memang, sejak merantau pada 2007, setiap tahun saya pulang ke jambi untuk berlebaran bersama keluarga, tetangga, dan sahabat. pada setiap kepulangan, saya merasakan bahwa di jambi tidak ada perubahan yang perlu dicatat. bertahun-tahun jambi berjalan di tempat. semua masih sama, kecuali jalan bertambah buruk, lampu lalu lintas semakin sia-sia.
tapi, ketika saya pulang lagi pada 2013 lalu untuk mengikuti suatu diskusi, saya terkejut. jambi sedang berjalan ke arah yang belum bisa diperhitungkan secara pasti. hotel-hotel dan mal-mal baru dibuka, tersebar di sejumlah titik. seiring dengan itu, pemerintah daerah memugar bandara domestik sultan taha. ada jalan protokol yang dirapikan, tetapi banyak jalan lain yang dibiarkan rusak, termasuk jalan lintas antarprovinsi. areal perkebunan sawit kian meluas. tambang-tambang batu bara dibuka.
di pinggiran satu dua jalan penting, kedai-kedai hadir berderetan. menawarkan bandrek dan lain-lain minuman, tongkrongan yang ramai oleh muda-mudi. katanya, ada juga yang membuka angkringan, warung makan kecil dengan gerobak dorong yang berasal dari bayat, klaten, tetapi juga marak di solo dan di yogya.
plakat nama lembaga-lembaga kedinasan sudah tertulis dengan dua aksara, yaitu aksara latin dan aksara arab melayu. seorang peneliti senior iain sultan taha, dalam diskusi yang saya hadiri, bercerita tentang dua kelompok islam, tradisionalis dan neo-salafi, yang berebut kuasa di sebuah masjid. kaum tradisionalis bersikap defensif saat berhadapan dengan strategi ofensif lawannya, kaum neo-salafi. golongan islam moderat memperoleh teman beradu baru, golongan neo-salafi. konflik baru muncul, sementara konflik lama, antara NU dan Muhammadiyah, belum terdamaikan.
dunia kampus bersalin rupa. baik unja maupun iain, dua kampus negeri di jambi, yang dulu adem ayem, mulai bergerak. ketika saya sedang menuju balai arsip daerah, kesatuan mahasiswa dari beberapa elemen berunjuk rasa di kawasan telanai pura, kota jambi. sejumlah elemen masyarakat lain bergabung bersama mereka. tampaknya aktivis LSM. saya lupa isu apa yang mereka wacanakan, tapi saya ingat, jumlah dan semangat mereka tidak dapat dipandang sebelah mata. metode aksi mereka cenderung anarkis. ada bendera merah berkibar. ketika kembali ke yogya, saya mengikuti perkembangan gerakan mahasiswa di jambi, dengan membaca pemberitaan media lokal secara on-line. elemen gerakan mahasiswa lain pun rupanya sering turun jalan. tidak saja bendera merah, bendera hijau pun berkibar. bahkan, kabarnya bendera hitam juga ikut berkibar. tidak sekadar trend, aksi-aksi mahasiswa berlangsung kontinyu, dengan interval yang tak konstan tentu.
sekarang, ketika pemerintahan jokowi dinilai gagal oleh sebagian kalangan, mahasiswa jambi turun ke jalan. terhadap pemerintah, kritik mereka keras. aparat keamanan merespons hal itu dengan kekerasan. ada mahasiswa, dari sebuah kelompok islam, yang terluka. saya membandingkan situasi di jambi dengan di yogya. yogya merupakan salah satu pusat gerakan mahasiswa. itu terjadi sejak orde baru hingga orde reformasi. sejauh ini, di yogya belum muncul aksi mahasiswa lintas-elemen dalam mengkritik jokowi. kondisi masih relatif tenang. jambi tampaknya lebih radikal daripada yogya. ini gejala sosial yang mengundang pertanyaan. dari mana radikalitas itu berasal? bagaimana proses radikalisasinya? apa sebab dan akibat struktural dari radikalitas tersebut?
bahwa jambi itu radikal, bukan sesuatu yang mengagetkan. jambi bukan tak punya pengalaman perlawanan. semasa kesultanan, rakyat kumpeh telah mengadakan perlawanan terhadap belanda. belanda kemudian dibikin pusing oleh perang jambi, dengan sultan taha sebagai panglimanya. beberapa tahun setelah sultan taha ditaklukkan, rakyat sarolangun mengamuk. perlawanan itu dikenang sebagai pemberontakan sarekat abang. setelah kemerdekaan, ketika soekarno bertindak otoriter, rakyat jambi terlibat dalam pemberontakan dewan banteng. provinsi jambi lahir dari rahim pemberontakan yang kemudian menjelma sebagai PRRI tersebut. setelah PRRI dilumpuhkan, semangat perlawanan, radikalitas orang jambi, tampaknya melempem.
selama orde baru, jambi begitu patuh. meskpun tidak memperoleh kue pembangunan sepantasnya, bahkan sumber daya alam dan manusianya dirampok oleh perusahaan-perusahaan cendana, jambi tetap patuh kepada jakarta. hingga dasawarsa pertama reformasi pun, semangat perlawanan jambi belum bangkit.
semangat perlawanan itu tampaknya baru bangkit pada dasawarsa kedua reformasi. barangkali sekarang sedang menuju klimaksnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam