Muhadi (80)
masih terus membuka lapak sol sepatunya, yang berada di sebelah selatan mal
Ramayana, sejak puluhan tahun lalu. Tak terpengaruh perubahan zaman. Seakan
menolak diseret gelombang modernitas Malioboro.
ZAMAN berganti. Wajah Malioboro kini sudah jauh berubah. Mal-mal besar didirikan. Kendaraan bermotor memadati jalan. Iklan-iklan berjubel. Seolah-olah bersaing memperebutkan ruang yang semakin sempit. Tapi siapa sangka, di antara deretan mal megah, toko sandang, warung makanan, dan lapak-lapak yang menjual berbagai produk sepanjang Jalan Malioboro, terdapat sebuah lapak kecil yang lain dari yang lain: lapak sol sepatu. Pemiliknya bernama Muhadi.
Lapak yang
berada persis di depan toko Vadka Fashion, sebelah selatan mal Ramayana, itu
begitu bersahaja. Di depan kursi yang diduduki Muhadi, ada sebuah meja kecil.
Sepatu dan sandal rusak menumpuk di atasnya. Di atas meja itu juga ada tumpukan
lembaran ban dan kotak plastik berisi peralatan untuk mengesol sepatu. Di
sebelah kanan kursi, tersender sepeda tanggung Muhadi yang berwarna biru.
Muhadi menggeluti usaha tersebut sejak 40 tahun lalu. Ternyata, perubahan besar
yang terjadi di Malioboro, sama sekali tidak berpengaruh terhadap Muhadi. Tidak
dapat menggusur lapaknya yang bersahaja.
Selama ini,
usaha sol sepatunya telah menghidupi keluarganya. Tapi ia mengaku, usaha sol
sepatu tidak membuatnya kaya. Keuntungan yang diperoleh tidak banyak.
Penghasilan serba pas-pasan. Bahkan, ia pernah menjual dua sepedanya untuk
mencukupi biaya sekolah anaknya. Ketika istrinya sakit, 25 tahun silam, Muhadi
menjual sepedanya yang lain untuk membayar biaya pengobatan dan perawatan.
Memang,
pelanggan Muhadi sedikit. Ketika diwawancarai selama lebih dari setengah jam
pada Minggu (6/4) siang itu, tak seorang konsumen pun yang menyewa jasa sol
sepatunya. Sepanjang wawancara, ia hanya sibuk memperbaiki sandal perempuan
yang ditinggalkan pemiliknya untuk diperbaiki.
Demi menutupi
kekurangan ekonomi keluarga, Muhadi lama bekerja di sebuah pabrik sepatu.
Membuat sepatu untuk umum. Juga untuk tentara. Semasa bekerja di pabrik, ia
kerap bertemu dengan Sri Sultan Hamengkubowono IX. Di sana, gubernur Yogyakarta
pertama itu disapa Ndoro Jatun. Demikian kenang Muhadi.
Bekerja untuk Cucu
Karena usaha
sol sepatu hanya menghasilkan untung kecil, ia tak punya ekspektasi bisnis yang
melambung tinggi. Muhadi bekerja sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidup. Kini,
ketika anak-anaknya yang telah mapan menanggung semua biaya hidupnya, ia tetap
bekerja. Hasilnya tidak untuk dirinya sendiri, tapi untuk cucunya. Penghasilannya
sehari, sebesar Rp. 30.000,00, ia berikan seluruhnya kepada cucunya sebagai
uang jajan.
Jumlah uang
sebanyak itulah yang dijadikan Muhadi sebagai target penghasilan harian. Saban
hari, setelah memperoleh penghasilan sebesar Rp. 30.000,00, ia menutup lapaknya.
Lalu pulang dengan mengendarai sepeda tanggungnya. Rumahnya terletak di
belakang kantor surat kabar harian Kedaulatan Rakyat di Jalan Pangeran
Mangkubumi. Jadi jam kerja Muhadi tidak tentu. Lapak dibuka pagi-pagi, sekitar
jam delapan. Ditutup setelah target penghasilan harian tercapai, jam berapa pun
itu.
Di rumah,
Muhadi tak mengutak-atik usaha sol sepatunya lagi. Waktu senggangnya digunakan
untuk memancing di tepi Kali Code. Belakangan, ia punya kesibukan baru di
rumah: menyambut tamu-tamu politik anaknya yang menjadi calon anggota
legislatif dari Partai Demokrat.
Ngeplak Preman Papua
Puluhan tahun
membuka lapak sol sepatu di Malioboro, Muhadi tentu punya pengalaman menarik.
Konsumen luar Jawa sering memberinya uang lebih. “Kadang Rp 30.000,00, kadang
Rp 50.000,00,” tuturnya sambil mengiris bantalan ban untuk dipasang pada sandal
yang sedang diperbaikinya. Ada juga bule yang ngesol sepatu di lapaknya.
Ia kemudian
menceritakan pengalaman lain yang tak kalah menarik. Saat itu seorang preman
Papua yang biasa beroperasi di Malioboro, memalak toko fashion di depan
lapaknya. Menagih “uang pajak”. Muhadi bangkit dari lapaknya, menghampiri
preman tersebut, lalu mengeplak kepalanya. Anehnya, si preman tidak menghajar
balik, justru segera pergi meninggalkan tempat itu. Barangkali si preman segan
menghadapi Muhadi. Di kawasan Malioboro, terutama kawasan Lor Pasar
Beringharjo, kakek satu ini dikenal sebagai veteran perang kemerdekaan yang
berani, tegas, dan keras. Ia pernah bertempur bersama Soeharto dan Jenderal
Soedirman.
Muhadi mengingat
Soeharto sebagai perwira pengecut. Mantan presiden Indonesia itu lari dari
medan tempur saat peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Berbeda dengan Soeharto, Pak
Dirman, begitu Muhadi menyebut Jenderal Soedirman, dikenangnya sebagai komandan
yang keras. “Pak Dirman orangnya keras,” ujarnya. Sewaktu mengalami sakit parah
pun, Pak dirman terus berjuang di medan tempur, meskipun dengan ditandu. Dan
salah seorang pemanggul tandu Pak Dirman ialah Muhadi.
Pergulatan
dalam dunia militer dulu ternyata bermanfaat bagi kesehatannya semasa tua. Daya
tahan tubuh Muhadi kuat. Fisiknya masih bugar, meskipun ia mengira sebentar
lagi akan memerlukan tongkat sebagai alat bantu jalan. Penglihatan masih cukup
jelas. Muhadi masih sanggup mengayuh sepeda dari Malioboro sampai Imogiri. Tiga
bulan lalu, Muhadi memang dirawat di rumah sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Sakit
paru-paru akibat banyak menghirup asap saat bekerja di pabrik dulu.
Siap-Siap Pulang
Meskipun
terhitung bugar dan masih mampu bekerja, Muhadi memang sudah sepuh. Usianya
kini 80. Menyadari kesepuhannya ini, Muhadi merasa tak perlu bercita-cita
apa-apa lagi. “Saya sudah harus bersiap-siap pulang,” katanya. Maksudnya tentu
bersiap-siap menghadapi ajal.
Kalau kelak,
entah kapan, Muhadi meninggal, kita jelas akan kehilangan seorang perlambang
hidup masa lalu Malioboro. Malioboro akan semakin ditenggelamkan gelombang
modernitas. Dan ketika jalan-jalan di Malioboro, kita tidak akan lagi melihat
kebersahajaan lapak sol sepatu Muhadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam