SAYA lahir dan besar di sebuah kampung transmigran, dusun Suka Damai, desa Pondok
Meja. Lokasinya nun di pelosok Jambi. Di kebun keluarga yang letaknya tidak
jauh dari rumah, kadang-kadang masih terlihat segerombolan beruk liar yang
berlompatan dari satu pohon karet ke pohon karet lain. Masih ada satu dua
cerita tentang pasukan babi hutan yang menggasak kebun palawija warga. Sekali
waktu saya bertatapan dengan biawak, binatang soliter yang ditakuti warga
kampung karena dianggap bertuah. Di parit dekat rumah, seekor ular sebesar paha
orang dewasa pernah ditangkap. Seekor kobra nyelonong masuk ke ruang tamu
ketika kami sekeluarga tidur siang. Suatu pagi saat menyadap getah karet, ibu menyaksikan
penampakan harimau putih.
Penduduk
kampung saya rata-rata migran dari pulau Jawa, antara lain dari Jepara,
Pacitan, Sunda, Kebumen, Ponorogo, Pati. Yang terbanyak adalah migran dari
Kebumen, tanah leluhur saya. Datang ke Jambi dalam beberapa gelombang migrasi.
Gelombang pertama menginjak Jambi pada zaman revolusi.
Mayoritas
migran Jawa ini petani. Mereka menggarap kebun karet sendiri, walaupun tidak
seberapa luas. Ada juga yang menjadi buruh penggarap lahan karet milik saudara,
tetangga, atau taukenya. Umumnya para migran ini kerasan di Jambi. Yang setiap tahun
mudik ke Jawa saat Lebaran, bisa dihitung jari jumlahnya. Ibu saya baru mudik
ke Jawa setelah lebih dari 20 tahun hidup di Jambi.
Di
kampung saya, jumlah warga Melayu Jambi sedikit. Profesi mereka umumnya tidak
‘ndeso’, yaitu guru, penyuluh pertanian, pegawai bank, dan sebagainya. Ada
sorang dua orang yang menyadap getah karet, mengikuti jejak tetangganya yang
Jawa.
Dalam
percaturan sosial, posisi mereka tidak begitu berarti, bahkan terdesak,
terjepit, dan terpinggir. Ayah menyebut minoritas sosial ini sebagai orang kenyok. Sebab, mereka sering
mengucapkan kata kenyok, sebuah kata dalam
bahasa Melayu Jambi yang artinya ‘bukan’. Hubungan antara komunitas Jawa dengan
komunitas Melayu harmonis, tetapi tidak bebas dari prasangka etnis. Api sentimen
antaretnis yang bersifat pribadi, belum pernah berkobar menjadi konflik
terbuka.
Hingga
saya merantau ke Yogya, belum ada keluarga Bugis, Banjar, Tionghoa, Batak, atau
Padang yang tinggal di kampung saya. Saya juga heran, kok bisa begitu? Padahal,
di daerah Jambi kota, yang berjarak kira-kira 15 kilometer dari kampung saya,
lima etnis tersebut tidak sulit dijumpai.
Kampung Abangan
Tentu
saja, lantaran mayoritas penduduknya berdarah Jawa, kampung saya amat bernuansa
Jawa. Bukan Jawa santri apalagi Jawa priyayi, tetapi Jawa abangan. Sebelum
peristiwa 30 September 1965, konon kampung saya jadi sarang judi togel. Seorang
bandar togel yang kawentar hingga ke kampung-kampung tetangga, sampai sekarang
masih hidup. Mbah Muji namanya, teman sekaligus tetangga almarhum kakek.
Selidik punya selidik, keduanya ternyata dedengkot PKI.
Ketika
saya sowan ke rumahnya, Mbah Muji
menasihati saya untuk belajar bahasa Jawa, maksudnya bahasa Jawa halus, krama inggil. Ia tahu, saya sedang merantau
di Yogya, jantung budaya Jawa.
Saya
bisa memastikan, tak seorang pun anak muda di kampung saya yang menguasai krama inggil, meskipun mereka keturunan
Jawa. Sama seperti saya, mereka lahir dan besar di Jambi. Sejak kecil,
sehari-hari mereka berkomunikasi dengan bahasa Jawa ngoko yang bercampur-aduk dengan bahasa Melayu-Jambi. Tanyai mereka
arti rahayu atau widodo, pasti jawabannya ‘tidak tahu’.
Kalau
mau mantu atau nyunat atau nyukur, warga
kampung berkonsultasi dengan seorang sesepuh, Mbah “Haji” Ngadino, untuk
menentukan kapan acara itu akan diselenggarakan. Sebelum menentukan jadwal
acara, ia menanyakan weton kliennya.
Gelar
‘haji’ yang disandang sesepuh satu ini, perlu ditandapetiki. Dalam pergaulan
sosial, ia sangat menonjolkan kehajiannya dan keislamannya. Entah kenapa. Ia
sampel sintesa Jawa dan Islam yang terjadi di Jambi. Bukankah proses sintesa Jawa
dan Islam tidak hanya terjadi di pulau Jawa, tetapi juga berlangsung di
daerah-daerah perantauan orang Jawa, termasuk Jambi?
Ritual
slametan tujuh hari, empat puluh
hari, atau seribu hari meninggalnya salah seorang anggota keluarga, belum punah
di kampung saya. Justru warga akan was-was kalau ritual ini tidak diadakan. Takut
ketiban sial. Takut kena balak. Takut sang arwah menjadi marah atau penasaran.
Apabila
menghadiri slametan, Anda bisa
melihat tumpeng kuat, nasi kuning, ingkung,
jajan pasar, dan macam-macam uba rampe
khas ritual Jawa lain. Pada pengujung ritual, doa dibacakan dalam dua bahasa
oleh dua tokoh kampung: bahasa Arab oleh imam kampung dan bahasa Jawa oleh
sesepuh kampung yang tugasnya memang sebagai pendoa, tepatnya perapal mantra
doa. Dalam doa berbahasa Jawa ini, disebut nama nabi-nabi, tetapi disebut pula
nama makhluk-makhluk halus yang barangkali menjadi penjaga kampung. Ayah dan
ibu, yang belakangan ini keislamannya menebal sedangkan keabangannya menipis, agak
tidak sreg dengan doa yang sinkretis tersebut. Saya sih netral-netral saja…
Tradisi Nyekar
Sewaktu
saya kecil, menjelang bulan Puasa seperti saat ini atau menjelang Lebaran, ayah
biasanya pergi ke pasar Angso Duo untuk membeli kembang setaman. Pulang dari
pasar, ia mengajak saya ke pemakaman kampung. Membersihkan makam kakek, bibi,
dan sepupu yang telah wafat. Lalu membaca Yasin dan berdoa di sana. Sementara
itu, di rumah ibu membuat bubur merah bubur putih dan segelas air teh untuk
diletakkan di sudut kamar sembahyang. Di antara sesajen dinyalakan sebuah lampu
teplok kecil. Tanpa sepengatahuan ibu
dan ayah, diam-diam saya mendulit-dulit bubur merah yang manis rasanya itu.
Warga
kampung menyebut rangkaian ritual ziarah kubur menjelang bulan Puasa dan
Lebaran tersebut sebagai nyekar. Saat
belajar di Yogya, saya baru ngerti bahwa ritual semacam ini tidak hanya ada di
kampung saya, melainkan juga merupakan tradisi di daerah-daerah berbudaya Jawa.
Nyekar sangat berkesan bagi saya,
sampai-sampai dengan tidak begitu saya sadari, saya pernah memuisikan ritual
ini.
Tapi
sayang, kelihatannya di kampung saya nyekar
nyaris punah. Pada beberapa pulang kampung terakhir, saat menjelang Lebaran
saya tidak menemukan sesajen yang diletakkan di kamar sembahyang, kendati masih
melihat ayah berziarah ke pemakaman seorang diri.
Mungkin
kampung saya, setidaknya keluarga saya, telah menjadi semakin modern dan
menjadi semakin Islam. Ayah kini kerap mengimami salat jamaah di masjid,
sedangkan Ibu kini rajin mengenakan jilbab. Keluarga besar saya rutin mengikuti
pengajian thoriqoh yang diadakan
sebuah pondok pesantren di desa tetangga, cabang pondok pesantren Lirboyo,
Jawa Timur. Saban Jumat Pon diadakan pengajian selapanan di masjid kampung. Pembina merangkap penceramah tetapnya
ialah ibu nyai pengasuh pondok pesantren Nurul Iman yang terletak di desa
tetangga, cabang pondok pesantren Tebu Ireng, Jawa Timur. Kiainya berkerabat
dengan kiai-kiai pondok pesantren al-Munawir, Krapyak, Yogya.
Yogya, 8 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam