Menjadi
museum penopang keisimewaan Yogyakarta, Dewantara Kirti Griya, yang terletak di
Jalan Tamansiswa 31 Yogyakarta, justru lamban berbenah karena tak didukung
penuh keluarga Tamansiswa.
WALAU
belum mencapai kulminasi, matahari sudah tinggi. Panasnya mulai menyengat.
Lantaran berjalan di bawah lindungan pohon besar yang rindang, sengatan panas
matahari tak saya rasakan. Pohon besar itu tumbuh di sebuah taman kecil yang
bersih dan rapi, menjadi hiasan indah bagi rumah tua yang terletak di
sampingnya.
Di
beranda rumah, lelaki berumur 30-an duduk berlesehan menghadap pendapa
Tamansiswa. Mengira ia-lah juru rawat rumah tua tersebut, kepadanya saya
bertanya, “Pak, alas kaki boleh dipakai?”. “Boleh, boleh. Pakai saja. Tidak
apa-apa,” jawabnya meyakinkan. Saya pun memasuki rumah tanpa melepas sandal.
Sebuah
kursi goyang di ruang keluarga seolah menyambut kedatangan saya. Di tembok
belakang kursi goyang tersebut, terdapat rak dinding tempat meletakkan deretan
buku tebal. Rata-rata berbahasa belanda. Kertasnya sudah berwarna sephia. Pada
bagian tembok lain, tergantung sebuah lukisan dan sejumlah porselin piring biru
muda.
Dari
ruang keluarga, saya beranjak menuju ruang tamu. Di tengah ruangan, ada satu
set kursi kayu ditata melingkar. Ada sebuah almari kaca tempat menyimpan dua
tanda penghargaan: bintang mahaputera kelas satu dan lencana tunas kelapa. Ada
patung kepala Ki Hadjar Dewantara yang menempel di tembok. Di bawahnya, terukir
prasasti bertuliskan candrasengkala: miyat ngaluhur trusing budhi, kalimat
sandi untuk tahun 1970 Masehi. Pada tahun itu, rumah tua ini, yang dulu
ditinggali Ki Hadjar Dewantara sekeluarga, diresmikan oleh Nyi Hadjar sebagai
Musemum Dewantara Kirti Griya.
“Wah,
ini mortir ya?” ujar seseorang, mengagetkan saya. Itu suara lelaki yang tadi
duduk di beranda samping. Ternyata ia bukan juru rawat museum. Tapi bapak yang
sedang menjemput anaknya yang bersekolah di Taman Indriya, sebutan untuk Taman
Kanak-Kanak dalam sistem perguruan Tamansiswa. “Iya, Pak. Itu mortir. Awas lho,
Pak. Nanti meledak,” jawab saya bercanda. Si bapak mesem.
Pagi
menjelang siang itu, pengunjung museum bukan hanya saya dan si bapak “mortir”.
Datang juga tujuh pengunjung lain: dua siswa Taman Madya (setingkat SMP), empat
mahasiswa, dan seorang lelaki berpotongan wartawan. Sebagian memasuki satu
ruang saja, sebagian lain menjelajahi seluruh ruangan museum: ruang keluarga,
ruang tamu, ruang tidur Ki dan Nyi Hadjar, ruang kerja Ki Hadjar, ruang tidur
Ki Hadjar, dan ruang tidur putrinya.
“Jumlah pengunjung tidak pasti. Tapi tiap hari ada. Sendiri-sendiri maupun rombongan,” jelas Sri Muryani, pengelola museum, yang berkantor di perpustakaan samping museum. Pengunjung perpustakaan tiap hari juga ada, tapi juga tidak pasti jumlahnya.
Siang
itu (11/6), saat saya menumui Bu Mur—demikian Sri Muryani kerap disapa—ada dua
pengunjung: peneliti dan mahasiswa dari UGM. Kepada Bu Mur, mahasiswa itu
lantas minta difotokopikan sejumlah halaman naskah beraksara Jawa. Perpustakaan
museum memang punya banyak koleksi naskah: sekian jilid Babad Tanah Jawa,
sekian jilid Babad Giyanti, sekian jilid pakem pedalangan, entah berapa
eksemplar sastra Melayu Tionghoa, dan masih banyak lagi.
Setelah
melayani mahasiswa tersebut, kepada saya Bu Mur berkata, “Yang datang ke sini
malah banyak mahasiswa luar. Dari UGM, dari UNY, dan lain-lain. Dari UST
jarang.” Ia tahu, saya mahasiswa UST. Sindirannya membuat saya tertegun.
Dari
keluarga Tamansiswa, bukan hanya mahasiswa UST yang jarang mengunjungi museum
dan perpustakaan. Petinggi majalis luhur Tamansiswa pun jarang. Keluarga
Tamansiswa kecil perhatiannya terhadap museum. Nasibnya bagai anak tiri: ada
untuk dilupakan. Itulah yang membuat meseum lamban berbenah. Padahal, sebagai
salah satu museum penopang keistimewaan Yogyakarta, Dewantara Kirti Griya
harusnya kini gesit berbenah.
Nyatanya,
pihak Tamansiswa tidak mendukung usaha Bu Mur untuk membenahi dan memajukan
museum. “Kami kurang tenaga pengelola. Kami minta bantuan tenaga ke majelis
luhur. Tidak diberi. Malah Mas Agus (pengelola museum yang lain) mau ditarik ke
majelis luhur,” tutur Bu Mur. Ia kemudian minta bantuan ke Dinas Kebudayaan.
“Dinas Kebudayaan mau memberi bantuan tenaga pengelola, tapi tua-tua. Kami
butuh yang muda-muda,” lanjutnya.
Sekarang,
museum hanya punya dua pengelola, Bu Mur dan Mas Agus. Sementara itu, pekerjaan
begitu banyak. Bu Mur sangat berharap, ada relawan-relawan muda yang siap
membantunya bekerja mengelola, membenahi, dan memajukan museum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam