Syaikh al-Zarnuji bertutur. Dulu, jauh sebelum dia
hidup, para pencari ilmu memperoleh sebutan istimewa: ma taqul, apa pendapatmu.
Mengapa pelajar zaman itu dijuluki kaum apa pendapatmu? Latar belakangnya
sederhana, tapi menggetarkan, apalagi untuk kita yang hidup pada zaman pasar
ini.
Pada zaman itu, ke mana-mana para pencari ilmu
bertanya: apa pendapatmu? Apa pendapatmu tentang hal ini? Apa pendapatmu
tentang hal itu? Mereka terbiasa bertanya. Juga terbiasa mencari jawaban. Tidak
merasa puas dengan jawaban sendiri, dari orang lain mereka mencari jawaban. Jawaban
pembanding, jawaban penguat, jawaban penyanggah, jawaban pembatal.
Mereka tidak merasa cukup dengan diri sendiri.
Sepintar apa pun, masih merasa butuh orang lain. Dengan kata lain, mereka tidak
merasa benar sendiri. Tidak merasa pintar sendiri. Tidak pula merasa tinggi
sendiri.
Di kalangan pencari ilmu, tersebar luas wawasan yang
mawas diri: jangan-jangan aku salah dan jangan-jangan orang lain benar. Aku
mungkin benar, tapi orang lain belum tentu salah. Barangkali aku benar, tapi
barangkali pula orang lain benar. Apa yang kuanggap kebenaran semakin mendekati
kebenaran kalau semakin banyak orang berilmu yang membenarkannya.
Pandangan kaum-apa-pendapatmu itu menunjukkan,
mereka bersedia dan siap disalahkan. Juga siap melepas pendapat yang disangka
benar tetapi ternyata salah. Mereka terbuka terhadap kritik. Malah mencari dan
mengejar kritik. Jadi, ada keberanian untuk ditertawakan.
Juga ada kehendak kuat untuk menemukan kebenaran,
dari mana pun datangnya. Jika kebenaran itu tidak datang dari dalam diriku
sendiri, tetapi dari orang lain yang lebih rendah dariku, aku tetap harus
menerimanya. Apa boleh buat. Saya teringat Abu Hanifah yang belajar dari
seorang anak kecil. Padahal, dia ulama besar. Ulama besar lain, Ahmad bin
Hanbal, belajar dari orang awam.
Ceritanya begini. Ketika tinggal di Baghdad, Ahmad
bin Hanbal tiba-tiba merasa ingin pergi ke Basrah. Seperti ada yang menyuruh. Dia
pun berjalan mengikuti suara hati. Karena letih, ketika sampai di kota tujuan
dia beristirahat di sebuah masjid. Duduk-duduk dan tidur-tiduran di serambi.
Tak disangka, takmir mengusirnya. Takmir itu tak
tahu bahwa dia sebenarnya adalah Ahmad bin Hanbal. Zaman itu belum ada media
massa. Terhadap ulama besar, umat hanya kenal nama, tidak kenal wajah.
Tanpa menunjukkan jati diri, setelah diusir takmir,
Ahmad bin Hambal rela keluar masjid. Tapi di depan masjid, dia termangu-mangu
sendirian. Malam itu, di mana dia bisa beristirahat?
Seorang jamaah yang baru keluar dari masjid mendekati
Ahmad bin Hambal. Menepuk pundaknya. Lalu berkata, “Ada apa Saudaraku?
Tampaknya sedang ada masalah. Adakah yang bisa kubantu?”
“Aku memang sedang bingung, Saudaraku,” jawab Ahmad
bin Hanbal. “Aku baru sampai dari Baghdad. Letih rasanya. Aku lalu istirahat di
serambi masjid. Tapi takmir mengusirku. Lantas, di mana aku bisa melepas lelah
malam ini?”
“Engkau bisa menginap di rumahku.”
Ahmad bin Hanbal menerima tawaran tersebut. Sejak
malam itu dia menginap di rumah jamaah yang murah hati itu. Selama tinggal di
sana, Ahmad bin Hanbal mengamati tingkah laku tuan rumah. Dia memandang saudara
barunya yang orang awam ini sebagai guru kehidupan. Dari kehidupan tuan rumah,
Ahmad bin Hanbal ingin ambil pelajaran.
Ilmu apa yang diperolehnya? Sang ulama kagum. Tuan
rumahnya berbeda dari orang kebanyakan. Salehnya plus. Kebanyakan muslim memulai
pekerjaan dengan basmalah. Tapi, saudara barunya memulai pekerjaan dengan basmalah
+ istighfar.
“Apa semua doamu terkabul?” tanya Ahmad bin Hanbal
kepada tuan rumah.
“Benar. Semua doaku terkabul. Tapi ada satu doa yang
belum dikabulkan.”
“Apa itu?”
“Sudah lama aku berdoa. Aku ingin sekali berguru
kepada Ahmad bin Hanbal. Sampai sekarang, keinginanku belum terwujud.”
Ahmad bin Hanbal tertunduk. Diam cukup lama. Pipinya
basah oleh air mata.
“Saudaraku, Engkau menangis?”
“Allah mengabulkan doamu,” ujar Ahmad bin Hanbal. “Akulah
Ahmad bin Hanbal.”
Ahmad bin Hanbal dan Abu Hanifah adalah contoh
pencari ilmu yang tidak merasa benar sendiri, pintar sendiri, tinggi sendiri.
Mereka termasuk kaum apa pendapatmu. Di atas orang pintar masih ada yang lebih
pintar. Di atas orang pintar masih ada Yang Maha Pintar. Di atas gunung, ada
gunung.
Pada kenyataanya yang terdalam, sepanjang apa pun
deretan gelar kecendekiaan yang disandang, manusia bukan pemilik ilmu. Dia
hanya tempat kebodohan. Dia selamanya bodoh. Selamanya salah. Selamanya rendah.
Perasaan bodoh, bersalah, dan rendah itulah
barangkali rahasia di balik keberkahan dan kebermanfaatan ilmu Imam Ahmad bin
Hanbal dan Imam Abu Hanifah—cinta Allah semoga senantiasa tercurah kepada kedua
guru besar itu.
Mereka tak segan bertanya. Tak malu berkata: “saya
tidak tahu”. Tak merasa jatuh kehormatannya bila berguru kepada orang awam. Mereka
belajar kepada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Dalam proses pencarian
ilmu, mereka menemukan Allah. Mereka menempuh jalan ilmu untuk berjumpa dengan
Allah.
itulah ilmu, berperang tanpa henti
dengan murid yang merasa tinggi
seperti air mengalir, berperang tanpa akhir
dengan tempat yang tinggi
(Al-Ghazali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam