Nama merupakan perkara sangat
penting, apalagi nama masjid, rumah kediaman Tuhan. Untuk memberi nama masjid, umat
islam sering harus melewati proses yang kompleks. Filosofi di balik nama sebuah
masjid, harus dalam, harus pula matang, jangan lupa harus gagah dan mentereng.
Dan tentu saja, harus mencerminkan jiwa keagamaan. Jiwa keagamaan ini
ditunjukkan dengan dua cara, secara substansial dan secara artifisial.
Karena itu, penentuan nama masjid
berpotensi memancing perdebatan alot. Di kampung-kampung, hanya tokoh
kharismatislah yang bisa meredakan perdedabatan itu dengan memilih salah satu
alternatif nama, menggabungkan alternatif nama yang ada secara serasi ataupun
tidak serasi, atau mengusulkan nama yang dirancangnya sendiri.
Masjid-masjid di Yogya, daerah di
mana keraton islam-jawa hingga kini masih bertahan, secara kategoris punya nama
yang bervariatif. Nama-nama itu diambil dari beberapa bahasa: arab, jawa,
Indonesia—yang saya tahu baru tiga itu saja.
Masjid dengan nama arab, saya percaya
itu mah biasa. Di mana-mana kita menjumpai masjid dengan nama arab. Tapi di
yogya, barangkali juga di banyak tempat di Indonesia, nama masjid yang diambil
dari bahasa arab bisa mengundang senyum geli.
Ada masjid kecil, di kampung
wonocatur, bantul, yang oleh penduduk setempat diberi nama arab: az-zahrotun—saya
tulis apa adanya, sesuai dengan cara penulisan nama masjid tersebut yang
terpampang di gapuranya. Maksud muslim setempat memilih nama arab itu barangkali
untuk menunjukkan jiwa keagamaannya. Tapi hasilnya, maksud mereka tak
kesampaian. Justru karena nama yang pasti terdengar asing bin aneh di telinga
penutur arab asli itu, kita jadi mengerti bahwa pemahaman mereka tentang agama
islam tidak mendalam, sebagaimana dibuktikan oleh ketidakterampilan mereka
menggunakan bahasa arab. Mereka menunjukkan jiwa keagamaan tidak secara
substansial, tetapi secara artifisial belaka.
Mengikuti kaidah gramatikal, nama
itu mestinya ditulis az-zahrotu, tanpa ‘n’ di ujung kata. Secara praktis
mestinya dilafalkan az-zahroh. Pelafalan az-zahrotu biasanya terdengar hanya
dalam forum-forum tertentu, misalnya pembelajaran gramatika.
Lepas dari masalah gramatikal itu,
masyarakat setempat sesungguhnya pandai memilih nama masjid. Az-zahrotu artinya
‘bunga’, bunga yang itu, bukan bunga pada umumnya. Siapakah bunga itu? Apa
mereka melambangkan Tuhan sebagai bunga? Apa mereka membayangkan masjid sebagai
bunga padma atau teratai? Ada kemungkinan, bunga itu merujuk pada putri
Muhammad, Fatimah az-zahrah, Fatimah sang bunga. Benar demikian?
Saya kurang tertarik menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Saya lebih tertarik membayangkan seandainya
konsep nama masjid itu mereka bahasa-indonesiakan saja. Jadi, masjid itu tidak
bernama masjid az-zahrotun, melainkan masjid bunga. Bukankah itu nama yang
manis dan unik? selain itu, ia bisa mensugesti jamaahnya yang orang Indonesia
dan kebanyakan tidak paham bahasa arab untuk mencitrakan islam sebagai agama
keindahan. Keren! Masjid bunga. Masjid adalah bunga, setidaknya: masjid itu
laksana bunga.
Selain entah berapa banyak masjid
bernama arab, di yogya ada masjid yang bernama sangat njawani, yang kebetulan
merupakan masjid agung kabupaten bantul. Namanya masjid manunggal. Probosutedjo
punya peran besar dalam pembangunan masjid ini. Bukan hanya nama, arsitekturnya
pun sangat njawani, lebih ekspresif dan semarak ketimbang masjid gedhe
kasultanan.
Pada dinding depan pengimaman,
melekat gunungan raksasa berupa kayu yang diukir dengan kaligrafi aksara arab gaya
jawa. Gunungan, kita tahu, adalah simbol religiositas orang jawa yang
menyembunyikan berlapis-lapis makna. Plafon beranda diukir juga dengan
kaligrafi arab. Salah satu materi kaligrafinya adalah beberapa ayat
al-quran—persisnya ayat berapa surah apa saya tidak ingat—yang menjelaskan
siapa abd al-rahman itu, siapa hamba Yang Maha Pengasih itu.
Ayat ini tampaknya dipilih dengan
pertimbangan kebudayaan. Raja-raja jawa hingga sekarang bergelar abdurahman
sayidin panatagama khalifatulah ing tanah jawi. Pada gelar itu, terselip frasa
abdurahman. Di antara misi profetik orang jawa adalah hamemayu hayuning bawono.
Tidak dapat lain, misi ini terlaksana hanya dengan adanya penghayatan yang
total dan kompleks akan rasa kasih sayang. Konsep kasih sayang dalam bahasa arab
dilambangkan dengan tiga huruf, yaitu r-h-m, yang diturunkan ke dalam banyak
kata, antara lain rahman.
Kata ‘manunggal’ sendiri, sebagai
nama masjid, sangat mencerminkan nilai-nilai kejawaan (pembahasa-indonesiaan
‘kejawen’) atau islam-jawa. ‘Manunggal’ sering disamakan begitu saja dengan
konsep ittihad, hulul, atau wihdatul wujud, tiga doktrin yang sentral posisinya
dalam sufisme heterodoks. Tapi bagi saya, ‘manunggal’ lebih cocok dipadankan
dengan istilah sufistik lain yang netral: fana’, atau makrifat. Orientasi
spiritual orang jawa, katanya, ya manunggal atau makrifat itu, lengkapnya
manunggaling kawula gusti, melebur menjadi tunggalnya hamba dan gusti.
Kata ‘gusti’ sengaja tak saya
bahasa-indonesiakan. Sebab, kata ini punya tidak hanya satu referensi arti. Ia
bisa menunjuk kepada Tuhan, tetapi bisa juga menunjuk kepada raja dan kepada
priyayi bukan raja yang diabdi oleh seorang kawula, rakyat kecil. Karena itu,
kata ‘gusti’ mengungkapkan bagaimana orang jawa memaknai kekuasaan: Raja atau ratu
adalah bayangan tuhan yang memancarkan cahaya ilahiah, dengan sendirinya
menyandang sifat-sifat ilahiah.
Itu sebabnya, ada pengamat yang
menyatakan bahwa dalam pandangan kejawaan, raja merupakan emanasi tuhan. bahkan,
ada yang menggunakan konsep titisan hindu untuk menjelaskan kedudukan raja
dalam alam pikiran jawa: raja adalah titisan tuhan, suatu penjelasan yang sulit
diterima bagi muslim jawa ortodoks yang menyangkal konsep penitisan.
Untuk bisa memancarkan cahaya
ilahiah, raja harus mencapai maqam manunggal dengan tuhan. manunggaling kawula
gusti, dilihat dari perspektif sang raja. Manunggaling gusti lan Gusti, dilihat
dari perspektif rakyat kecil. Baru ketika maqam ini tercapai, jalan bagi raja
untuk melunasi kewajibannya sebagai abdurahman, panatagama, dan khalifatulah
terbuka lapang.
Pada saat itulah sang raja
benar-benar menjadi pemangku dunia (hamengkubuwono) yang mendapat restu langit
untuk membikin indah tatanan dunia (hamemayu hayuning bawono). Kalau raja
menjalankan tanggung jawab spiritual politiknya dengan kesungguhan, kerajaan
menjadi gemah ripah loh jinawi, berkah tercurah di tanah mana saja, hingga ke
pelosok-pelosok negara, hingga ke sudut-sudut kota dan desa.
Jadi, nama masjid agung bantul,
manunggal, memang sangat njawani. Demi tujuan manunggal-lah masjid dibangun. Baik
muslim yang hanya rakyat jelata, lebih-lebih muslim yang kebetulan adalah raja,
harus memiliki hanya satu motivasi ibadah, yaitu manunggal, pulang kepada
asal-usulnya, kembali kapada sangkan-parannya.
Tipe nama masjid yang ketiga adalah
nama yang diambil dari bahasa Indonesia. Di Yogya tidak banyak. Yang benar-benar
bikin penasaran, nama masjid yang terletak di glagahsari, umbulharjo, kota madya yogya. Masjidnya tidak begitu besar. Tidak juga amat luas. Gaya bangunan
modern, dengan kubah, tidak dengan atap prismatik tumpang tiga. Berdiri di
depan jalan utama. berandanya luas. Halamannya luas. Namanya masjid sebelas
maret.
Sebelas maret, apakah maksudnya?
Bagi peminat sejarah, sebelas maret mengingatkan pada surat misterius yang
mengesahkan kepemimpinan soeharto, surat perintah ‘sebelas maret’, yang secara
simbolik oleh kekuasaan diakronimkan menjadi super semar. Semar yang
biasa-biasa saja, yang tidak super, mampu menaklukkan dewa-dewa yang serba di
atas manusia, apalagi semar yang super.
Itu artinya, membereskan keadaan
negara yang centang-perenang, bagi super semar atau semar super adalah urusan
gampang, juga bagi seoharto yang menerima surat sakti itu. Sebagai monumen,
masjid sebelas maret di jalan glagahsari itu dibangun untuk mengekalkan ingatan
kita tentang hal inikah? Apa masjid sebelas maret merupakan bagian dari
seperangkat besar mitologi politik orde baru, persis fungsi monumen supersemar
yang menyempil tapi menonjol di ujung selatan jalan malioboro? Mungkin begitu. Tapi
mungkin tidak.
Nama sebelas maret untuk masjid
tersebut boleh jadi tidak ada kaitannya sedikit pun dengan super semar. Murni
gagasan warga setempat yang tidak bertendensi politik. Karena mulai dibangun
pada sebelas maret entah tahun berapa, masjid itu pun dinamai masjid sebelas
maret. Memang, tanggal sebagai nama bangunan, termasuk masjid, kedengaran tidak
lumrah. Namun, ketidaklumarahan itu adalah bentuk kreativitas yang justru
menggoreskan kesan yang dalam, yang memudahkan kita mengingatnya dan
melestarikan ingatan tersebut.
Apapun latar belakang pemberian
nama untuk masjid itu, nama sebelas maret menggoda saya untuk mengembangkan
pikiran analogis yang nakal. Gedung-gedung universitas yang kadang diberi nama
tokoh intelektual—tidak hanya ditandai dengan huruf, angka, atau gabungan
keduanya—sepertinya menarik jika kita beri nama tujuh belas agustus, satu suro,
dan… ini dia: empat belas februari. Ngepop banget.
Tujuh belas agustus nama untuk
gedung fakultas ilmu politik. Satu suro untuk gedung jurusan filsafat, teologi,
dan antropologi yang ditaruh dalam satu kotak keilmuan. Empat belas februari
untuk gedung fakultas humaniora. Universitas yang memiliki gedung dengan
nama-nama ini, tampaknya akan cepat populer. Saya perkirakan, gedung tujuh
belas agustus akan menjadi arena bagi para mahasiswa beradu keras suara megafon.
Gedung satu suro bila malam akan digunakan sebagai tempat pertapaan. Mahasiswa fakultas
tersebut bisa ngangsu kawruh langsung kepada ahlinya. Adapun gedung empat belas
februari pada malam minggu akan merupakan lokasi kencan favorit.
Khayalan ini masih kurang nakal. Khayalan
yang lebih nakal: tanggal sebagai nama manusia. Kepada saya, seorang perempuan
cantik memperkanalkan diri. Namaku, katanya, lima juli. Apa saya terkejut
ketika mengetahui namanya yang unik itu, dari mulutnya sendiri? Seorang pemuda
yang gagah, dengan semangat berkobar-kobar, cita-cita melangit, dan bahasa
Indonesia yang baik dan benar, berkenalan dengan dengan saya. Ia bilang, namaku
dua puluh delapan oktober. Mendengar nama itu, saya, yang bahasa Indonesia-nya
memble, kontan merasa seperti disambar petir.
Kalau benar ada pemuda bernama dua
puluh delapan oktober, saya akan mengusulkan kepada balai bahasa untuk
menunjuknya sebagai duta bahasa Indonesia. Dalam forum-forum kebahasaan, dia
tak perlu banyak bicara. Cukup hadir dan diam. Keberadaannya sudah merupakan
kritik atas sikap berbahasa Indonesia kita.
Nama memang bisa dimaknai sebagai
kritik, selain sebagai harapan sebagaimana pada umumnya nama, contohnya nama masjid
agung bantul tadi, manunggal. Az-zahrotun barangkali juga nama dengan muatan
harapan yang tinggi, tetapi, bagi saya, ia lebih berfungsi sebagai sarana
ekspresi ketimbang lambang harapan. Lain halnya nama sebelas maret. Fungsi terbesarnya
adalah untuk mengabadikan kenangan, mengekalkan ingatan.
Begitulah, masjid-masjid yogya
punya beragam nama. Masing-masing nama mengandung latar belakang, filosofi, dan
fungsi yang khas. Mereka menyembunyikan maknanya tersendiri yang kadang lupa
kita usut asal-asulnya. Padahal, nama-nama itu adalah kunci untuk membuka pintu
gudang pengetahuan yang menjelaskan siapa sebenarnya kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam