ada
metafor romantik yang disematkan pada puisi. dia bagai lentera ketika kita
berjalan dalam kepungan kegelapan. dengan cahaya lentera itu, kita dapat
melihat berbagai tikungan, simpangan, halang dan rintang dan aral jalanan. kita
terjauhkan dari kesesatan, sekurang-kurangnya kembali pada trayektori semula
apabila tersesat. tapi tentulah tidak semua puisi merupakan lentara bagi
musafir kehidupan.
yang saya
temukan, kebanyakan puisi hanyalah kitsch yang digubah tanpa pertimbangan
budaya yang matang. puisi yang lentera seumpama mutiara di kedalaman lautan.
ada, tetapi sukar diperoleh, terbatas jumlahnya. salah satu mutiara itu adalah
puisi berjudul Di Samping Terompah Raden Rama--selanjutnya disebut Di
Samping saja. dia digubah iman budi santosa, penyair sepuh yogya yang berproses
kreatif bersama umbu, linus, cak nun dan lain-lain. berikut salinannya secara
lengkap.
DI SAMPING
TEROMPAH RADEN RAMA
:
Pasewakan Agung Ayodya
Kalah janji
dengan permaisuri Kekayi
Dasarata
kehilangan taji
dan
memilih pulang ke alam sonyaruri
Sedang
Barata malah menebar teka-teki
pulang
dari hutan Dandaka ia meletakkan terompah Rama
di
singgasana dan menyimpan mahkota
dalam
kamar pusaka
"Aku
bukan raja." Suara Barata membahana
dalam pasewakan
agung Ayodya
dan ketika
narapraja bersujud
ia
berpaling melepaskan diri dari kemelut
Sementara
singgasana diduduki sepasang terompah
balairung
termenung menunggu sembarang titah
"Aku
hanya wakil raja, Bunda." Kembali Raden Barata
menghadang
keris tombak bicara.
Tiga
permaisuri menggangguk
seluruh
ponggawa pun diam terduduk
Keraton
tenteram, hari bulan tahun teranyam
ketika tak
terbelah patembayatan oleh kuasa
yang
dipertaruhkan, dibesarkan dalam angan-angan
2010
(Ziarah
Tanah Jawa, 2013: 69)
saya
membaca puisi ini sebagai semacam renungan atas drama politik yang terjadi di
negeri ayodya pada zaman epos ramayana. bukan sembarang renungan, tetapi
renungan istimewa yang oleh penyair agaknya sengaja dihadirkan sebagai cermin
bagi pembaca tertentu yang istimewa kedudukan politiknya. saya tak tahu pasti
dan tak hendak memastikan siapakah pembaca istimewa tersebut. namun begitu,
sebagaimana puisi pada umumnya yang bersifat terbuka, tirta makna puisi ini
bisa pula disauk dan diteguk oleh kalangan pidak pedarakan seperti saya.
meskipun
Di Samping menyebutkan sejumlah tokoh ramayana, figur utama di dalamnya adalah
Raden Barata. dia saudara tiri Raden Rama, sebapak, tapi lain ibu. menurut
paugeran, pewaris sah tahta ayodya, setelah raja dasarata kelak meninggal,
adalah raden rama. namun, hak pewarisan itu goyah manakala sang raja membuat
sebuah perjanjian kuasa dengan calon permaisurinya yang baru, ialah kekayi.
perawan kekayi rela dinikahi dasarata asalkan sang raja ikhlas menyerahkan
ayodya kepada anaknya, bukan kepada raden rama. raja setuju. rara kekayi naik
ke pelaminan dengan harapan yang melampaui tinggi bintang. kini dasarata punya
tiga permaisuri: ibunda raden rama, ibunda raden lesmana, dan kekayi yang bakal
melahirkan raden barata.
menjelang
suksesi, saat dasarata memasuki gerbang kehidupan senjakalanya, kekayi menagih
janji. dia menekan sang raja agar memberikan kerajaan kepada raden barata.
dasarata tercenung di persimpangan jalan. menoleh simpang kanan, dia harus
mempertahankan paugeran. menghadap simpang kiri, dia pun harus menepati janji.
dia terhimpit di antara dua kebenaran. semua pilihan menuntut resiko besar.
salah ambil langkah, kerajaan ayodya remuk-redam diharu-biru perang saudara.
pada
kondisi demikian, kekayi malah bertindak sepihak. dia mengusir raden rama
sekelurga dari ayodya. ketika raden lesmana mengikuti langkah kakak tirinya
untuk memasuki hutan karena diusir, itu tidak meresahkan kekayi. keresahannya
muncul saat raden barata juga ingin mengikuti rama. putra kinasihnya ini
ternyata begitu menyayangi, menghormati, dan mengagumi sang putra mahkota
sejati. kekayi menghadang langkah raden barata, tetapi yang dicegah terus saja
menjalankan tekadnya. memikirkan kejadian tak diduga dan tak diharapkan itu,
dasarata jatuh sakit, kemudian meninggal dalam penyesalan.
sementara
itu, di lain tempat, raden barata berhasil menyusul raden rama; sebetulnya
tidak hanya untuk mengikuti langkah sang kakak, melainkan juga untuk
mengembalikan tahta kepada siapa yang berhak. entah dewa mana yang merasuk ke
dalam dirinya, raden rama memberikan jawaban yang boleh dikatakan bersifat
adimanusiawi. dia tidak mengambil hak atas tahta yang diserahkan kembali, malah
balik mempercayakan ayodya kepada raden barata. raden barata menolak, sedangkan
rama kukuh dengan sikap zuhudnya.
akhirnya,
setelah terjadi suatu negosiasi politik yang ganjil--lebih-lebih berdasarkan
sudut pandang kita yang hidup pada akhir zaman, raden barata pun menerima
mandat raden rama, bukan sebagai raja, tapi hanya sebagai wakil raja. oleh
raden rama, raden barata diajari hastabrata, seperangkat ilmu rohani menjadi
pemimpin, kemudian kembali ke ayodya dengan membawa sepasang terompah rama.
sesampainya di istana, raden barata menggelar pasewakan agung, dan terjadilah
apa yang dituturkan puisi ini.
dengan
meletakkan sepasang terompah rama di atas singgasana, dengan berkata kepada
kekayi, "aku hanya wakil raja, ibunda," raden barata telah menghadang
keris tombak bicara. berbekal sikap qonaah dan zuhud, raden barata berhasil
mencegah perang saudara karena polemik suksesi. tiga permaisuri mengagguk,
rukun dalam perdamaian. seluruh ponggawa pun diam terduduk, tidak bersiaga
mencabut keris menghunus tombak. keraton tenteram. patembayatan agung tak
terbelah oleh kuasa yang dipertaruhkan dan dibesarkan dalam angan-angan. api
ketamakan gagal membakar bumi ayodya.
lantas, di
manakah kemutiaraan dan kelenteraan puisi ini? ayodya adalah negeri impian,
tampaknya juga bagi pendiri kesultanan ngayogyakarta hadiningrat. ada yang
berasumsi, secara etimologi kata ngayogya berasal dari kata 'ayodya', negeri
yang dipimpin para zahid: raden barata, lalu raden rama. leluhur kesultanan
yogyakarta barangkali ingin agar anak-cucunya yang bakal melanjutkan
keprabuannya meneladani kezuhudan raden barata dan raden rama, menjalankan
lelampahan hastabrata dengan penghayatan yang murni. dia tidak hendak
menyaksikan keturunannya berebut tahta.
tapi,
kehendak, apalagi kehendak luhur, jarang bertemu dan bertaut dengan kenyataan.
sejarah merekam, kesultanan yogyakarta, sebagaimana kebanyakan kesultanan lain
di nusantara, tidak benar-benar sunyi dari polemik suksesi. pergantian
kekuasaan menentukan hidup mati kesultanan.
yang
paling terpukul batinnya karena rebut kuasa itu barangkali adalah rohaniwan
yang dalam kehidupan sehari-hari menjelma sebagai pribadi-pribadi umum yang
menyandang beragam profesi. boleh jadi, dia adalah kiyai, atau hanyalah
pemulung, atau malah pelacur. boleh jadi pula, dia seorang tokoh budaya bernama
besar, misalnya penyair.
apakah
penyair iman budi santosa yang suara batinnya tersingkap melalui puisi ini juga
terpukul oleh rebut kuasa yang saat ini berlangsung di keraton yogyakarta? saya
tak tahu. wallahu a'lam. saya hanya merasakan, dengan derajat kepastian yang
cukup, bahwa Di Samping Terompah Rama merupakan lentera yang menerangi
perjalanan seorang musafir kehidupan. saya merasa beruntung pernah membaca
puisi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam