Semut yang berada nun jauh
di sana, tampak. Akan tetapi, gajah di pelupuk mata sendiri, tidak tampak.
Itulah ihwal yang dialami dua orang berikut ini. Orang pertama nggolek banyu
tapi apikulan warih; mencari air tapi sudah memikul ember yang penuh air. Orang
kedua nggolek geni tapi adedamar; mencari api tapi sudah menggenggam pelita
yang apinya menyala terang.
Apakah mereka bodoh? Boleh
jadi ya, boleh jadi pula tidak. Sebab, air yang dipikul itu bukan air biasa. Pelita
yang digenggam itu pun bukan pelita biasa. Mata lahir tidak dapat
menjangkaunya. Air dan pelita itu ada di seberang apa yang tampak, berada di
dunia yang melampaui fisik.
Air yang sesungguhnya sedang
dipikul itu dan pelita yang sejatinya sedang digenggam itu hanya dapat
disaksikan dengan mata batin, dengan rasa yang halus dan tajam. Tidak semua
orang mau dan mampu mengasah rasanya sehingga halus dan tajam. Itulah sebabnya,
si pencari api tidak mengetahui bahwa dia sedang menggenggam pelita, si pencari
air tidak menyadari bahwa dia sedang memikul ember penuh air.
Lantas, apakah air yang
dipikul itu? Apakah pelita yang digenggam itu?
Peribahasa pertama berbunyi,
nggolek banyu apikulan warih. Meskipun sama-sama air, banyu dan warih berbeda.
Banyu adalah air pada umumnya. Air laut, air sungai, air hujan, dan air-air
lainnya adalah banyu. Warih adalah air yang digunakan untuk bersuci. Sinomim
warih adalah tirta. Hanya warih dan tirta yang bermakna kudus dan yang digunakan
dalam ritual keagamaan. Warih, juga tirta, adalah banyu yang istimewa. Kalau
orang merasa bahwa dosanya telah seberat dan sebesar gunung, dia harus mencari
warih, bukan banyu. Dengan warih itu dia mensucikan kehidupannya dari najis keakuan.
Dia yang telah begitu
menyesal dengan dosa-dosanya pasti ingin bertaubat, tetapi pada awal berjalan
berputar-putar dalam kebingungan. Akibatnya, dia tidak dapat membedakan mana
banyu, mana pula warih. Banyu disangkanya warih. Itulah yang kita saksikan
dalam gerakan New Age di Barat yang mulai meruyak setelah Perang Dunia Kedua.
Anak-anak muda, yang jengah dengan kehampaan dan kegersangan peradaban Barat,
mencari air untuk memulihkan religiositas dan kemanusiaannya.
Seringkali, yang mereka
peroleh adalah banyu, bukan warih; adalah spiritualisme palsu, bukan spiritualisme
sejati. Mereka mencari banyu yang ada di luar sana. Padahal, apa yang
seharusnya dan sejatinya meraka cari, yaitu warih, ada di dalam sini, di dalam
dada mereka sendiri. Mereka nggolek banyu, tapi apikulan warih.
Peribahasa kedua berbunyi,
nggolek geni adedamar. Peribahasa ini adalah varian dari peribahasa pertama.
Makna pokok kedua peribahasa tersebut, matriksnya, sama. Api adalah lambang
spiritualitas. Ia membakar apa pun yang disentuhnya. Ludes tak bersisa, tak
berjejak. Tuhan ibarat api lilin. Pelampah spiritual ibarat ngengat yang
terbang menuju api tersebut dengan suka cita, dengan rindu dendam. Ngengat
memusnahkan kediriannya di dalam api. Terbakar habis oleh api, ngengat menjadi tiada.
Yang ada dan tetap saja ada tinggal api itu sendiri. Dalam salah satu puisinya
Sapardi Djoko Damono mengungkapkan hal ini dengan gaya bahasa yang kuat, indah,
segar, tapi sederhana. “Aku ingin”, tulisnya, “mencintaimu dengan sederhana/dengan
kata yang tak sempat diucapkan kayu/kepada api yang menjadikannya abu”.
Bagi pencari yang
kebingungan, api itu berada jauh di luar sana, jauh di puncak gunung Olympus di
atas sana. Demi menyembuhkan gigil kedinginannya, kaku kebekuannya dia mencari,
bahkan mengejar, api itu. Dia berhasrat merebut api itu, bahkan dari tangan
dewata. Kalau dewata tak memberikan api itu dengan suka rela, dia akan
mencurinya, meniru dan mengulang apa yang telah dilakukan Prometheus. Dia tidak
juga sadar bahwa api yang di luar sana hanyalah api majazi. Api hakiki
senyatanya telah menyala pada sebuah pelita. Pelita itu sendiri sudah
digenggamnya, jauh sebelum dia merasa membutuhkan api.
Tapi, bagi pencari yang diberkahi
petunjuk, api itu ada di dalam sini. Ia tidak di luar sana. Hamzah Fanshuri,
ulama Jawi kawentar itu, berkata, “Hamzah Fanshuri di dalam Mekah/mencari Tuhan
di Baitul Ka’bah/dari Barus ke Kudus terlalu payah/akhirnya dijumpa di dalam
rumah”. Tidak salah lagi, air yang dicari itu sudah berada dalam ember yang
sedang dipikul. Api yang dicari itu pun sudah menyala pada pelita yang sedang
digenggam. Al-Quran menjelaskan, Tuhan sebegitu dekat dengan kita, lebih dekat
dari urat leher kita sendiri. Hanya saja, kita sering lupa untuk menata pikir,
mengolah budi, mengasah rasa.
Jadi, mari pulang ke dalam
diri. Mari membersihkan cermin hati dengan seember warih yang sedang kita
pikul. Mari membakar habis kegalauan dengan api pelita yang sedang kita
genggam. Mari berjalan menuju-Nya, bersama dengan-Nya. Di kedalaman lubuk dada
pribadi, bertahta guru sejati. Sosrokartono, santri Kiyai Saleh Darat, berpesan,
“murid gurune pribadi; guru muride pribadi”. Guru si murid adalah pribadi murid
sendiri. Murid sang guru adalah pribadi guru itu sendiri pula. Sunan Kalijaga, melalui
lakon wayang carangan yang digubahnya, telah mendongeng: tirta yang dicari Bima
ternyata tersimpan dalam dirinya sendiri. Pribadi Bima adalah rumah suci tempat
bersemayamnya Dewa Ruci, hakikat tirta yang dia cari-cari itu. Wallahu al-‘alim,
wa ‘abduhu al-jahil.
Bhumi Mataram,
Rabi’ul Awwal, 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam