Asmara Hitam
kuketuk pintumu
kukalamkan salam
aku tunggu. aku tunggu
sampai kaubuka pintu rumahmu
kecuali kau, kecuali kau
siapa lagi harus kucari
selain kau, selain kau
siapa lagi mesti kutemui
telah lama aku merindukanmu
dan berharap menatap wajahmu
aku berkelana
dari hampa ke hampa, tanpa udara
dari sampar ke sampar, tanpa sampan
dari hitam ke hitam, tanpa pelita
untuk menyangkal rasa ini
untuk melawan panggilan ini
semua sia-sia. kau hadir di sini,
begitu terang. membuatku hilang.
aku tunggu. aku tunggu
sampai kaubuka pintu rumahmu
Jambi, 29 September 2011
kepada batanghari
Sungai itu, saudaraku, coba perhatikan sungai itu. Arus sungai itu seperti putri yang sedang menari. Dia gemulai sekali. Dihadang batu, luwes dia meliuk menghindar dan terus mengayuh tapak mengalun rentak. Dia gembira sekali. Dan coba lihat itu, di atasnya, rupanya angin, si pangeran itu, menemaninya sejak dia keluar dari rahim ibu sampai dia menyatu dengan laut biru. Mereka setia sekali, lebih setia dari romi dan yuli, sampek dan engtay, dan sebagainya. Maka aku kini bisa paham mengapa sepasang angsa putih itu, yang sedang mencari-cari suara merdunya yang konon dicuri si penyihir, tidak ingin berpisah dari sungai dan dari angin.
Tetapi, sungai itu, saudaraku, sekarang sedang terluka, dan orang-orang melupakannya, membiarkannya mengaduh sendiri, bersedih sendiri, merintih sendiri. Saudaraku, aku ingat, kau pernah berteori: lupa dan luka bisa secara berkelanjutan mengurangi kadar kesetiaan. Bila sungai dan air sudah sama-sama tak setia, saling curiga, bercerai, sepasang angsa itu sepertinya akan meninggalkan masa indahnya, bermigrasi ke danau kotor atau ke kolam keruh, dan kita kehilangan inspirasi merangkai narasi cinta yang jelita. Tidak ada lagi putih. Tidak ada lagi sayap yang terbentang melebar. Tidak ada lagi bulu-bulu halus yang bisa dielus. Tidak ada lagi burung yang memburu siul paling ungu. Tidak ada lagi para pencari nyanyi.
Saudaraku, aku tak bisa bayangkan, betapa gersangnya hidup ini tanpa nyanyi.
jambi, 30 september 2011
riwayat rindu
tidak ada. tiada mata paling lintang,
atau rupa paling merayu, kecuali kesendirian,
kesendirian yang, seperti nabi (atau seperti mati?),
membimbingmu berkabung sejenak
sejenak ketawa, ketawa sejenak
sejenak menyalak. sejenak saja.
lalu lama tidur—lama sekali, barangkali, semoga, abadi—
sebagai naga yang kehilangan api,
menanti hari terakhir, dengan giarah yang pasi.
“mengapa aku harus haram?”
serumu, meniru suara sepi, pisau
si tukang jagal penyembelih kibas
yang kaukurbankan di muka kubus
itu, rumah aku, rumah para aku.
mata butaku gemetar mendengar
nyanyimu yang makin mekar
perlahan membakar ini sangkar
tetapi aku, seperti sepi, masih lapar
terbang lepas, bersama beku dan kobar
akan melibas itu belukar
memburu rindu, diburu rindu
Jambi, sabtu, satu oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam