Maka tempuhlah jalan-jalan (menuju) Tuhan yang
dimudahkan
—sebuah penggalan ayat dalam kitab suci—
“Kau,”
kata seseorang kepada sahabatnya, “harus menyesal karena belum pernah mendaki
gunung.”
Si
sahabat menanggapi pernyataan tersebut dengan pertanyaan, “Mengapa aku harus menyesal?”
“Alasannya
ada dua. Pertama, kalau kau belum pernah mendaki gunung, kau tidak akan
merasakan betapa menuruni gunung—setelah kau mendakinya dengan menguras sekian
besar energi dan memeras sekian banyak keringat—terasa mudah, ringan, dan
lekas. Seakan-akan jarak dilipat dan waktu disingkat. Rasanya, baru saja kau
berada di puncak, tiba-tiba sudah sampai di kaki gunung. Jalan turun gunung
jauh lebih mudah daripada jalan pendakiannya.”
“Alasan
pertama menarik juga. Lantas, apa alasan kedua?”
“Alasan
kedua, jalur turun gunung, sebagaimana jalur dakinya, tidak hanya satu.
Untuk mencapai puncak, sebenarnya kita bisa mulai mendaki dari sisi kaki gunung
mana saja. Kita bisa mendaki menempuh jalur yang sudah dibuka dan sering
dilalui. Tapi, terbuka pula kemungkinan untuk menempuh jalur yang belum lagi
ditemukan. Catatannya, jalur itu akan aman menurut perhitungan kita. Catatan
selanjutnya, kita memiliki keberanian, pengetahuan, kehendak, dan keyakinan
yang cukup untuk menempuh jalur baru tersebut.”
“Ya,
ya. Alasan kedua juga menarik. Tapi nanti dulu, Kawan. Mengapa kau yakin bahwa
aku akan menyesal karena tidak mengetahui hal itu, bahwa aku pun akan menyesal
karena tidak pernah mendaki gunung?”
“Rahasianya
akan aku ungkapkan. Hal yang baru saja kujelaskan adalah metafora kecil tentang
hidup beragama. Agama adalah jalan untuk mengenal Tuhan. Agama adalah cara
untuk berjumpa dengan-Nya. Agama adalah wujud kerinduan terpendam manusia untuk
pulang ke pangkuan-Nya.”
“Kawan,
kita sering lupa. Kita sering lupa bahwa jalan untuk mengenal Tuhan tidak hanya
satu. Ada banyak sekali jalan untuk mengenal-Nya, sebagaimana ada banyak sekali
jalan untuk mendaki sebuah gunung dalam rangka mencapai puncaknya.”
“Untuk
mencapai puncak gunung spiritual, segolongan manusia menempuh jalur pendakian
yang sudah ada dan sudah pernah dilalui. Bahkan, peta jalur pendakian pun sudah
dibuat dan dicetak massal. Rambu-rambu sepanjang jalur sudah dipancangkan
dengan tulisan yang jelas. Sudah pula diterangkan oleh penjaga jalur tersebut
berbagai bahaya yang bakal ditemui dan kesulitan yang bakal muncul saat
pendakian.”
“Karena
itu, kebanyakan pendaki mengira, inilah jalur yang paling mudah. Maka, dengan
keyakinan yang tinggi, mereka pun menempuh jalur ini. Namun, nyatanya tidak semua
pendaki mencapai puncak. Malah ada yang sudah berhenti sebelum sampai di pos
pertama. Ada yang berhenti di pos kedua, pos ketiga, atau pos keempat, sehinga
mereka tidak sampai di puncak. Bahkan, ada yang tersesat karena tidak
mengindahkan peta dan rambu. Ada yang terpeleset di tepi jurang sehingga jatuh
dan meninggal. Ada yang entah bagaimana hilang selamanya bagai tertelan rimba gunung
yang senantiasa misterius.”
“Apa
kaitan jalur pendakian yang mudah tersebut dengan hidup beragama kita? Aku
belum menangkap makna kata-katamu.”
“Kawan,
jangan tergesa-gesa. Sabarlah dalam menyimak penjelasanku. Jalur pendakian yang
mudah menuju puncak gunung spiritual ini dalam agama Islam disebut sebagai
syariat. Syariat adalah salah satu jalan—ingat, hanya salah satu jalan, bukan
satu-satunya jalan—untuk mengenal Tuhan. Kelebihan syariat dibandingkan jalan
lain untuk mengenal Tuhan adalah kemudahannya. Jalan syariat sudah sedemikian
jelas. Peta sudah lengkap. Rambu sudah lengkap. Informasi tentang bahaya dan
kesulitan sewaktu mendaki pun sudah lengkap. Tapi Kawan, satu hal hingga kini
masih membuatku ngungun terheran-heran.”
“Mengapa
kau terheran-heran?”
“Walaupun
merupakan jalan mudah untuk mengenal Tuhan, nyatanya tidak setiap individu
dalam umat Islam mengenal siapa Tuhannya. Saksikanlah perilaku keseharian
mereka. Mereka mengaku mengenal Tuhan tetapi mengapa mereka tidak peduli dengan
saudaranya yang kelaparan, kehausan, dan telanjang? Mereka mengaku mengenal
Tuhan tetapi mengapa mereka masih membanggakan kebesaran, kerupawanan,
kepandaian, kekuasaan, kemampuan, dan kekayaan dirinya yang palsu dan fana?
Mereka mengaku mengenal Tuhan tetapi mengapa mereka masih menderita karena masa
lalu dan sengsara karena masa depan? Mereka mengaku mengenal Tuhan tetapi mengapa
mereka menjadi budak keinginan? Mereka mengaku mengenal Tuhan tetapi mengapa
mereka tidak menanti-nanti datangnya kematian dan justru malah takut menghadapinya?”
“Bukan
bagianku menjawab pertanyaanmu, Kawan. Setelah mendengar ceramah dan gugatanmu,
aku baru mengerti. Jalur pendakian umum yang sudah dibuka dan sering dilalui
memang mudah. Tapi, sayang sekali, tidak semua pendaki sampai di puncak
gunung.”
“Kawan,
kau berkata apa tadi? ‘Sayang sekali’? Memang sayang sekali. Tapi, ada yang
lebih disayangkan lagi. Ada yang lebih perlu dikasihani lagi, yaitu mereka yang
menempuh jalur pendakian yang sulit atau paling sulit.”
“Adakah
jalur pendakian seperti itu dalam hidup beragama?”
“Sesungguhnya
Kau tidak perlu bertanya demikian karena jawabannya telah terang benderang.
Jalur pendakian gunung spiritual yang paling sulit adalah jalur akal. Anehnya,
walaupun dalam jalur ini medan yang harus dilalui sungguh berat, jalur ini
ternyata ditempuh banyak pendaki. Di antara mereka, hanya sedikit yang berhasil
sampai di puncak. Karena kelelahan, kebanyakan pendaki berhenti di pos-pos yang
terdapat di sepanjang jalur. Sebagian pendaki lain tersesat karena tidak
membawa peta atau karena peta yang dibawa menyesatkan. Rambu-rambu memang
dipancangkan tetapi tulisannya rata-rata tidak terbaca dengan jelas. Sebagian
pendaki lain mengalami nasib yang amat buruk di mata seorang pendaki. Setelah
tersesat, secara tidak sadar mereka keluar dari jalur pendakian, berjalan tanpa
tahu arah, dan akhirnya justru kembali ke kaki gunung. Bukan hanya sia-sia,
pendakian mereka terhitung merugikan. Itulah pendakian yang bodoh.”
“Kau
benar. Pendakian begitu memang benar-benar bodoh.”
“Kawan,
maukah Kau kutunjukkan bentuk pendakian yang tidak bodoh?”
“Menjadi
orang pintar, siapa yang tidak mau?”
“Jalur
syariat yang sudah dibentangkan untuk mencapai puncak gunung spiritual memang
jalur yang mudah. Tapi, ada jalur yang jauh lebih mudah?”
“Kau
tidak sedang berdusta, bukan?”
“Aku
tidak mendapat upah dengan menipumu.”
“Jangan
tersinggung, Kawan. Aku tidak bermaksud meragukan Kau. Aku hanya ingin
menenggak segelas air kepastian untuk memuaskan akalku yang haus akan kebenaran.
Apakah jalur pendakian gunung spiritual yang lebih mudah daripada jalur syariat
itu?”
“Jalur
turun gunung.”
“Kau
hendak mencandaiku?”
“Lidahku
menampik canda dan gurau. Yang kumaksud adalah, jalur pendakian ini semudah,
seringan, dan selekas jalur turun gunung. Ketika Kau menempuh jalur ini, seakan-akan
jarak dilipat dan waktu disingkat.”
“Penjelasanmu
semakin membuatku tertarik dan penasaran.”
“Itulah
tujuanku mencicil penjelasan. Untuk membuatmu tertarik dan penasaran.”
“Kawan,
katakanlah segera. Jangan lagi Kau suruh aku bersabar.”
“Jalur
yang begitu mudah, juga begitu beragam dan berwarna ini, ditempuh para lebah.
Itulah rahasianya mengapa lebah menghasilkan madu. Lebah mengonsumsi yang
terbaik untuk memproduksi yang terbaik dengan cara yang terbaik pula. Dia
bekerja dan berjuang untuk menyembuhkan dan memberikan kasih sayang bagi
manusia. Siapakah manusia bagi lebah? Dialah makhluk yang menghancurkan rumah
lebah untuk mengambil madunya. Pada lebah, bukan hanya madunya, sengatannya pun
adalah obat. Lebah menyakiti untuk menyembuhkan.”
“Mengagumkan.”
“Kekagumanmu
kepada lebah adalah wajar. Tapi, Kau lebih wajar untuk kagum kepada yang
menciptakan lebah. Seperti halnya binatang lain, lebah tidak berakal. Sungguh
pun demikian, masyarakat lebah jauh lebih baik daripada masyarakat makhluk
berakal yang disebut manusia? Ironi kenyataan ini sungguh mengagumkan. Siapakah
yang merancangnya?”
“Aku
kagum dengan lebah. Kagum dengan ironi kenyataan. Kagum pula dengan pencipta
lebah dan perancang ironi kenyataan. Namun Kawan, aku tak kagum dengan caramu
menjelaskan. Kau bertele-tele. Kau terlalu banyak bicara tentang keajaiban
lebah. Kau telah melupakan tujuanmu semula untuk memaparkan kepadaku jalan
mengenal Tuhan yang mudah, ringan, dan lekas?”
“Aku
tidak sedang bertele-tele. Aku pun tidak sedang banyak bicara tentang lebah.
Setelah mengenal lebah, Kau mengaguminya. Kemudian, Kau pun mengenal dan mengagumi penciptanya. Inilah
jalan yang kumaksud. Inilah jalur pendakian menuju puncak gunung spiritual yang
mudah, ringan, dan lekas. Semudah, seringan, dan selekas jalur turun gunung.
Apabila Kau menempuh jalur ini, jarak yang memisahkan Kau dengan Tuhan seakan
dilipat. Waktu tempuhmu pun disingkat. Jalur pendakian ini banyak jumlahnya,
sebanyak jumlah ciptaan. Seluruh ciptaan adalah tanda keberadaan dan isyarat
kehadiran-Nya. Seluruh ciptaan adalah bayangan-Nya. Ke arah mana pun Kau memandang,
di situ tampak wajah-Nya.”
“Kata-katamu
membuat lidahku kaku.”
“Kawan,
kata-kataku janganlah membuat lidahmu kaku. Jangan Kau kakukan lidahmu hanya
karena kata-kataku. Kakukanlah lidahmu manakala dengan mata hatimu Kau saksikan
wajah-Nya di balik seekor lebah. Kuncilah mulutmu manakala dengan mata hatimu Kau
saksikan wajah-Nya di balik sebatang pohon. Rapatkanlah kedua bibirmu manakala
dengan mata hatimu Kau saksikan wajah-Nya di balik ciptaan paling remeh, kecil,
lemah, rendah, hina, buruk, dan jahat sekali pun. Kata-kata, Kawan, akan menyembunyikan
kembali kemaha-agungan dan kemaha-indahan-Nya. Kata-kata akan membelenggu
kakimu saat Kau melangkah di jalan ini.”
“Karena
itu, Kawan, hapuslah seluruh kata-kata yang mengotori lembaran buku pikiranmu.
Sucikanlah masjid hatimu dari najis berhala dengan air ilmu. Dan usirlah
selaksa raksasa angkara murka yang bersarang dalam dadamu. Tabuhlah genderang
perang akbar melawan nafsumu. Maka, saat Tuhan membuka pintu rumah-Nya bagimu, Dia
akan menyentuh hatimu. Dia akan memelukmu mesra. Kau akan linglung
terhuyung-huyung menatap keindahan-Nya. Kau akan tergetar dan terkesima di mana
pun. Di mana pun kau mendengar tasbih dan pujian. Kau pun bertasbih dan memuji
di mana pun. Bumi yang terhampar menjadi sajadahmu, tempat kau tersungkur
pasrah di bawah kaki keagungan-Nya. Dan air mata syukurmu tumpah tak terbendung
lalu mengalir tak henti-hentinya dari mata hatimu.”
“Lanjutkan,
Kawan. Lanjutkan penjelasanmu. Aku mau mengerti lebih banyak.”
“Jalan
mengenal Tuhan yang paling mudah, ringan, dan lekas ini sudah amat tua usianya.
Orang-orang menyebutnya dengan berbagai nama. Ada yang menamainya jalan hikmah.
Ada yang menamainya jalan filsafat. Ada yang menamainya jalan cinta. Ada yang
menamainya jalan hati. Ada pula yang menamainya jalan rasa. Tapi, nama apa pun
yang mereka sandangkan untuk jalan ini, hakikatnya hanya satu. Inilah kiranya jalan
menuju Tuhan yang pernah diwahyukan kepada lebah. ‘Dan makanlah,’ titah-Nya
kepada lebah, ‘sebagian dari bebuahan. Lalu, tempuhlah jalan-jalan (menuju)
Tuhanmu yang mudah.’ Jalan mudah inilah yang ditempuh Sunan Bonang, kekasih-Nya
yang mengagumi lebah itu.”
“Sudah,
Kawan. Sudahilah penjelasanmu. Aku telah merasa cukup dengan kata-kata.
Sekarang aku menghendaki pengalaman, bukan lagi penjelasan.”
Itulah
ucapan terakhir dalam percakapan di antara kedua sahabat tersebut. Mereka lalu
menyimpan kata-kata ke dalam peti yang tergembok dalam rangka terjun ke dalam
lautan pengalaman dan penghayatan. Seluas, sebanyak, dan setinggi apa pun ilmu
tentang jalan mengenal Tuhan, kalau ilmu itu tidak diamalkan, apa gunanya?
ajadah dera ngulati kawi
kawi iku nyata ing sarira
punang rat wus aneng kene
kang minangka pandulu
Kresna Jati sariraneki
siyang dalu den awas
pandulunireku
punapa rekeh pracihna
kang nyateng sarira sakabehe ini
saking sifat prakarya
Jangan jauh-jauh Sang Pujangga kau cari.
Sang Pujangga nyata ada dalam diri.
Bahkan, semesta raya pun telah ada di sini.
Pelita yang menerangi penglihatanmu
adalah Krisna Jati dalam dirimu.
Siang malam perhatikanlah
penglihatanmu.
Apa pun wujudnya,
semua yang tampak dalam diri ini
adalah sebagian dari sifat dan perbuatan Ilahi.
(dikutip dari Suluk Wujil, sebuah manuskrip
Jawa yang dinisbahkan pada Sunan Bonang)
wallahu al-‘alim wa ‘abduhu al-jahil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam