Merancang Pendidikan Menuju Modernitas
oleh:
A. Chaidar Alwasilah
Dalam bukunya
yang provokatif, The New Asian
Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to the East (2008), Kishore
Mahbubani percaya bahwa jutaan penduduk Asia sekarang sedang bergerak menuju
modernitas. Pada abad ke-21, Asia bakal termodernisasi.
Itu hanya soal
waktu. Sebagai seorang idealis yang optimistis, bagaimana pun, Mahbubani
mengingatkan kita akan tujuh pilar modernitas Barat, yakni ekonomi pasar bebas,
sains dan teknologi, meritokrasi, pragmatisme, budaya damai, penegakan hukum,
dan pendidikan.
Di antara tujuh
variabel itu, pendidikanlah yang memainkan peran paling vital. Teori modal
manusia menekankan pentingnya investasi dalam meningkatkan kapasitas tenaga
kerja melalui pelatihan pada umumnya, dan melalui pendidikan formal pada
umumnya. Dengan kata lain, pendidikan merupakan bagian paling esensial untuk membangun
jalan menuju modernitas.
Esensi ekonomi
pasar bebas adalah kompetisi dan kewirausahaan. Sebenarnya, kompetisi juga penting
dalam kesuksesan politisi, profesional, dan intelektual. Masyarakat yang
kompetitif mendorong orang untuk mengeksplorasi dan mengembangkan potensinya
baik demi kemajuan individual maupun kemajuan kolektif.
Meritokrasi penting
untuk merangsang kreativitas dan kemajuan dalam masyarakat. KKN, khususnya
dalam urusan layanan publik, bertentangan dengan kemajuan. Menjadi pragmatis
secara sederhana berarti bahwa tidak ada metode tertentu yang diklaim lebih
unggul daripada metode-metode yang lain. Itu artinya, menjadi pragmatis adalah membuat
keputusan tepat yang praktis lagi menguntungkan.
Budaya damai
adalah prasyarat bagi terselenggaranya pembangunan yang berkelanjutan. Di negara
berkembang, kemajuan sering dihalangi oleh konflik yang berulang-ulang.
Gejala semacam
ini sekarang tak banyak ditemui di Eropa, tetapi masih marak di negara
berkembang. Konflik seperti itu sering disebabkan oleh hambatan psikologis
laten yang susah dihilangkan.
Aturan hukum memandu
orang bagaimana harus bertingkah laku dalam masyarakat. Penegakan hukum penting
dalam rangka merawat kemajuan. Di sebuah negara dimana hukum tidak sepenuhnya
ditegakkan, buah pembangunan berada di tangan sekelompok kecil masyarakat. Akibatnya,
tidak ada kepemilikan kolektif terhadap pembangunan.
Mencermati tesis
Mahbubani tentang modernitas Asia yang akan segera terjadi, pendidik dan guru
perlu bertanya apakah kurikulum yang ada cukup efektif untuk
mengimplementasikan tujuh pilar modernitas di negara ini. Bagaimana cara agar pilar-pilar
itu menjadi bagian dari kurikulum dan terimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari?
Pendidikan mengajari
siswa sains dan teknologi, tapi itu belum cukup untuk mengembangkan modernitas.
Mengembangkan pilar-pilar tersebut berarti menanamkan nilai-nilai sains dan
teknologi yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Universitas kerap dikritik
karena melulu mengajarkan teori kepada mahasiswa, mengabaikan kenyataan bahwa
teori tersebut segera menjadi usang dan tak relevan.
Konsekuensinya, keterampilan
yang diajarkan kepada mahasiswa harus dapat difungsikan dalam situasi yang
selalu berubah. Guru dan profesor akan gagal jika mereka menggunakan proses
belajar yang tidak berdampak sepanjang hayat.
Mengajar pada
abad ke-21 adalah membekali siswa/mahasiswa keterampilan dan nilai dasar untuk
hidup dalam masyarakat berbasis pengetahuan.
Empat prinsip
masyarakat berbasis pengetahuan adalah sebagai berikut. Pertama, pembelajaran
sepanjang hayat. Seorang muslim akan langsung setuju dengan prinsip ini karena
sejalan dengan sabda nabi Muhammad, orang harus belajar sejak masa buaian
hingga liang lahat. Pendidik mesti mengajari siswanya rasa ingin tahu yang sejati
untuk terus belajar hal-hal baru selama hidup.
Kedua, belajar
mandiri. Siswa harus diajari memikul tanggung jawab pribadi dalam
pendidikannya. Keterampilan berpikir kritis dan kreatif adalah krusial dalam
belajar mandiri. Orang yang kritis cenderung mengantisipasi datangnya masalah
baru dan mencari tahu bagaimana mengatasi masalah tersebut.
Ketiga,
pembelajaran berbasis masalah. Kehidupan kita dibanjiri oleh masalah-masalah
baru. Pendidikan tradisional disibukkan dengan teori, sementara pada
kenyataannya, kehidupan di luar sekolah lebih menawari kita masalah daripada teori.
Kurikulum harus dirancang ulang untuk membekali siswa keterampilan berpikir dan
menyelesaikan masalah.
Pendekatan
berbasis masalah terhadap kurikulum, juga berbasis pengalaman. Belajar lebih
merupakan mediasi-oleh-pelatih daripada arahan-dari-guru. Siswa lebih merupakan
pemecah masalah daripada penyerap pengetahuan.
Jelasnya, peran
guru bukan mengantarkan pengetahuan, tetapi berkolaborasi bersama siswa
menciptakan pengetahuan. Dengan kata lain, siswa diperlakukan sebagai pembangun
pengetahuan yang masih pemula.
Keempat, belajar
dari berbagai sumber dan dengan berbagai sumber daya. Secara tradisional, guru
biasanya menjadi sumber pengetahuan yang utama dan berwenang. Guru harus menyadari
bahwa sekarang siswa belajar dengan lebih cepat dari berbagai sumber. Sumber tersebut
tak terbatas jumlahnya. Kerja utama guru hari ini bukan membekali pengetahuan,
melainkan membantu siswa menyaring pengetahuan yang terhampar di depannya.
Lembaga pendidikan
ditantang untuk menggeser paradigmanya dari “menerapkan model teori” ke model
berbasis masalah.
Saat ini, calon
guru dibekali teori dan cara mengajar melalui PPL atau program pengalaman
lapangan. Guru magang dalam kebanyakan kasus merasa tidak siap mengajar di
kelas.
Normalnya, di
Indonesia mahasiswa mengikuti PPL pada semester kedelapan selama tiga hingga
empat bulan. Waktu sependek ini sangat tidak cukup untuk secara penuh memahami
masalah sekolah sehari-hari.
Sebagai perbandingan,
di Inggris dan Jepang calon guru menjalani PPL lebih dini, yaitu pada semester
pertama atau kedua. Manfaatnya, mereka merasakan budaya sekolah dalam jangka
waktu yang lebih lama dan karenanya tahu bagaimana cara menghadapi masalah
sekolah.
Pendidikan adalah
cara paling efektif untuk memodernisasikan bangsa. Kita butuh guru yang
menguasai tidak saja materi pelajaran (pedagogi), tetapi juga yang punya
kemampuan menanamkan nilai dan karakter untuk hidup dalam masyarakat
yang selalu berubah. Karena itu, program pendidikan guru harus secara kritis
ditinjau untuk terus diperbaiki secara berkelanjutan.
Penulis
adalah profesor di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan pengarang Pokoknya
Rekayasa Literasi (2012)
Teks asli dapat dibaca di: http://www.thejakartapost.com/news/2013/03/02/designing-education-modernity.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam