AL-GHAZALI mengawali buku The Alchemy of Happiness
dengan ajakan untuk merenung. Sebagai makhluk, apakah manusia diciptakan secara
iseng, kebetulan, dan tanpa tujuan tertentu? Sesungguhnya, apa makna hidup ini?
Hidup ternyata adalah tangga untuk naik ke langit rohani tertinggi. Hidup
adalah jalur pendakian yang harus ditempuh untuk mencapai puncak gunung
spiritual.
Langit rohani tertinggi atau puncak gunung spiritual itulah
yang digambarkan sebagai surga. Di sana, manusia menikmati kabahagiaan yang tak
palsu, yang tak semu, yang tak sementara, yang tak berakhir pahit padahal pada
mulanya manis. Kenikmatan yang dialaminya di surga bukanlah kenikmatan
jasmaniah rendahan, melainkan kenikmatan rohaniah yang ultim dan sublim. Di
surga, manusia berjumpa dengan Keindahan Abadi (al-Jamil al-Baqi) yang
dicarinya dengan susah payah sejak ia dieksiskan.
Secara implisit, al-Ghazali mengisyaratkan bahwa surga lebih
dari apa yang selama ini terbayang dalam benak kita. Kita masih membayangkan
surga sebagai himpunan puncak-puncak kenikmatan jasmaniah.
Di sana, disediakan bidadari cantik yang siap melayani
lelaki gagah tampan. Di sana, berdiri istana-istana emas yang megah, yang di
sekitarnya mengalir sungai susu, madu, dan anggur. Di atas sungai-sungai lezat
itu, tumbuh pepohonan anggur dan kurma yang amat rindang, yang akarnya di atas
dan buahnya menggelantung ke bawah. Penghuni surga duduk santai di atas dipan
berkasur sambil menikmati minuman yang dituangkan ke dalam gelas kristal.
Apakah kondisi surga sejasmaniah itu, padahal yang jasmani
bersifat fana sedangkan kehidupan surgawi bersifat kekal? Demi tujuan
komunikatif, al-Quran memang menggambarkan surga secara demikian. Tapi, sebuah
hadis menyatakan, hakikat surga tidak dapat dilihat mata, tidak terjangkau daya
pendengaran telinga, dan tidak pernah terlintas dalam pikiran al-basyar
(manusia sebagai makhluk biologis).
Surga memang digambarkan secara jasmaniah. Tapi, surga jauh
lebih tinggi daripada apa yang sekadar jasmani. Kenikmatan surga adalah kekal.
Keindahan surga juga kekal, berbeda dengan keindahan di dunia ini yang
sementara. Untuk mencapai keindahan surgawi yang kekal itulah manusia
diciptakan.
Manusia diciptakan tidak untuk terpesona dengan keindahan
duniawi, lalu betah hidup di alam dunia dan terikat kepadanya. Alam dunia
adalah terminal transit dalam sebuah perjalanan panjang menuju Keabadian dan
Kesejatian.
Manusia diciptakan tidak untuk memanjakan dan mengumbar
nafsu. Tujuan hidup bukan untuk memburu fasilitas duniawi sebanyak-banyaknya,
kemudian menikmati fasilitas fana tersebut sepuas-puasnya. Justru sebaliknya,
manusia diciptakan untuk terus-menerus berjuang melawan nafsunya demi mencapai
surga, demi tenggelam dalam perenungan akan Keindahan yang kekal.
Al-Ghazali menyebut metode untuk mencapai Keindahan Kekal
atau kebahagiaan sejati tersebut sebagai kimiya-us sa’adah, the
alchemy of happiness, atau ramuan kimiawi kebahagiaan. Alchemy ini
adalah the philosopher’s stone yang secara ajaib mengubah batu dan logam
menjadi emas murni, yang secara menakjubkan mengubah tangisan menjadi senyuman,
penderitaan menjadi kebahagiaan, kejelekan menjadi keindahan, dan kerendahan
budi pekerti menjadi keluhuran akhlak. Bila diringkas sepadat-padatnya, rumus/resep
alchemy ini berbunyi: “melepaskan ikatan hati dari yang duniawi dalam
rangka berjalan menuju Ilahi”.
Semua manusia, lebih-lebih manusia yang hidup pada zaman kalabendu
ini, sesunggunya setiap hari jungkir balik mencari kebahagiaan sejati. Tapi, kenapa
kebahagiaan itu belum juga ditemukan? Jawabannya: kita mencari kebahagian bukan
di tempat yang seharusnya. Kita mempelajari ilmu kebahagiaan bukan dari sumber
yang tepat. Seperti Abu Nawas, kita mencari kunci di luar rumah. Padahal, kunci
itu jelas-jelas terjatuh di dalam rumah.
Sumber ilmu kebahagian (kawruh begja) yang tepat
adalah para nabi. Sepanjang sejarah, menurut sebuah hadis, telah diturunkan 124
ribu nabi. Tugas mereka adalah mengajarkan kepada umat manusia resep the
alchemy of happiness. Mereka membimbing umat manusia dalam perjuangan
rohani (mujahadah) mengobati hati dari segala macam penyakit hati. Jihad paling
besar bukan perang melawan kaum kafir, melainkan jihad melawan nafsu, yang
boleh ditafsirkan sebagai perang melawan kekafiran pribadi. Setelah para nabi
pergi, amanat untuk membimbing umat diwariskan kepada para ulama, ahli
“hikmah”, filosof sejati, atau bijak bestari.
Tujuan kedatangan para nabi, yang masing-masing risalahnya membangun sebuah identitas keagaman tersendiri, pada dasarnya adalah untuk membahagiakan manusia. Ajaran agama dirancang untuk membuat manusia bahagia. Agama hadir tidak untuk membuat manusia menderita dan kesusahan. Agama ada tidak demi menciptakan permusuhan (‘adawah) dan keonaran (mafsadah). Sebab, dari segi psikologis, substansi semua agama yang dibangun, dijaga, dan dikembangkan para nabi adalah the alchemy of happiness.
The alchemy of happiness tersusun dari empat senyawa
kimiawi yang sekaligus merupakan empat kategori ma’rifat (kearifan). Pertama,
mengenal jati diri (ma’rifat al-nafs). Pertanyaan dasarnya: siapa
manusia itu sebenarnya? Mengapa manusia diciptakan? Apa makna kehidupan dan
kematian? Apa tugas manusia saat hidup di alam dunia? Kedua, mengenal
Ilahi (ma’rifatullah). Pertanyaan dasarnya: siapa Tuhan itu
sesungguhnya? Bagaimana relasi fitri antara manusia dan Tuhan? Ketiga,
mengenal hakikat dunia (ma’rifat al-dunya). Sejatinya, apa hakikat dunia
yang sekarang kita tinggali ini? Apakah dunia menyuguhkan kesejatian dan
keabadian? Keempat, mengenal hakikat akhirat (ma’rifat al-akhirah).
Apakah alam akhirat itu dan bagaimana sifat-sifatnya jika dibandingkan dengan
alam dunia? Mengapa akhirat perlu ada?
Apakah Anda sudah lelah dengan kesedihan yang seakan tak
berujung? Apakah Anda sudah letih dengan perasaan menderita yang tak
henti-hentinya merundung? Apakah Anda menginginkan kebahagiaan? Kalau Anda juga
mencari kebahagiaan, sebagaimana saya, marilah kita membaca buku The Alchemy
of Happiness karya al-Ghazali lebih lanjut. Marilah kita menjelajahi
gagasan, tuntunan, dan nasihat sang ulama lebih jauh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam