Secara sadar, saya lebih memilih menjadi saksi daripada hakim. Sebab,
peristiwa pembacaan di dalam mana pembaca mengambil bagian aktif, telah
menjauhkan pembaca dari objektivitas. Dia adalah variabel yang bernapas dalam
perjalanan kehidupan karya sastra. Tidak hanya pengarang yang memberi makna,
pembaca pun turut menyumbangkan makna kepada karya sastra tersebut. Makna yang
diberikan pembaca itu akan aktual ketika dia mengekpresikan tanggapannya dalam
bentuk apresiasi.
Inilah ketegangan kedua dalam peristiwa pemaknaan, yaitu ketegangan antara
karya sastra dengan pembaca. Boleh jadi, pembaca mengaharapkan makna tertentu
dalam karya sastra yang akan dinikmatinya, tetapi ternyata karya sastra itu
malah menghadirkan makna yang lain atau sama sekali lain. Boleh jadi pula,
karya sastra mengandung pesan tertentu, entah pesan itu dikehendaki atau tidak
oleh pengarang, tetapi pesan tersebut ternyata tidak ditangkap oleh pembaca
atau ditangkapnya secara keliru. Atau, pembaca sesungguhnya menangkap pesan
tersebut, tetapi dia sengaja mencari pesan yang lain, memberi makna yang lain,
bahkan yang bertolak belakang dari yang dikandung karya ataupun yang
dikehendaki pengarang.
Menemukan makna lain dari suatu karya sastra inilah yang ingin dicapai oleh
pembaca yang membongkar. Ada semacam kepercayaan padanya bahwa karya sastra
tidak mutlak padat, rapi, dan rampung. Bangunannya tidak sempurna. Sekokoh dan
seanggun apa pun, bangunan itu tidak dapat mengelak dari kerumpangan. Tidak
dapat tidak, dia adalah bangunan yang menyembunyikan keretakannya dari muka
umum, dari telisik dan selidik mata pembaca.
Begitulah, karya sastra adalah suatu ambivalensi. Dipandang dari jauh, dia
kelihatan ayu. Tapi, apabila kita mengenalnya dengan sangat dekat, keayuan itu
rupanya hanya lamis. Ketika menjumpai kenyataan ini, pembaca yang membongkar
tidak patah hati sebab dia telah punya asumsi, sebelum masuk ke dalam peristiwa
pemaknaan, bahwa karya sastra sesungguhnya tidak punya struktur yang mantap dan
kokoh, seberapa pun tingginya tingkat kejeniusan sang pengarang.
Namun demikian, tersingkapnya ambivalensi suatu karya oleh pembaca yang
membongkar, tidaklah merugikan dan mencelakakan kehidupan karya tersebut,
justru sebaliknya, malah meluaskan dan merentangkan jangkauan kehidupannya.
Karya sastra memperoleh napas baru. Kreativitas pembaca, bahkan yang paling
dekonstruktif sekalipun, merupakan hal yang menguntungkan dan berharga dalam
peristiwa pemaknaan yang dinamis.
Kalau kreativitas pemaknaan ini dihukum mati karena pembacaan yang
membongkar dinilai sebagai heretisme, yang bakal mati bukanlah kreativitas itu
sendiri--sebab kreativitas tak bisa dipancung, tetapi yang tercabut nyawanya
adalah karya sastra, kemudian pada akhirnya sang pengarang. Sikap terbaik
adalah menyaksikan peristiwa pemaknaan tanpa mengeluarkan fatwa. Peristiwa
pemaknaan dibiarkan mengalir apa adanya. Biarlah sejarah yang kelak menunjukkan
makna mana yang aus termakan hujan dan panas dan makna mana yang tak lekang
oleh waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam