Pengorbanan meminta syarat
yang begitu berat, yang tak semua orang sanggup memenuhinya, yaitu ketabahan.
Walaupun syaratnya berat, buah pengorbanan sungguh berharga. Pengorbanan
berbuah kebajikan dan kearifan. Tapi, pengorbanan dengan buah semahal ini
bukanlah pengorbanan yang lamis dan basa-basi, melainkah pengorbanan yang
menghancur-luluhkan eksistensi siapa yang berkorban. Inilah tingkat pengorbanan
para nabi dan wali.
Namun demikian, hingga kadar
tertentu, pengorbanan sejati ini hadir di sekeliling kita, khususnya pada sosok
ibu. Tidak ada ibu yang tidak berkorban tulus untuk anaknya, kecuali ibu yang
kehilangan kesadaran, kemanusiaan, dan keibuannya.
Pengorbanan tingkat tinggi
yang ditopang oleh ketulusan kita temukan kisahnya pada puisi Sapardi Djoko
Damano yang populer, berjudul Hujan Bulan
Juni. Berikut puisi itu selengkapnya.
HUJAN BULAN JUNI
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik
rindunya
kepada pohon berbunga itu.
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak
kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu.
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu.
Dalam puisi tersebut,
hiduplah tokoh bernama Hujan Bulan Juni. Kalau kita kembali pada tahun-tahun
silam sebelum siklus musim menjadi tidak normal seperti sekarang, pada bulan
Juni tidak ada hujan. Bulan Juni adalah bagian dari musim kemarau. Di daerah
beriklim tropis, hujan tentu hanya datang pada musim penghujan, khususnya pada
empat bulan yang namanya berakhiran –er, yaitu September, Oktober, November,
dan Desember. Begitulah dongeng yang dituturkan guru kita di sekolah dasar
dulu.
Pertanyaannya, mengapa hujan
tidak berkenan datang pada bulan Juni? Seorang ilmuwan akan menjawab pertanyaan
tersebut dengan kering dan tautologis. Hujan tidak datang pada bulan Juni
karena bulan Juni adalah bagian dari musim kemarau. Lantas, ilmuwan tersebut
menjelaskan gejala itu dengan sehimpun teori dan data klimatologis.
Apabila pertanyaan itu
dilayangkan kepada penyair, kita akan memperoleh jawaban lain. Jawaban yang
aneh dan asing, tetapi memancing nalar dan menyentuh hati, menerbitkan fajar
pencerahan. Pada bulan Juni, menurut Sapardi yang penyair itu, hujan bukan
tidak ada. Hujan sebenarnya ada pada bulan Juni. Tapi, Hujan Bulan Juni, tokoh
kita itu, memutuskan untuk tidak menampakkan diri, bahkan untuk tidak
memberadakan atau mewujudkan diri. Dia memilih menghancur luluhkan, menyirnakan
total, eksistensinya.
Mengapa dan untuk apa dia
melakukan hal itu? Dia tidak ingin mengganggu keseimbangan musim. Tidak ingin
pula merusak harmoni alam. Kalau harmoni alam rusak, kehidupan semesta pun
rusak, akhirnya kehidupan manusia ikut rusak. Ketakseimbangan makrokosmos,
yaitu alam semesta menyebabkan ketakseimbangan mikrokosmos, yaitu manusia. Ada
kesaling-tergantungan eksistensial antara manusia dengan alam semesta. Karena
itu, Hujan Bulan Juni meniadakan keberadaannya. Dia mengorbankan keseluruhan
dirinya demi keseimbangan dan kehidupan semesta, juga demi eksistensi manusia.
Maka, Sapardi pun memuji
ketabahan Hujan Bulan Juni yang menjalani laku pengorbanan eksistensial. Tak
ada yang lebih tabah daripada Hujan Bulan Juni. Dia merahasiakan rintik
rindunya kepada pohon berbunga itu. Hujan Bulan Juni sebenarnya ingin tetap
ada, tampak, dan hadir. Sebab, dia begitu rindu kepada pohon berbunga itu. Dia
sangat ingin, dengan rintiknya, membasah-kuyupi pohon berbunga itu, sehingga
bunga pada pohon itu merekah indah berhias titik-titik air bening, sesaat
setelah Hujan Bulan Juni menjatuhkan jutaan rintiknya.
Tidak hanya memuji ketabahan
Hujan Bulan Juni. Sapardi juga mengenang pekerti luhur Hujan Bulan Juni, yaitu
sifat bijaknya, buah dari pengorbanan yang maha. Tak ada yang lebih bijak
daripada Hujan Bulan Juni. Dia menghapus jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di
jalan itu. Dia tidak mau jalan itu basah oleh jejak-jejak kakinya, yang
ragu-ragu. Kalau pun memilih datang pada bulan Juni, dia merasa akan datang
dalam kebimbangan. Pilihan egosentris itu, keputusan zalim itu, dosa kosmis
itu, tidak direstui oleh nuraninya sendiri. Sebab itu, dia memilih untuk tidak
turun pada bulan Juni. Walhasil, pada jalan itu sama sekali tidak ada
jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu.
Sapardi juga menyanjung
kearifan Hujan Bulan Juni, akhlak yang lahir dari rahim pengorbanan. Tak ada
yang lebih arif daripada Hujan Bulan Juni. Dia membiarkan sesuatu yang tak
terucapkan diserap akar pohon bunga itu. Apakah sesuatu yang tak terucapkan
itu? Pengorbanan, nama lain dari cinta. Cinta itu indah dan bernilai justru
karena tak terucapkan. Cinta itu hadir dengan sungguh-sungguh justru karena
disembunyikan dari kata-kata. Cinta yang tak terjangkau kata-kata itulah yang
kita sebut sebagai ketulusan atau keikhlasan. Apakah pemberian yang
dipublikasikan secara berlebih-lebihan, yang dicerita-ceritakan, yang
diungkit-ungkit, merupakan pemberian yang ikhlas, pengorbanan yang berlandaskan
cinta?
Hujan bulan Juni tidak kenal
dengan pemberian serendah itu. Hujan Bulan Juni hanya memberikan sesuatu
sebagai pengorbanan, dengan motif ketulusan, atas nama cinta. Inilah jenis
pemberian yang berkualitas persembahan, darma. Apakah yang diberikan hujan
bulan Juni kepada pohon bunga itu? Hujan bulan Juni tidak memberikan rintiknya,
tetapi memberikan eksistensinya justru dengan meniadakan eksistensinya itu.
Hujan Bulan Juni rela untuk
tidak ada demi bunga itu, supaya alam tetap mengalir dalam ritmenya yang
normal, tetap menyanyi dalam iramanya yang harmonis, supaya pohon bunga itu
bisa tetap hidup dalam keseimbangan. Hujan Bulan Juni rela tidak ada demi
keberadaan yang lain. Tapi, justru karena tindakannya itu, Hujan Bulan Juni
pada hakikatnya menjadi ada dalam keberadaan yang lain, keberadaan semesta,
termasuk pohon bunga itu. Dia, yang sudah meniada, diserap akar pohon bunga
itu.
Jadi, Hujan Bulan Juni
adalah personifikasi, adalah metafora bagi pengorbanan, cinta, dan keikhlasan.
Sebab itu, dia tabah, bijak, dan arif. Makna ini bukan sesuatu yang baru,
melainkan merupakan hikmah abadi, perennial
wisdom. Dalam berbagai kitab suci, kita menemukan hikmah ini. Para guru, dari
bermacam tradisi, juga mengajarkan hikmah ini.
Salah seorang guru yang
mengajarkan hikmah pengorbanan, cinta, dan keikhlasan ialah Syaikh Ibnu
‘Athaillah al-Iskandary. Dalam kitabnya yang populer, berjudul al-Hikam, beliau berpesan: kuburkan
eksistensimu dalam tanah tak dikenal; sebab, pohon apa pun yang benihnya tak
dipendam dalam tanah tidak akan sempurna buahnya.
Jika tidak didasari
keikhlasan, dilandasi cinta, dan dimaksudkan sebagai pengorbanan sebagai
persembahan sebagai darma sebagai ibadah, sebuah tindakan, meskipun tampak
besar, tidak akan sempurna hasilnya, bahkan bisa jatuh menjadi tindakan yang
tak berharga, tak bernilai, sia-sia. Tindakan tersebut tampaknya memang kokoh,
tetapi sejatinya rapuh, seperti sarang laba-laba.
Bagi laba-laba, yang
mengalami sarangnya dalam dimensinya sendiri dan dari sudut pandangnya sendiri,
sarang yang dia bangun memang kuat. Tapi, bagi manusia, sarang laba-laba itu
rapuh, serapuh-rapuhnya rumah. Sekali dikebas dengan tangan, sarang itu hancur
seketika. Karena itu, kita perlu meneladani Hujan Bulan Juni dalam pengorbanan,
cinta, dan keikhlasannya agar tindakan kita menjadi kokoh, bagaikan pohon yang
akarnya terhunjam dalam ke perut bumi dan pucuknya mencapai langit. Wallahu al-‘alim, wa ‘abduhu al-jahil.
Yogyakarta, 8
Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam