Saya bukan pengamat film, hanya penonton
yang sedang iseng “sok” mempelajari dunia perfilman secara main-main, lebih
dalam lingkup humanioranya daripada keterampilan teknisnya. Bagi saya film
tidak merupakan hiburan belaka. Film adalah media yang pas untuk menelisik dan
menilai apa yang sedang merayap pada alam bawah sadar masyarakat dan rekayasa
sosial macam apa yang sedang digulirkan oleh otoritas kekuasaan. Tetapi jujur
saya akui, saya menyukai film tidak semata-mata karena pilihan-rasional, teknosfer
zaman saya juga turut mengondisikan preferensi saya terhadap film.
Generasi saya bukan generasi yang gemar bertapa
40 hari 40 malam di pantai parang kusumo atau njelajah deso milang kori berbulan-bulan
dengan berjalan kaki. Kami hidup dalam dan dengan kecepatan, tepatnya
ketergesa-gesaan. Setiap peristiwa, yang pada hakikatnya memang bersifat
sementara, semakin terasa sementara saja. Kebahagiaan semakin singkat. Juga
kesedihan. Cuaca psikis kami tidak pernah betul-betul konstan dalam periode
yang panjang, sebentar-sebentar cerah, sebentar-sebentar mendung. Banyak dari
kami sering mengeluh, waktu berjalan begitu cepat, rasanya baru kemarin kita
merayakan tahun baru, eh lha kok sekarang sudah tahun baru lagi.
Kami adalah generasi yang terlalu bernafsu menginjak
pedal gas sebuah mobil yang sepertinya sengaja tak dipasangi rem. Kecepatan
mengajarkan kepada kami untuk lebih menyukai menonton film sambil mengunyah pop
corn daripada menghabis-habiskan waktu membaca buku sambil mengerutkan dahi.
Menonton film lebih simpel, efisien, ringan, praktis, instan, bisa disambi, dan
orgastik, apa lagi bila film tersebut me-recall pengalaman batin yang paling
membekas, misalkan cinta pertama atau kematian orang tua.
Begitulah. Tidak sebagaimana bapak-kakek
kami yang menemukan aksara dan bahasa sebagai intisari eksistensi mereka, kami kebetulan
terdampar dalam jagad audio-visual, semesta virtual yang lebih merayakan
kebanalan imaji ketimbang keadiluhungan aforisma. Daripada fakta, kami lebih
memilih fiksi sebagai dunia yang cocok dihidupi. Adalah mata, dan bukan tinta,
yang memainkan peran utama dalam pembentukan identitas kami.
Barangkali karena determinisme mata itu,
dunia sastra dan seni, termasuk film, akhir-akhir ini mencurahkan energi
kreatif untuk melakukan eksperimentasi dan eksploitasi visual besar-besaran.
Jika boleh beristilah—namun saya jelas tak punya kapasitas untuk membikin-bikin
istilah, saya ingin menyebut fenomena ini sebagai mainstreaming visualitas.
Beberapa seniman yang cukup sabar dan tulus
meniti proses kreatif mengimbangi mainstreaming visualitas itu dengan penyelaman
tema dan penyubliman cerita. Tetapi para sineas yang tunduk kepada aturan
main pasar, meritualkan mainstreaming visualitas tanpa mau bergulat dengan
riset yang panjang, melelahkan, menguras tandas isi dompet. Hasilnya, film-film
yang kini beredar hanya sedap dipandang, kurang nikmat direnungkan dan
dihayati, tidak potensial menggoncang dan mereformasi tata nilai salah yang
telah dianggap benar selama ini. Rata-rata film produksi domestik malah lebih
buruk: sudah tidak sedap dipandang, tidak nikmat pula direnungkan.
Menurut Anda?
Yogyakarta, 19 oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam