I
Mengapa umat beragama, yang percaya kepada Tuhan
Yang Penyayang dan Pemaaf, saling benci, saling hina, saling pukul, dan saling
bunuh satu sama lain? Jika pertanyaan itu dilontarkan seorang ateis kepada
Anda, sebagai orang beragama apakah jawaban yang akan Anda berikan? Semua agama
berbicara tentang cinta, kemanusiaan, dan persaudaraan, tapi mengapa (terlalu)
sering pecah peperangan atas nama agama?
Tidak pernah mudah menjawab pertanyaan demikian.
Penanya, yang ateis itu, juga tidak mudah diyakinkan bahwa agama normatif
berbeda dengan agama historis; bahwa ajaran agama adalah satu hal, sedangkan
pengamalan ajaran tersebut adalah hal yang lain. Pertanyaan demikian, yang
hanya merupakan apologi bagi sikap ateisme mutlak, sesungguhnya juga tidak
memerlukan jawaban. Jawaban hanya akan dipahami sebagai serangan balik yang
membuat penanya mengambil strategi defensif. Ketika benteng beton rasionalisasi
ditegakkan tinggi-tinggi, rasio alternatif tidak akan dapat meruntuhkannya.
Maka, yang terjadi hanyalah monolog, bukan dialog.
Alih-alih dijawab, pertanyaan demikian harus
disikapi dengan empati. Kita perlu masuk ke dalam dunia sang ateis. Kita perlu
menjawab pertanyaan lain demi membuka pintu dialog: mengapa orang menjadi ateis,
padahal agama merupakan fitrah manusia?
Tanpa agama, kehidupan menjadi tampak absurd. Kita
sulit menemukan makna di balik himpunan misteri kehidupan. Mengapa seorang ibu
yang baik harus menyaksikan kematian balitanya dengan matanya sendiri? Mengapa
seorang gadis kecil yang tak berdosa harus kehilangan kedua orang tuanya,
bahkan seluruh anggota keluarganya, karena bencana alam? Mengapa koruptor
selamat dari kecelakaan beruntun, sedangkan seorang petani saleh mati tertindih
mobil dalam kecelakaan tersebut?
Agama menyediakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan
eksistensial itu. Bukan sekadar jawaban teoretis, tetapi juga jawaban praksis
dan terapis. Misteri kehidupan adalah pendakian terjal yang harus dilampahi
demi mencapai puncak kebahagiaan. Bukan surga, tetapi kehidupan dunia adalah
rangkaian ujian. Maka, betapa pun kehidupan terasa tidak adil, kita harus tetap
berjalan tegak sebagai manusia yang waras. Kehidupan dunia ini, yang menjadi
panggung bagi drama kolosal umat manusia, bukanlah tempat bagi keadilan mutlak.
Seadil-adilnya, paling jauh manusia hanya mampu merealisasikan keadilan
relatif, karena paling jauh dia pun hanya mampu menjangkau kebenaran relatif. Manusia
lain, bahkan diriku sendiri, akan senantiasa merupakan misteri bagiku.
Terbentur oleh adanya misteri tersebut, yang
merupakan bagian dari universum misteri kehidupan secara umum, manusia secara
kodrati berpaling kepada Ilahi, Yang Maha Tahu, sekaligus Maha Misterius.
Misteri kembali kepada Misteri. Akal dan bahasa ditanggalkan. Kita pun
bergabung kembali dalam fitrah simfoni kesunyian. Dengan cara yang aneh, hidup
menjadi sepenuhnya bermakna. Makna tersingkap justru dengan tidak menjawab
persoalan absurditas kehidupan. Tak ada
yang lebih arif, tulis penyair Sapardi, dari
hujan bulan Juni/dibiarkannya yang tak terucapkan/diserap akar pohon bunga itu.
Karena pertanyaan ‘mengapa ada hujan pada bulan Juni?’ dibiarkan tak terjawab,
maka jawaban hakiki pun tersingkap tanpa terucapkan.
Peran agama, dalam menjawab absurditas kehidupan,
tidak tergantikan oleh sains. Sains, yang bersendikan akal itu, di satu sisi
bertolak dari hal-hal yang empiris, sementara di sisi lain menampik eksistensi
alam non-empirik. Tidak tersedia ruang bagi yang Adikodrati dalam sains. Tidak
pula ada ruang bagi misteri. Sains mau menjawab misteri kehidupan dengan akal setuntas-tuntasnya.
Tapi apa yang dicapai akal? Kebuntuhan di hadapan misteri kehidupan. Hingga
sekarang, filsafat Barat masih saja gagal memberi penjelasan rasional yang
memuaskan atas problem of evil. Sains
belum menemukan teknologi untuk menunda, apalagi meniadakan, kematian. Saintis
masih bungkam di depan maut.
Jika seorang saintis bersedia jujur akan batas-batas
pengetahuannya, penyelidikan dan eksperimentasi ilmiahnya pastilah
mempertemukan dia dengan Tuhan. Dia akan menemukan titik, dalam rentang panjang
perjalanan ilmiahnya, ketika dia menyadari bahwa jangkauan akal rupanya
terbatas dan bahwa kemampuan ekspresif bahasa ternyata juga terbatas. Itulah
momen ketika dia tertegun diam dalam keterposanaan akan misteri kehidupan.
Itulah saatnya ketika dia melantunkan tasbih dalam simfoni kesunyian. Itulah
waktunya ketika sains menjelma puisi. Berhadapan dengan kemahaan Ilahi, manusia
tidak ada harganya, bahkan lebur dan sirna. Eksistensi manusia terserap total
ke dalam Misteri.
II
Begitulah, bukan hanya kehidupan orang awam, tetapi kehidupan
saintis pun, dengan sendirinya terarah kepada Tuhan, kepada agama. Tapi mengapa
orang menjadi ateis? Tampaknya, ateisme lebih dari sekadar masalah
epistemologis. Ateisme pertama-tama adalah masalah moral. Untuk memahami hal
ini, marilah kita kembali mengenang sejarah Eropa Abad Pertengahan, di mana
terlihat bahwa lahirnya epistemologi sains, yang menjadi tumpuan rasional kaum
ateis modern, rupanya bermula dari krisis moralitas.
Peradaban
Eropa Abad Pertengahan dibangun di atas pondasi tradisi skolastik, demikian penilaian
Seyyed Hossein Nasr. Pada era itu, Eropa
belum mengenal fragmentasi kehidupan. Pandangan dunia masih integral: agama dan
negara adalah satu kesatuan yang bulat, doa dan kerja (ora et labora) pun merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.
Seluruh dimensi kehidupan dirembesi anasir Ilahiah. Juga ada kekuatan Ilahiah dalam
diri penguasa. Dan penguasa mendapatkan legitimasi kekuasaannya dari gereja.
Di sinilah letak masalahnya. Kekuasaan adalah
godaan, tidak saja bagi penguasa, tetapi juga bagi kalangan gereja. Tentu saja
ada kaum gerejawi yang lurus, tetapi pendeta yang sengaja menyimpangi idealisme
keagamaan demi mewujudkan ambisi duniawi, keberadaannya bukan lagi rahasia.
Maka, agama dipolitisasi. Agama jadi alat untuk menumpuk kuasa dan harta.
Agama, yang pada mulanya hadir untuk membereskan
masalah moral (yang berdimensi struktural), justru menciptakan masalah moral
yang, ironisnya, sama dengan masalah moral yang dulu hendak dibereskannya.
Agama datang untuk memberikan kabar gembira bahwa cinta dan keadilan itu pasti
ada. Tapi agama kemudian digunakan oleh kaum agamawan munafik untuk menumpas
harapan umat tentang adanya cinta dan keadilan. Agama normatif jadi amat
berjarak dari agama historis. Agama pada akhirnya bercerai dari kemanusiaan.
Dalam ungkapan yang lebih kritis, agama adalah biang dan alat penindasan.
Akibatnya, sikap skeptis terhadap agama pun
bermunculan. Berbagai pertanyaan teologis radikal tampil di panggung sejarah:
masih perlukah agama? Adakah alternatif lain bagi agama? Mungkinkah, atau
tidakkah lebih baik, manusia mengatur kehidupannya tanpa berdasarkan agama? Inilah
masa ketika peradaban Eropa Abad Pertengahan mulai tumbang, dan peradaban yang
baru mulai dibangun. Inilah zaman ketika Copernicus, Galileo, Descartes,
Voltaire dan lain-lain menyuarkan gagasan kritisnya, suatu zaman yang
menyaksikan kelahiran manusia modern, manusia berkarakter fragmentatif yang menempatkan
diri sebagai pusat semesta; suatu zaman yang juga menyaksikan kelahiran
epistemologi sains.
Terhadap persoalan kemanusiaan yang ditimbulkan oleh
relasi politik dan agama, manusia modern memberikan jawaban pragmatis. Kalau
pun agama masih diperlukan, agama harus dipisahkan dari negara. Hukum agama
biarlah mengatur ranah privat saja. Ranah publik adalah bagian hukum positif.
Itulah jalan untuk memastikan tegaknya keadilan dan hadirnya kemanusiaan. Di
sisi lain, manusia modern pun mencari alternatif selain agama untuk menemukan
makna kehidupan sekaligus menguasai hukum kehidupan dan mengatur kehidupannya
sendiri. Dan alternatif itu adalah sains.
Dan ternyata, sains memang memberikan harapan baru
bagi manusia modern. Dengan sains, manusia modern memahami hukum alam yang pada
gilirannya dimanfaatkan untuk menguasai alam demi progresivitas sejarah umat manusia.
Sains juga memberikan pendar-pendar cahaya petunjuk dalam rangka menemukan
makna kehidupan. Misteri kehidupan, yang dulu hanya dijawab oleh mitos secara
semu, lalu juga oleh agama, kini sedikit demi sedikit disingkap oleh sains.
Perhatian manusia modern pun bergeser dari yang metafisik menuju yang fisik,
yang positif; dari yang gaib menuju yang empirik; dari agama menuju sains; dari
Tuhan menuju manusia.
Jika pada Abad Pertengahan agama menjadi induk bagi
ilmu, maka pada abad modern sains otonom dari dan sejajar dengan agama, bahkan
bersaing dan bertentangan dengan agama. Jika pada Abad Pertengahan akal dan
intuisi dipandang sebagai kesatuan instrumen epistemik, pada abad modern akal,
yang menjadi tulang punggung sains, berpisah dari iman kaum agamawan. Secara
teoretis, tidak ada tempat bagi iman dalam sains. Iman adalah percaya,
sedangkan sains bekerja dengan keraguan dan kritik. Sains, demi hukum
kausalitas, meragukan kerja dan eksistensi Tuhan. Sains, demi rasionalitas
ilmiah, mengkritik kitab suci. Maka, sains menjadi senjata intelektual yang
cocok bagi dan diperlukan oleh kaum ateis modern, yang memahami agama sebagai
sesuatu yang mubazir, tidak berguna, bahkan berbahaya khususnya bagi kemanusiaan.
III
Mengapa orang menjadi ateis? Sampai di sini,
pertanyaan ini belum terjawab dengan gamblang. Tapi dari perjalanan sejarah
Eropa, sejak Abad Pertengahan hingga Abad Modern, kita telah memperoleh jawaban
yang samar-samar. Penyebab ateisme jangan dicari di luar agama, walaupun faktor
di luar agama sudah barang tentu ada. Kaum agamawan perlu bermawas diri.
Modernitas ternyata anak yang keluar dari rahim agama. Sains, tepatnya
epistemologi sains, dalam beberapa hal adalah kritik terhadap agama, tepatnya
perilaku beragama. Demikian pula sekularisme. Ketiga fenomena modern ini
merupakan bagian dari, dan mengklimaks pada, ateisme. Jadi, ateisme adalah
kejengahan dan frustrasi manusia modern atas penyimpangan dalam beragama demi
mewujudkan ambisi duniawi. Ringkas kata, ateisme adalah respons kritis dan
resistens terhadap kemunafikan kaum beragama.
Karena itu, ateisme tak sepenuhnya negatif, juga tak
sepenuhnya anti-agama. Ateisme justru beranjak dari dan ditenagai oleh salah
satu nilai keagamaan yang paling inti: kejujuran. Ketika kejujuran
perlahan-lahan meninggalkan agama, kaum ateis mengambilnya, lalu memegang dan
menggenggamnya dengan kukuh. Dan karena kejujuran adalah nama lain dari
ketulusan, kaum ateis juga menyelematkan ketulusan yang perlahan-lahan
dilupakan dan diabaikan kaum beragama. Satu lagi, kaum ateis juga menampung
nilai kemanusiaan yang disia-siakan oleh kaum beragama, padahal nilai
kemanusiaan itu adalah hadiah terbesar Ilahi kepada mereka. Ini artinya, betapa
jauh jarak kita, kaum beragama ini, dari Tuhan; betapa dekat jarak kaum ateis,
yang kita pandang anti-agama dan anti-Tuhan itu, dengan Tuhan. Mereka
menjunjung tinggi kejujuran, ketulusan, dan kemanusiaan. Sementara kita?
Kita terlalu sibuk mengurusi dan membela Tuhan,
padahal Tuhan itu Maha Suci dari manusia yang kotor dan najis. Tuhan,
sebagaimana dijelaskan-Nya sendiri dalam kitab suci, sudah cukup dengan
diri-Nya sendiri. Tuhan hadir bagi kita, bukan sebaliknya. Alangkah congkaknya
manusia yang mengaku telah mempersembahkan ini dan memberikan itu kepada Tuhan.
Alangkah pongahnya manusia yang tak menyadari betapa jauh jarak antara dirinya
dengan Tuhan. Bila kita tak berjarak dari-Nya, kita tak mungkin menyanyikan
lagu rindu dan menggemakan tembang cinta.
Dan golongan manusia yang paling merasa jauh dari
Tuhan adalah kaum ateis. Jangan-jangan, mereka diam-diam mendambakan Tuhan.
Bukankah ekspresi cinta tak selamanya, juga tak selalu, lurus? Bukankah ada
cinta yang diekspresikan secara melengkung melalui ragam tindakan yang tampak
sebagai kebencian? Betapa pun juga, agama adalah fitrah manusia. Jauh dalam
kegelapan hati manusia, menyala api rindu kepada Tuhan, hasrat kudus untuk
berjumpa dan kembali manunggal dengan-Nya.
Sebab itu, kita tak perlu menghakimi dan menyalahkan
para ateis. Kita hanya perlu membuka pintu dialog dengan mereka. Dalam hal ini,
kaum beragama punya dua tugas berat. Tugas pertama mengarah ke dalam: kaum
beragama mesti bermawas diri. Manusia tidak menggenggam kebenaran mutlak,
universal, dan final. Tugas kedua mengarah ke luar: kaum beragama mesti belajar
memahami dan belajar mengemong kaum ateis. Kita dan mereka pada dasarnya punya
bahasa yang sama: kejujuran, ketulusan, dan kemanusiaan. Itulah modal kita
untuk saling mengenal. Bahwa setelah bertegur sapa dan berbalas salam, mereka
tetap saja teguh pada keateisannya, hal itu bukan lagi wilayah kerja kita
sebagai manusia. Manungsa winenang ngudi,
purba wasesa ing astane Gusti. Kepada Baginda Muhammad, Tuhan berfirman:
Kau tidak akan pernah dapat memberikan petunjuk kepada orang yang kau cintai;
Tuhan-lah yang memberikan petunjuk kepada orang yang Beliau kehendaki.
Bumi Mataram,
Dulkangidah 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam