Teman kita ini
bernama Nina. Masih kelas VI SD. Bu Maryam, guru yang paling ditakutinya,
minggu lalu memberinya tugas yang harus dikumpul besok. Nina merasa tugas itu
sangat berat. Nina jadi malas mengerjakannya. Tugas itu pasti tidak bakal
selesai bila baru mulai dikerjaan hari ini.
Bila besok Nina
tidak mengumpulkan tugas, Bu Maryam, seperti biasa, aka marah dan menghukumnya.
Bu Maryam akan menyuruhnya hormat bendera sampai bel istirahat berdering. Bu
Maryam juga akan menyuruhnya mengelilingi lapangan sekolah sebanyak sepuluh
kali putaran. Nina tidak mau dimarahi dan dihukum oleh Bu Maryam.
Bagaimana jalan
keluarnya? Nina mendapat ide: menulis surat izin tidak masuk sekolah.
Alasannya, sakit. Ketika menulis surat tersebut, Nina mendengar suara dari
dalam hatinya: “Nin, menulis surat ini namanya berbohong. Jangan tulis surat
ini. Jangan dilanjutkan.” Sesaat Nina ragu melanjutkan “misi penipuannya”. Tapi
Nina kemudian menepis, membungkam, dan mengabaikan suara tersebut. Melanjutkan
menulis surat.
Ada satu masalah
lagi. Surat itu harus ditandatangani oleh orang tuanya. Nina tidak mungkin
meminta ayah atau ibunya menandatangani surat itu. Maka, Nina melipatgandakan
kebohongannya. Memalsukan tanda tangan ibunya.
***
Malam ini Nina
pergi menemui Lala. Rumah Lala tidak begitu jauh dari rumah Nina, berjarak
kira-kira 500 meter saja. Sampai di rumah Lala, cepat-cepat Nina menemui teman
karibnya itu, menceritakan misinya kepada Lala. Lala lalu berkata, “Nin, itu
namanya bohong. Kata ibuku, kita tidak boleh bohong. Kata ibuku, berdosa nanti.
Kata ibuku, nanti kamu kena batunya.”
“Uh. Kata ibuku,
kata ibuku terus... Aku nulis surat ini kan gara-gara Bu Maryam juga. Sudah
galak, seneng marah, seneng menghukum, ngasih tugas berat banget lagi. Tahu
nggak, Bu Maryam itu guru paling kejam sedunia. Sebel aku sama monster itu.”
“Husy! Masak
guru sendiri dikatain monster. Besok masuk aja lah kayak biasa. Kalau tugasmu
belum selesai, ya tinggal ngomong aja ama Bu Maryam. Paling-paling Bu Maryam
menghukum kamu. Tapi kalau kamu bicara ama Bu Maryam, tugasnya berat banget, Bu
Maryam mungkin mau maafin kamu.”
“Ah, nggak
mungkin. Bu Maryam itu jahat. Nggak bakalan kasih maaf. Tugasmu emang udah
selesai?”
“Udah. Barusan
aja.”
“Pokoknya,”
desak Nina “kamu besok pokoknya harus bantu akau ngasih surat ini ama Bu
Maryam. Kalau kamu nggak mau bantu aku, persahabatan kita putus sampai di sini.
Putus!”
“Nin, kok
gituuuuuuu...”
“Pokoknya harus.
Kamus harus bantu aku. Nih suratnya. Udah ya, aku pulang dulu. Met malem...”
Setelah berkata
demikian, setelah memberikan surat izinnya kepada Lala, Nina ngacir pulang.
Lala sebenarnya tidak setuju dengan misi Nina. Lala ingat betul nasihat yang
sering dikatakan ibunya: berbohong itu dosa; orang yang berbohong akan kena
batunya. Walaupun demikian, akhirnya Lala pun membantu Nina. Lala tidak mau
ikatan persahabatannya dengan Nina putus.
***
Sebagaimana
direncanakan, Nina hari ini tidak masuk sekolah. Waktu ibunya bertanya mengapa
tidak masuk sekolah, Nina bingung mau menjawab apa. Nina mencari akal. Ketemu.
Menjawab, “Hari ini kan sekolah libur, Bu. Semua guru rapat. Sekolah
diliburkan.”
Nina bohong
lagi. Sebuah kebohongan memang melahirkan kebohongan-kebohongan lain. Ibu Nina
tidak sepenuhnya percaya dengan ucapan anaknya. Soalnya, wajah Nina memancarkan
gelagat aneh. Ibu membiarkannya. Tidak mengusut lebih lanjut ucapan Nina.
Hingga sore,
Nina di rumah saja. Tidak pergi ke mana-mana. Sekitar pukul tiga sore, pintu
rumah diketuk. Nina sedang di dapur. Seorang perempuan beruluk salam dan
mengucapkan “permisi”.
Kayaknya, pikir
Nina, aku kenal suara itu. Nina bingung dan ketakutan. Pintu diketuk lagi.
Suara uluk salam dan “permisi” terdengar lagi. Kali ini kian keras. “Aduh,
gimana ini?” teriak Nina dalam hati, sambil bergegas masuk ke dalam kamarnya.
Pintu kamar dikuncinya.
Nina berjalan
mondar-mandir di dalam kamarnya. Ia mengutuki dirinya sendiri, “Bodoh, kenapa
aku tulis surat itu? Kenapa aku bohong? Masak sekarang harus pura-pura sakit!”
“Nin, itu
pintunya dibuka! Ada tamu,” perintah Ibu kepada Nina. Karena yang disuruh lama
tidak menyahut, Ibu pun membukakan pintu dan menyambut sang tamu.
“Waalaikumsalam. Eh, Bu Maryam. Mari masuk.
Silakan duduk, Bu. Minum apa, Bu? Oh ya, saya baru menerima kiriman kopi dari
luar kota. Katanya sih enak. Saya bikinkan kopi saja, ya Bu?”
Setelah
mempersilakan Bu Maryam duduk, Ibu pergi ke dapur, membuatkan secangkir kopi
untuk guru anaknya. Tidak berapa lama, Ibu telah menyuguhkan secangkir kopi itu
kepada Bu Maryam.
“Bagaimana, Bu?
Enak kan kopinya?” tanya Ibu Nina.
“Enak sekali.
Ini kopi dari daerah mana ya? Baru kali ini saya minum kopi seenak ini.
Sebenarnya, saya datang ke sini untuk menjenguk Nina. Nina sakit apa, Bu? Kok
sampai tidak masuk sekolah?”
Ibu Nina
terkejut. Nina sakit? Lho, katanya hari ini sekolah libur. Benar dugaanku,
pikir Ibu, anak itu pasti menyembunyikan sesuatu. Tahu Nina menipu gurunya, Ibu
merasa malu sekali terhadap Bu Maryam. Ibu lantas memanggil Nina, “Nin, ke
sini! Ini ada Bu Maryam. Datang menjengukmu.”
Nina, yang dari
tadi menguping pembicaraan antara Bu Maryam dan ibunya, tambah takut dan
bingung. Andai punya teman seperti Doraemon, ia akan membujuk Doraemon
mengeluarkan “Pintu Kemana Saja” dari kantong ajaibnya. Tapi Nina bukan Nobita.
Tidak punya teman seperti Doraemon. Nina tidak bisa lari. Tidak bisa sembunyi
lagi.
”Nin, cepet ke
sini! Bu Maryam menunggumu ini,” panggil Ibu sekali lagi, dengan nada suara
yang makin lama makin meninggi. Ibu memang sedang menahan amarahnya.
Nina keluar dari
kamarnya, berjalan lemas menuju ruang tamu dengan kepala tertunduk, untuk
memenuhi panggilan ibunya. “Nin, duduk!” perintah Ibu, singkat, rada kasar.
Kemarahan Ibu sedikit meledak rupanya.
Kali ini, Bu
Maryamlah yang terkejut. Nina tampak sehat-sehat saja. Badannya bugar. Sangat
bugar malah. Hanya wajahnya memang pucat. Pucat bukan karena sakit, tetapi
karena takut. Bu Maryam berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Sebagai
basa-basi, Bu Maryam bertanya kepada Nina, “Nin, bagaimana, sudah sembuh? Sakit
apa, kok sampai tidak masuk sekolah? Wajahmu pucat sekali.”
Nina tidak dapat
membuka mulutnya. Tidak tahu harus menjawab apa. Malah menangis. Menyaksikan
muridnya menangis, Bu Maryam berbasa-basi lagi, “Lho, kok nangis, Nin?” Karena
telah sangat marah, Ibu tidak trenyuh oleh tangis Nina. Malah tambah marah.
“Nin, cepat minta maaf kepada Bu Maryam!” Bukan mematuhi perintah ibunya,
tangis Nina justru menjadi-jadi.
Tanggap keadaan,
Bu Maryam berkata, “Nin, sudah. Jangan menangis lagi. Ibu sudah tahu. Ibu akan
memaafkan kamu, asal kamu mau mengakui kesalahanmu, asal kamu mau jujur
mengungkapkan alasanmu menulis surat izin palsu itu, asal kamu berjanji tidak
akan mengulangi kesalahanmu lagi. Jangan berbohong lagi. Jangan menipu lagi.”
“Nin, cepat
minta maaf kepada Bu Maryam!” Ibu mengulangi perintahnya. Sambil sesenggukan,
Nina pun minta maaf kepada Bu Maryam. “Kenapa kamu berbohong?” tanya Bu Maryam.
“Saya belum mengerjakan tugas yang Ibu suruh. Tugas yang Ibu berikan sangat
berat. Saya takut, kalau saya masuk dan belum mengerjakan tugas, Ibu memarahi
dan menghukum saya.”
Sekali lagi, Bu
Maryam terkejut. Bu Maryam sadar, ternyata Nina berbohong karena dirinya. Bu
Maryam juga sadar, selama ini kelewat galak kepada murid-muridnya, terlalu
egoistis, kurang memperhatikan kondisi mereka. Tidak dekat dan akrab dengan
mereka.
“Sepertinya,
saya juga harus minta maaf kepada Nina. Nin, maafkan saya, selama ini memang
Ibu terlalu galak sama kalian, sama Nina juga. Tapi itu bukan alasan untuk
tidak masuk sekolah. Tidak mengerjakan tugas juga bukan alasan untuk tidak
masuk sekolah. Sekarang, Ibu janji tidak akan galak lagi sama kalian, tapi Nina
juga janji ya, tidak akan menipu lagi, apalagi menulis surat izin palsu seperti
tadi.” Nina mengangguk. Isak tangisnya mereda.
Ketika mendengar
pengakuan anaknya, marah Ibu Nina luntur. Ternyata Nina tidak sepenuhnya salah.
“Nah, Nin, itu dengar kata-kata Bu Maryam. Jangan bohong lagi. Jangan menipu
lagi. Jangan menulis surat izin palsu lagi.”
Kepada Bu
Maryam, Ibu berkata, “Bu, mohon maafkan kesalahan anak saya, ya. Nina memang
bandel. Saya jadi malu kepada Ibu, apalagi Ibu minta maaf segala kepada Nina.
Ibu tidak perlu minta maaf kepada anak bandel ini.”
“Tidak apa-apa,
Bu,” balas Bu Maryam. “Meminta maaf kepada Nina merupakan keharusan bagi saya.
Saya harus memberi teladan baik. Wah, sudah setengah empat ini. Sudah waktunya
menjemput Aan. Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Bu”.
Ibu Nina tidak
mencoba menahan tamunya agar tidak segera pulang. Ia tahu bahwa Aan, putra Bu
Maryam yang mengikuti kursus bahasa Perancis, sekarang pasti sedang menunggu
jemputan ibunya.
***
Nina kapok.
Sejak mengalami kejadian itu, tidak mau menulis surat izin palsu lagi. Nina
bertekad, tidak akan berbohong untuk tujuan buruk lagi. Tidak mau kena batunya
lagi. Nina kini rajin mengerjakan tugas-tugas sekolah. Menjadi dekat dengan Bu
Maryam yang dulu ditakuti dan dimusuhinya.
Sekarang Bu
Maryam benar-benar menjadi sahabat bagi murid-muridnya. Ia tidak lagi dijuluki
sebagai “monster” atau “guru paling kejam sedunia”.
Sementara itu,
Ibu kini lebih teliti memperhatikan perilaku Nina. Ibu sekarang sering
menanyakan kepada Nina apakah ada tugas sekolah dan apakah tugas sekolahnya
telah dikerjakan atau belum.
Yogyakarta,
Maret-April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam