Kesultanan Yogyakarta, yang umurnya sudah lebih dari
dua setengah abad, punya sesanti: hamemayu hayuning bawana. Sesanti ini
sebetulnya bukan hanya visi yang dicanangkan sebuah kesultanan. Hamemayu juga
visi kehidupan yang dihayati orang Jawa. Dengan kata lain, dalam kehidupan
duniawi orang Jawa secara individual bertugas untuk hamemayu hayuning bawana.
Apa makna ungkapan ini?
Jika diterjemahkan dengan sederhana, arti dari
hamemayu hayuning bawana adalah menjaga keindahan semesta yang pada fitrahnya
memang sudah indah. Manusia tidak dibebani amanah untuk memperbaiki dunia.
Tanggung jawabnya adalah menjaga keindahan dunia dari aksi-aksi pengrusakan.
Jadi, dalam sesanti ini, samar-samar kita mendengar
gema kitab suci: syukurilah kehidupan, jangan membuat kerusakan di muka bumi.
Maknanya, jagalah harmoni semesta. Faktor moral penyebab kerusakan adalah rasa
lebih dari yang lain dan sikap benar sendiri. Maka, untuk menjaga harmoni
semesta manusia harus menghindari perilaku dumeh, ialah sikap sok, dan sifat
adigang, adigung, adiguna.
Selain menggemakan seruan kitab suci, sesanti
hamemayu juga mengisyaratkan pandangan kosmologis manusia Jawa. Pandangan
kosmologis pertama menyebutkan, semesta pada fitrahnya selaras, harmonis, dan
indah. Manusialah yang menghancurkan keselarasan tersebut. Alam batin pada
fitrahnya damai, sebagaimana kita rasakan pada bayi yang baru lahir. Alam
sosial pun pada fitrahnya selaras, asalkan manusia tidak mengubah fitrah
keselarasan tersebut dengan campur tangan keakuannya.
Maka, dalam tindak-tanduk keseharian, sedapat
mungkin kita harus menghindari konflik terbuka demi menjaga kedamaian. Caranya,
kita bertindak tepat sesuai dengan konteks. Inilah lelaku adil dari sisi
personal yang sehari-hari dilampahi manusia Jawa. Kita harus mengikuti tata
krama. Berbicara dengan bahasa yang halus dan santun kepada yang lebih tua.
Bersikap ngemong kepada yang lebih muda. Singkatnya, kita mesti rela meletakkan
keakuan di bawah cita-cita kedamaian bersama. Jadi prinsipnya, jangan sampai
manusia mengacaukan keselerasan semesta.
Tapi, apa makna semesta, bawana, dalam sesanti
tersebut? Ternyata, makna bawana tidak hanya berkenaan dengan skala luas
sebagaimana pernah diperdebatkan beberapa waktu lalu oleh kalangan keraton. Bawana
adalah tentang multidimensi semesta. Pandangan kosmologis Jawa selanjutnya
menyebutkan, semesta tersusun dari tiga dimensi hirarkis yang saling berkaitan.
Hal ini tercermin dalam pewayangan. Dimensi teratas dari semesta adalah alam
mayapada. Dimensi terbawahnya adalah alam arcapada. Adapun dimensi perantaranya
adalah alam madyapada.
Pada arsitektur Candi Borobudur, alam mayapada
paralel dengan dimensi arupadatu, alam madyapada paralel dengan dimensi
rupadatu, dan alam arcapada paralel dengan dimensi kamadatu. Arsitektur
Borobudur mengisyaratkan bahwa puncak dari perjalanan spiritual semesta yang
mendaki adalah stupa kosong: suwung. Inilah awang-uwung yang tanpa ruang dan
tanpa waktu. Utara adalah selatan. Selatan adalah utara. Jika naik ke atas,
maka kita jatuh ke bawah. Jika turun ke bawah, maka kita terbang ke atas. Kita
dapat menemukan keterangan tentang alam awang-uwung ini misalnya dalam naskah
Suluk Wujil, yang konon dianggit oleh Sunan Bonang.
Jadi, bagi manusia Jawa, alam tidak sebatas yang
fisik dan empiris. Di atas dan di bawah alam empiris masih terdapat dimensi
alam lain. Di atas alam madyapada yang dihuni oleh manusia, terdapat alam
mayapada yang disemayami dewa-dewi, para makhluk yang tersucikan. Di bawah alam
mayapada, terdapat alam arcapada, tempat tinggal kaum raksasa dan makhluk halus
lain. Setiap dimensi alam ini merupakan manifestasi ke-hayu-an, keindahan. Pada
fitrahnya, setiap alam pun terhubung secara hayu: selaras dan harmonis.
Kalau manusia berlaku tidak adil, tatanan alam jadi
kacau. Keselamatan manusia jadi terancam. Kekacauan semesta, yang berpangkal
pada kegagalan manusia untuk berlaku adil, ditandai oleh datangnya bencana alam.
Lagi-lagi kita dapat menyaksikan hal ini dalam pewayangan. Perang dan bencana alam
seperti pasangan gelap yang datang bersamaan mengusik ketenteraman semesta.
Agar tatanan alam tidak jadi kacau, manusia
bertanggung jawab menjaga harmoni semesta. Untuk tujuan inilah diselenggarakan
siklus upacara slametan. Slametan menandakan tepa selira manusia Jawa terhadap
multidimensi semesta. Dia bukan saja ber-tepa selira dengan manusia lain,
tetapi juga dengan dewa-dewi, raksasa, dhemit, binatang, tumbuhan, bahkan dengan
benda (yang dikira) mati. Jangan lupa, manusia terutama harus ber-tepa selira
dengan Tuhan, yang adalah poros, inti, sekaligus puncak semesta.
Jadi, sesanti hamemayu tidak sebatas mengungkapkan
kemanusiaan orang Jawa, tetapi juga secara simbolis menyatakan
ke-tepa-selira-an orang Jawa yang melingkupi sekaligus melampui kemanusiaan. Manusia
Jawa menghargai kehadiran liyan: manusia lain, dewa-dewi, raksasa, dhemit,
binatang, tumbuhan, benda mati, akhirnya Tuhan. Bukti dari penghargaan ini
antara lain kita saksikan pada upacara jamasan pusaka yang khususnya digelar
pada bulan Sura. Keris, benda (yang tampak) mati yang diberi nama itu,
dimandikan, seperti memandikan anak sendiri. Bukti lain, upacara lelabuhan baik
di gunung maupun di pantai. Sebagai ucapan terima kasih, manusia menghargai
eksistensi gunung dan pantai yang telah mendukung kehayuan hidup masyarakat
manusia.
Kosmologi Jawa juga terserap ke dalam logika
kekuasaan. Pada era pra-Islam, pemimpin tanah Jawa bergelar ratu tribuwana,
pemimpin tiga alam, ialah alam mayapada, alam madyapada, dan alam arcapada.
Jadi, raja tanah Jawa tidak hanya memimpin masyarakat manusia. Raja juga
memimpin jenis masyarakat lain yang secara hirarkis eksistensinya berada di
atas manusia dan di bawah manusia. Raja adalah raja bagi manusia, bagi para
makhluk suci, bagi jin dan raksasa, bagi binatang, tumbuhan, benda mati,
gunung, pantai, hutan, dan lain-lain. Raja sungguh-sungguh berperan sebagai
bayangan Ilahi di muka bumi.
Ketika kerajaan pra-Islam runtuh, untuk kemudian
digantikan posisinya oleh kesultanan Islam, kita memang tak lagi mendengar
konsep tribuwana secara formal. Akan tetapi, praktik kepemimpinan tribuwana
bukan sama sekali nihil. Konsep tribuwana ditransformasikan jadi konsep kalipatulah.
Pemimpin, baik sebagai ratu tribuwana maupun sebagai kalipatulah, sama berperan
sebagai bayangan Ilahi di bumi. Kepemimpinan sultan atas masyarakat yang
menghuni alam arcapada disimbolkan dengan perkawinan mistik antara Panembahan
Senopati dan Nyai Rara Kidul. Penjaga gaib Gunung Merapi pun diposisikan
sebagai abdi dalem sultan.
Jadi, zaman boleh berganti, dari Hindu-Budha menjadi
Islam, tapi orang Jawa tetap ber-tepa selira dengan makhluk yang menguni tiga
dimensi alam. Zaman boleh bergerak, tapi orang Jawa tetap berpegang pada
pandangan kosmologisnya. Visi, sekaligus misi, kehidupannya di dunia tetaplah
hamemayu hayuning bawana.
Tapi, ketika tanah Jawa dilanda banjir bandang
modernitas, bagaimana pandangan kosmologis itu dipertahankan? Sekarang, masih
adakah hamemayu hayuning bawana itu? Inilah persoalannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam