Soal
Guru, Bukan Kurikulum
Oleh:
A. Chaidar Alwasilah
Kurikulum baru
2013 yang segera dikenalkan tidak menjamin teratasinya masalah pendidikan
bangsa saat ini. Kurikulum baru selalu merupakan gagasan yang baik. Akan tetapi,
masalah selalu muncul dalam implementasi. Jadi, yang penting bukan mengganti
kurikulum, tapi mengimplementasikannya.
Secara
sederhana, implementasi kurikulum berarti memberlakukan kurikulum sebagaimana
dimaksudkan, termasuk memberlakukan seperangkat sistem untuk menilai
efektivitasnya. Proses penilaian memberi umpan-balik bagi proses pengembangan,
dimana data digunakan untuk perbaikan kurikulum. Kurikulum pendidikan
membutuhkan perbaikan yang berkelanjutan, bukan pergantian yang berkelanjutan.
Perbaikan kurikulum
tidak harus mengganti kurikulum lama; seringkali dilaksanakan pada saat
kurikulum lama masih dijalankan. Perbaikan kurikulum seperti itu biasanya
dimulai dengan mengganti bagian kurikulum lama tertentu, dengan metode
trial-and-error, sebagai alternatif praktik yang sedang dijalankan. Data evaluatif
berguna untuk mengamati kurikulum lama yang sedang dijalankan dan berharga
untuk memperbaikinya.
Kurikulum 2013,
sebagaimana dikatakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, adalah
perbaikan atas kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi dan kurikulum 2006 yang
berbasis sekolah. Sementara itu, guru masih belajar bagaimana menjalankan
kurikulum 2006.
Sayangnya, kebanyakan
guru dan publik pada umumnya tidak diberi tahu apa yang sesungguhnya salah
dengan kurikulum 2006. Pemerintah harus mempublikasikan data evaluatif untuk
mengidentifikasi aspek mana dalam kurikulum tersebut yang bermasalah. Data seperti
itu akan membuat pergantian kurikulum lebih dimaklumi.
Organisasi seperti
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) harus menghasilkan praktik-praktik pengajaran
terbaik tidak untuk komunitasnya masing-masing saja, tetapi juga untuk profesi guru
secara keseluruhan. MGMP tampaknya lebih bekerja dalam konteks yang spesifik, diprakarsai
oleh guru, dan diarahkan untuk kebutuhan jangka menengah.
Merupakan kerugian
bagi MGMP bila kita gagal meneliti efektivitas program MGMP yang tengah dilaksanakan
dan mengabaikan hasil yang telah dicapainya. Mekanisme seperti itu memerlukan
pengembangan profesi berkelanjutan (PPB) untuk guru.
Perbaikan kurikulum,
bukan pergantian kurikulum, difokuskan pada aspek tertentu yang bermasalah. Jadi,
perbaikan kurikulum lebih ekonomis dan berbasis masalah. Perlu diulangi, apa
yang esensial bagi guru adalah PPB, yaitu suatu proses karir jangka panjang
dimana guru memperbaiki pengajarannya untuk memenuhi kebutuhan siswa. Yang memperoleh
manfaat terbesar dari PPB adalah siswa. PPB langsung menangani gaya mengajar
guru—jalan untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa.
Mempertimbangkan
jumlah guru yang besar, hambatan pelaksanaan PPB adalah kurang dapat diaksesnya
peluang pengembangan profesi. Peluang pengembangan profesi tidak dapat
diperoleh oleh seluruh guru. Saat ini hanya 1 juta dari 2,9 juta guru yang
telah tersertifikasi.
Namun demikian,
kajian baru-baru ini oleh World Bank tentang dampak sertifikasi guru
mengungkapkan bahwa sertifikasi memperbaiki standar hidup guru tapi gagal meningkatkan
kualitas kinerjanya. Guru gagal memotivasi siswa untuk belajar. Jelaslah bahwa persoalan
kebanyakan ada pada guru, bukan kurikulum.
Keterangan berikut
dapat menjelaskan kenapa Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), program mutakhir
yang diprakarsai pemerintah, gagal meningkatkan profesionalisme guru.
Pertama, tidak
semua guru merupakan individu yang berbakat dan berjiwa mengabdi, yang
berkomitmen untuk mengajar. Perekrutan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan
guru gagal membedakan calon guru yang berbakat dan tidak berbakat.
Kedua, guru yang
satu dengan yang lain berbeda dalam penguasaan pengetahuan teoritis dan
profesional dan dalam jenjang karir. Sekarang ada 10 universitas pendidikan
negeri dan lusinan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) negeri dan
swasta. Sumber daya semua lembaga pelatihan guru tersebut bervariasi, dan ini
dapat menjelaskan kesenjangan kualitas para lulusannya.
Ketiga, program
profesi belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan motivasi guru, sehingga mereka
tidak mengembangkan rasa-memiliki terhadapnya. Beberapa guru tidak punya
penguasaan yang baik atas materi pengetahuan yang diajarkan, pengetahuan
pedagogis secara umum, dan pengetahuan kontekstual. Jadi, materi program
profesi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan motivasi guru.
Keempat,
beberapa guru secara sederhana menganggap pengembangan profesi sebagai
kewajiban administratif, bukan sebagai ikhtiar karir jangka panjang. Ketika program
rampung, guru kembali pada cara mengajar mereka yang dulu. PPB sejati bertujuan
untuk mendorong bangkitnya faktor-faktor penyebab kesuksesan semua guru dan
siswa.
Kelima,
pengembangan profesi guru terpisah dari keseluruhan budaya dan iklim sekolah. Program
PPB akan berefek terhadap belajar siswa jika melibatkan pengetahuan tentang proses
belajar mengajar dalam sekolah yang terlibat. Keberhasilan program PPB tidak
diukur hanya dengan mempertimbangkan faktor-faktor individual dalam program.
Efek program PPB
diketahui dengan memeriksa bagaimana berbagai faktor dan stakeholder
berinteraksi satu sama lain. Pengembangan profesi harus terhayati dalam rutinitas
kerja sehari-hari mereka. Pendeknya, PPB harus berbasis sekolah.
Supaya efektif,
pengembangan profesi guru harus dikembangkan dengan memenuhi kriteria yang disarankan
oleh Diaz-Maggioli dalam bukunya Teacher-centerd
Professional Development (2004) sebagai berikut: (1) pengambilan keputusan
secara kolaboratif, (2) pendekatan yang diarahkan pada pertumbuhan, (3) pembangunan
program secara kolektif, (4) ide yang ilmiah, (5) teknik yang sesuai, (6) metode
penyampaian yang bervariasi dan tepat waktu, (7) sistem pendukung yang memadai,
(8) program dengan konteks yang spesifik, (9) penilaian proaktif, dan (10)
instruksi yang berpusat pada orang dewasa.
Penetapan kurikulum
baru selalu disambut dengan keraguan dan sinisme. Gurulah yang akan bertanggung
jawab jika kurikulum baru itu gagal berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Sekaranglah
saatnya mengubah paradigma dari prakarsa pemerintah dan kurikulum dari atas ke
bawah, diganti jadi paradigma berpusat pada guru dan pengembangan profesi
berkelanjutan yang berbasis sekolah sebagai bagian dari perbaikan kurikulum,
bukan pergantian kurikulum.
Penulis
adalah profesor di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Teks asli dapat dibaca di: http://www.thejakartapost.com/news/2013/01/05/teacher-not-curriculum-matters.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam