Seribu Kunang-kunang
di Manhattan
oleh: Umar Kayam
Mereka duduk bermalas-malasan di sofa.
Marno dengan segelas scotch dan Jane
dengan segalas Martini. Mereka
sama-sama memandang ke luar jendela.
“Bulan itu ungu, Marno.”
“Kau tetap hendak memaksaku untuk
percaya itu?”
“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui.
Itu ungu, bukan?”
“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna
langit dan mendungnya itu?”
“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit
dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilanglah, ungu!”
“Kuning keemasan!”
“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter
mata.”
Marno berdiri, pergi ke dapur untuk
menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di
samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak berapa enak.
“Marno, Sayang.”
“Ya, Jane.”
“Bagaimana Alaska sekarang?”
“Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum
pernah ke sana.”
“Maksudku hawanya pada saat ini.”
“Oh, aku kira tidak sedingin seperti
biasanya. Bukankah di sana ada summer juga
seperti di sini?”
“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa
kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang
Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju, dan salju.
Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim
panili.”
“Aku kira sebaiknya kau jadi penyair,
Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo
seperti es krim panili.”
“Tommy, suamiku, bekas suamiku, kau tahu
.... Eh, maukah kau memberikan aku segelas ... ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri
lagi ini .... Uuuuuup ....”
Dengan susah payah Jane berdiri dan
dengan berhati-hati jalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar
berdentang-dentang.
Dari dapur, Jane mencoba berbicara lagi.
“Tommy, suamiku, bekas suamiku, kau tahu
... Marno, Darling.”
“Yaaa, ada apa dengan dia?”
“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”
Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke
sofa, kali ini duduknya mepet Marno.
“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”
“Tapi minggu yang lalu kau bilang dia
ada di Texas atau di Kansas. Atau mungkin di Arkansas.”
“Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada
di Alaska.”
“Oh.”
“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”
Marno berdiri, berjalan menuju ke radio
lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga
mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak
tentu serta suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu
dan dia duduk kembali di sofa.
“Marno, Manisku.”
“Ya, Jane.”
“Bukankah di Alaska, ya, ada adat
menyuguhkan istri kepada tamu?”
“Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo
dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul
atau karangan guru antropologi saja.”
“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap betul.”
“Kenapa?”
“Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy
kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”
“Tetapi bukankah belum tentu Tommy
berada di Alaska dann belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”
Jane memegang kepala Marno dan
dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.
“Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan
kedinginan! Maukah kau?”
Marno diam sebentar. Kemudian
ditepuk-tepuknya tangan Jane.
“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu
tidak.”
“Kau anak yang manis, Marno.”
Marno mulai memasang rokok lalu pergi
berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan.
Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan sehingga cahaya bulan jadi suram
karenanya. Dilongokkannya kepala ke bawah dan satu belantara pencakar langit
tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan
itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa
merangkak ke dalam tubuhnya.
“Marno.”
“Ya, Jane.”
“Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku
sebuah boneka Indian yang cantik dan Oklahoma City beberapa tahun yang lalu.
Sudahkan aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa
kali.”
“Oh.”
Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali pelan-pelan. Dia sendiri tidak
tahu sudah gelas keberapa martini
yang dipegangnya itu.
Lagi pula tidak seorang pun yang
memedulikan.
“Eh, kau tahu, Marno?”
“Apa?”
“Empire
State Building sudah dijual.”
“Ya, aku membaca hal itu di New York Times.”
“Bisakah kau membayangkan punya gedung
yang tertinggi di dunia?”
“Tidak. Bisakah kau?”
“Bisa, bisa.”
“Bagaimana?”
“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa
menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ....”
Lampu-lampu yang berkelipan di bentara
pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan
kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.
“Oh, kalau saja ....”
“Kalau saja apa, Kekasihku?”
“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik
dan beberapa katak menyanyi di luar sana.”
“Lantas?”
“Tidak apa-apa. Itu akan membuat aku
lebih senang sedikit.”
“Kau anak desa yang sentimental!”
“Biar!”
Marno terkejut karena kata “biar” itu
terdengar keras sekali keluarnya.
“Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”
“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung.
Maaf.”
Marno mengangkat bahunya karena dia
tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.
Sebuah pesawat jet terdengar mendesau
keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.
“Jet keparat!”
Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung
ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka keran air.
Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.
“Aku merasa segar sedikit.”
Jane merebahkan badannya di sofa,
matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia
mulai menyanyi: deep blue sea, baby, deep
blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ....
“Pernahkah kau punya keinginan,
lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu
tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut
yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang
tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”
“He? Oh, maafkan aku kurang menangkap
kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”
“Oh, lupakan saja. Aku cuma ngomong
saja. Deep blue sea, baby, deep blue sea,
deep blue sea, baby, deep blue sea ....
“Marno.”
“Ya.”
“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”
“Belum, tapi kita sudah sering
jalan-jalan ke park-nya.”
“Dalam perkawinan kami yang satu tahun
delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami
berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang simpanse adalah kera yang paling
dekat kepada manusia, aku bilang gorila. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana
sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap
menyangkalnya karena gorila yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga
lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah
beberapa kali.”
“Oh. Marno, semua ceritaku sudah kau
dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”
Marno tidak menjawab karena tiba-tiba
saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam
itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayangan yang terpisah beribu-ribu
kilometer bisa muncul begitu pendek?
“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah
kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang
kau dengar setiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”
“Tapi tidak semua ceritamu pernah aku
dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar.”
“Bukan beberapa, Sayang. Sebagian
besar.”
“Baiklah, taruhlah sebagian terbesar
sudah aku dengar.”
“Aku membosankan jadinya.”
Marno diam tidak mencoba meneruskan.
Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut
dan hidungnya.
“Tapi Marno, bukankah aku harus
berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira
Manhattan tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah
seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di
satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”
Jane memejamkan matanya dengan dadanya
lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya. Kemudian
dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.
“Marno, kemarilah, duduk.”
“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk
terus di situ.”
“Kemarilah, duduk.”
“Aku sedang enak di jendela sini, Jane.
Ada beribu kunang-kunang di sana.”
“Kunang-kuang?”
“Ya.”
“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku
belum pernah lihat.”
“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil
sebesar noktah.”
“Begitu kecil?”
“Ya. Tetapi kalau ada seribu
kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”
“Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”
“Ya, pohon-hari-natal.”
Marno diam lalu memasang rokok sebatang
lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang
jauh entah ke mana.
“Marno, waktu kau masih kecil ... Marno,
kau mendengarkan aku, kan?”
“Ya.”
“Waktu kau masih kecil, pernahkah kau
punya mainan kekasih?”
“Mainan kekasih?”
“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke
mana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat
sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si
Jilamprang.”
“Itu bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”
“Tidak selalu. Mainan yang paling aku
kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang jelek sekali
rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”
“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira.
Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”
“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi
sekarang.”
Diraihnya bantal yang ada di sampingnya,
kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba
dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepada Marno yang
masih bersandar di jendela.
“Marno, Sayang.”
“Ya.”
“Aku kira cerita itu belum pernah kau
dengar, bukan?”
“Belum, Jane.”
“Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku
sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”
Marno tersenyum.
“Aku tidak tahu, Jane.”
“Tahukah kau? Sejak sore tadi baru
sekarang kau tersenyum. Mengapa?”
Marno tersenyum.
“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”
Sekarang Jane ikut tersenyum.
“Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus
berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”
“Apakah itu, Jane?”
“Piyama. Aku telah belikan kau piyama,
tadi. Ukuranmu medium-large, kan?
Tunggu, ya ....”
Dan Jane, seperti seekor kijang yang
mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat
masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia
keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.
“Aku harap kau suka pilihanku.”
Dibukanya bungkusan itu dan
dibeberkannya piyama itu di dadanya.
“Kau suka dengan pilihanku ini?”
“Ini piyama yang cantik, Jane.”
“Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira
sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”
Marno memandang piyama yang ada di
tangannya dengan keraguan.
“Jane.”
“Ya, Sayang.”
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan
tidur di sini malam ini.”
“Oh? Kau banyak kerja?”
“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma
tak tahulah ....”
“Kau merasa tidak enak badan?”
“Aku baik-baik saja. Aku ... eh, tak
tahulah, Jane.”
“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak
akan bertanya lagi.”
“Terima kasih, Jane.”
“Aku bungkus saja piyamamu!”
“Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak
akan membawanya pulang.”
“Oh.”
Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama
itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali
dari kamarnya.
“Aku kira, aku pergi saja sekarang,
Jane.”
“Kau akan menelepon aku hari-hari ini,
kan?”
“Tentu, Jane.”
“Kapan aku bisa mengharapkan itu?”
“Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera
aku kira.”
“Kau tahu nomorku kan? Eldorado.”
“Aku tahu, Jane.”
Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi
Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselen. Lalu menghilanglah Marno di balik
pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.
Di kamarnya, di tempat tidur sesudah
minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.
Diambil
dari Seribu Kunang-kunang di Manhattan, Kumpulan Cerpen
Umar Kayam (Pustaka Utama Grafiti, 2009)
hlm. 1-11.
Apresiasi
Potret
Diri yang Retak
Cerpen di atas
barangkali merupakan cerpen Umar Kayam yang paling populer, setidaknya paling
populer bagi saya. Saat belajar aperiasi dan kajian prosa fiksi, tanpa bosan
guru kami merapal judulnya, Seribu
Kunang-kunang di Manhattan, menanyakan kepada kami siapa penulisnya, serta
menjelaskan isinya serba sedikit. Penggalan cerpen itu muncul dalam soal ujian
kami. Anehnya, guru kami itu tidak mengarahkan kami supaya menganalisis sendiri
cerpen tersebut untuk kemudian diobrolin bareng-bareng.
Hasilnya bisa diterka:
adalah keberuntungan yang lumayan besar bila kami masih ingat judulnya dan
siapa penulisnya. Bagaimana pemaknaan kami atas cerpen itu, mohon jangan
ditanyakan. Saya jamin, Anda pasti kecewa mendengar jawabannya. Kemusproan,
kerugian, dan pemborosan memang acapkali menyelusup masuk ke dalam pengertian
belajar.
Realitas
pengajaran sastra seperti itu, yang biasanya tejadi di lembaga pendidikan formal,
kabarnya sudah merupakan gejala yang jamak dan lazim. Sebab itu, pada beberapa
kasus ia menjadi kebenaran yang haram untuk diganggu gugat. Metode pengajaran
sastra yang tidak seperti itu, artinya yang bermakna, kreatif, dan produktif, merupakan
penyimpangan. Dianggap sebagai masalah. Mesti dibereskan, disingkirkan, dijauhi,
ditinggalkan.
Hidup di dalam
dunia yang normal yang tanpa penyimpangan memang lebih aman dan nyaman. Akan
tetapi, orang yang hidup di dalamnya tampaknya asing dengan istilah “kemajuan”
dan “kualitas”. Normalitas pada kenyataannya sering menjadi antonim kebudayaan
dalam pengertiannya yang dinamis, sedangkan kebudayaan dan sastra berada dalam
medan makna yang sama. Sebagai proses, sastra bertentangan dengan, atau
sekurang-kurangnya merupakan kontras dari, normalitas. Lembaga pendidikan
formal biasanya mengingkari kenyataan itu.
Di sini saya
tidak akan ngomong muluk-muluk soal, dan sok mengkritisi, pengajaran sastra.
Saya sadar, saya tidak ahli dalam bidang itu. Sebagai pembaca awam, saya hanya
mau mengapresiasi Seribu Kunang-kunang di
Manhattan tanpa kerangka kerja yang gamblang dan perangkat teoritis yang
rujukannya dapat Anda periksa.
Apresiasi saya ini
boleh jadi tak menarik buat Anda. Tidak tertutup kemungkinan, apa yang akan
saya kemukakan sudah dikemukakan oleh apresian lain.
Menemukan makna
baru cerpen di atas bukan tujuan saya. Sebagai pembaca pemula, tujuan apresiasi
saya sederhana dan sepele, yaitu mengakrabi Seribu
Kunang-kunang di Manhattan. Itu saja. Upaya pengakraban tersebut saya
lakukan secara subyektif, kadang-kadang dengan kesadaran yang cukup,
kadang-kadang tidak. Karena itu, catatan ini sepertinya akan runtuh jika diuji
dengan teori menulis yang benar dan baik. Sewaktu-waktu statusnya bisa jatuh
menjadi sekadar coretan seorang peracau yang tanpa fokus, penuh kontradiksi,
dan tidak tentu ujung pangkalnya.
***
Seribu
Kunang-kunang di Manhattan diselimuti hawa konflik. Tetapi
konflik tersebut diungkapkan secara halus. Luput dari perhatian pembaca yang
tidak cermat. Memang cerpen tersebut terlihat menghadirkan perjumpaan dan
harmoni, tetapi itu semu belaka.
Cerpen dibuka
dengan perjumpaan yang takpasti, yang sangat renggang dan berjarak, ditutup
dengan perpisahan yang hampir pasti. Beberapa kali perjumpaan yang sejati
dicoba dibangun. Selalu gagal. Dua tokoh utamanya, Marno dan Jane, terkurung di
dalam penjara pikiran yang mereka konstruksi sendiri. Walaupun mereka
berinteraksi dan berkomunikasi, pada
hakikatnya satu sama lain tidak saling menyapa.
Konflik yang diungkapkan
secara halus itu sudah tercermin dari judulnya, Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Manhattan adalah kota modern
yang terletak di Amerika. Kunang-kunang adalah binatang ndeso, yang mewakili identitas tradisi yang dipandang sebagai kuil
tempat bersemayam segala yang mistis, irasional, dan kuno.
Jadi, mungkinkah
ada kunang-kunang di Manhattan? Rasanya mustahil—khususnya mustahil bagi saya
yang belum pernah menginjak Manhattan. Kunang-kunang tidak mungkin melancong ke
Manhattan. Kalau ada kunang-kunang yang menyaru pelesir ke Manhattan, itu pasti
kunang-kunang yang masih bermental kolonial. Kunang-kunang yang lupa daratan.
Jelasnya, di Manhattan tidak ada kunang-kunang, atau diasumsikan tidak ada
kunang-kunang. Yang ada hanya benda tak bernyawa yang mirip kunang-kunang:
“lampu suar kecil-kecil sebesar noktah”.
Judul cerpen
mengandung konflik internal. Mengisyaratkan adanya dua kubu yang baku hantam di
dalam sebuah diri. Menyangsikan harmoni dan meragukan perjumpaan. Judul yang
berupa kalimat yang secara semantis retak itu mengantar pembaca memasuki
konflik panjang yang dihabisi dengan perpisahan. Mungkin perpisahan selamanya.
Nama kedua tokoh
utama cerpen turut mengentalkan hawa konflik. Marno dan Jane adalah dua nama
dari dua dunia berbeda. Marno dari dunia agraris Jawa, Jane dari dunia
metropolis Barat. Namun demikian, pembedaan tersebut relatif sifatnya. Hanya
relevan diterapkan pada cerpen ini, tidak dapat dimutlakkan dan dirampatkan.
Bisa jadi, ada pula Marno yang lahir misalnya di Paris atau Jane yang lahir
misalnya di Banyumas. Terlepas dari hal
itu, pemilihan nama tokoh utama sama fungsinya dengan pemilihan judul, yaitu
membangun konflik yang halus.
Konflik yang
halus tersebut juga muncul pada paragraf pertama. Umar Kayam memulai Seribu Kunang-kunang di Manhattan dengan
paragraf yang maknanya berlapis ganda. Pada lapis luar, Marno dan Jane
seolah-olah dipertemukan dan dipersatukan oleh kesamaan-kesamaan. Mereka
sama-sama duduk bermalas-malasan di sofa, sama-sama ditemani segelas minuman,
dan sama-sama memandang ke luar jendela.
Akan tetapi, makna
yang disajikan pada lapis permukaan itu ternyata mengecoh. Bila kita
melanjutkan pembacaan menembus lapis permukaan menuju lapis dalam,
kesamaan-kesamaan itu menjadi tidak nyata. Pada lapis dalam, tertangkap
bayangan konflik yang samar, tetapi tak terbantah. Benar bahwa Marno dan Jane
sama-sama ditemani segelas minuman, tetapi Marno ditemani segelas scotch sedangkan Jane segelas Martini. Mereka dipisahkan oleh pilihan
yang berbeda. Itu merupakan potensi konflik yang dapat meledak kapan saja, bisa
pula merupakan konflik yang tersembunyi, yang tidak diakui baik oleh Marno
maupun Jane.
Paragraf pertama
diikuti dialog pendek. Konflik tersembunyi pada paragraf pertama sedikit demi
sedikit dieksplisitkan melalui dialog tersebut. Dialog itu tidak mencapai titik
temu. Hanya dialog semu. Marno dan Jane sesungguhnya tidak bertemu. Tidak ada
perjumpaan sejati. Masing-masing tenggelam dalam pikiran dan perasaannya
sendiri. Dialog tidak menghapus jarak. Kesenjangan antara Marno dan Jane tambah
lebar. Dialog gagal menjadi dialog karena gagal melaksanakan tugas
komunikatifnya.
Marno,
lebih-lebih Jane, bukan tak menyadari hal ini. Jane, yang tampaknya mabuk, berulang
kali berusaha membangun dialog yang berhasil. Usahanya itu justru membuat
suasana kian beku dan hampa, bahkan memanas. Masalahnya, Jane mengajak Marno,
kekasihnya, untuk mengenang bekas suaminya, Tommy, yang keberadaannya sudah tidak
mereka ketahui. Jane mengenang Tommy bersama dan di depan Marno. Masalah
selanjutnya, Jane sudah menceritakan hal yang sama tentang Tommy beberapa kali.
Tidak hanya bosan, Marno mungkin juga jeleh dan jengkel mendengar cerita
tentang Tommy yang itu-itu melulu. Tetapi Marno bertahan menjaga tensi suasana.
Dia tidak menyatakan kemasygulannya secara terang-terangan dan garang.
Marno sendiri
sebetulnya tidak hadir seutuhnya di sana. Tubuh Marno memang di dalam apartemen
Jane yang terletak di Manhattan. Namun, jiwa Marno melayang pulang ke kampung
halamannya. Dia terkenang akan kunang-kunang di desanya, jangkerik yang
mengerik, dan katak yang bernyanyi. Diam-diam Marno juga terkenang akan
isterinya.
Semua itu tidak
Marno temukan di Manhattan. Di Manhattan Marno hanya menemukan lampu-lampu
listrik, gedung-gedung pencakar langit, scotch
dan Martini, dan Jane, perempuan
yang bukan isterinya, yang ingin bercinta dengannya tetapi masih mencintai
bekas suaminya, yang agaknya membayangkan Marno sebagai Tommy. Di Manhattan
Marno hanya menemukan sandiwara, kepura-puraan, kepalsuan, ketidakjujuran,
kesemuan. Ini membuat Marno merasa hampa. Perasaan hampa Marno dilukiskan menggunakan
narasi yang padat dan kuat.
Marno mulai memasang rokok lalu pergi
berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa
awan menggerombol di sekeliling bulan sehingga cahaya bulan jadi suram
karenanya. Dilongokkannya kepala ke bawah dan satu belantara pencakar langit
tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan
bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong
tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.
Marno
berada pada puncak keretakan jiwanya. Dia merasakan daya tarik kampung dan daya
tolak Manhattan yang sama luar biasanya. Kampungnya seolah-olah melambai-lambai
dari kejauhan, memanggilnya pulang. Manhattan serasa tidak menerimanya,
mengusirnya.
Perasaan
rindu dan hampa Marno merasuk ke dalam kata-kata yang dilontarkannya kepada
Jane. “Kalau saja,” ucap Marno “ada beberapa suara jangkerik mengerik dan
bebeapa katak menyanyi di luar sana”. Kata-kata itu mendorong Jane untuk
menantang Marno. Oleh Jane Marno dinilai sebagai anak desa yang sentimental. Marno
menyalak: “Biar”. Tantangan dibalas serangan. Mulai tercipta situasi perang
terbuka. Konflik yang meningkat segera dipadamkan. Marno minta maaf kepada
Jane. Jane minta maaf kepada Marno. Maaf yang berbalas maaf itu memang
mendinginkan suasana, tetapi tidak mencairkan, malah membekukannya.
Konflik yang
dipadamkan itu disambung dengan runtunan konflik halus berikutnya hingga
menjelang akhir cerpen, yaitu ketika Marno, yang sedari awal pertemuan berwajah
muram, memekarkan senyum pertamanya. Jane menafsirkan senyum tersebut sebagai
tanda terbukanya pintu hati Marno untuk menerima ajakan bercintanya.
Tetapi Jane tampaknya
masih ragu apakah tafsirannya benar atau prasangka belaka. Karena itu, Jane
ingin memastikannya dengan berkata kepada Marno: “Tahukah kau? Sejak sore tadi
baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?” Mendengar pertanyaan Jane, Marno
tersenyum sebelum menjawab begini: “Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.” Jane tidak
mencecar Marno dengan pertanyaan lagi, melainkan ikut tersenyum, puas dengan
jawaban Marno dan dengan dua kali senyum kekasihnya. Senyum pun berbalas
senyum.
Mungkin Jane
menyimpulkan, saat itu adalah waktu yang cocok untuk rada terang-terangan
mengajak Marno bercinta. Jane mengambil piyama yang baru dibelinya,
menawarkannya kepada Marno. Sayang sekali, Marno menolaknya.
Ternyata
kesimpulan Jane keliru. Marno tersenyum memang, bahkan dua kali. Namun tidak
setiap senyum menandakan penerimaan, perdamian, perjumpaan sejati. Senyum Marno
adalah senyum seorang ksatria yang merasa plong karena telah berhasil lolos
dari keraguannya untuk menceburkan segenap dirinya ke dalam samudera
peperangan. Senyum Marno adalah genderang perang terbuka yang ditabuh dengan
keyakinan. Sekarang sudah jelas bahwa Marno merupakan lawan atau musuh Jane.
Senyum Marno menandai klimaks konflik.
Marno tidak
memilih Jane dan Manhattan. Marno tampaknya tidak memberi setetes harapan pun
untuk Jane. Marno memilih kunang-kunang, jangkerik yang mengerik, katak yang
bernyanyi, isterinya, kampung halamannya. Marno memilih kesejatian. Kini jiwa
Marno kembali lengkap menyatu. Retak-retaknya telah direkatkan rapat-rapat.
Tetapi Manhattan, tetapi Jane yang ditinggalkannya menjadi tidak pasti
nasibnya. Dibelit ketidakpastian dan dililit harapan yang kandas, Jane meminum
beberapa obat tidur setelah kepergian Marno. Jane merasa bantalnya basah.
***
Pusat cerita
terletak pada Marno, pada jiwa Marno. Kehadiran Jane berfungsi untuk antara
lain menguatkan karakter Marno. Jane adalah representasi dari Manhattan. Jane
atau Manhattan tidak memberi apa pun kepada Marno selain kehampaan dan kepalsuan
yang kemudian menyebabkan Marno mengalami keretakan diri. Gejala keretakan diri
ini diungkapkan melalui judul yang secara semantis retak, narasi yang menyimpan
konflik pada lapisan dalamnya dan melukiskan perasan hampa dengan padat dan
kuat, dan dialog yang sarat dengan runtunan konflik halus yang tensinya
naik-turun. Dengan demikian, ketiga hal itu—untuk dinyatakan secara
terbalik—merefleksikan keretakan diri Marno.
Atas dasar itu,
saya memberanikan diri untuk secara sementara menyimpulkan bahwa Seribu Kunang-kunang di Manhattan
merupakan potret diri yang retak. Secara tekstual, diri yang retak tersebut
adalah Marno. Tetapi secara metatekstual, rasanya tak salah-salah amat jika
saya mencurigai bahwa diri yang retak tersebut adalah sang pengarangnya
sendiri, Umar Kayam.
Itulah benang
merah yang mampu saya tarik setelah saya mencoba mengakrabi Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Benang
merah tersebut barangkali menurut Anda polos dan sederhana lagi
menyedarhanakan. Sebab itu, bila Anda berkenan menguji kekuatan benang merah
saya, saya pasti menyambut ujian yang Anda lancarkan itu dengan tangan terbuka,
dada lapang, dan haturan terima kasih.