I
Judul tulisan
ini merupakan modifikasi saya atas judul sebuah buku yang diterbitkan dalam
rangka memperingati Rendra: Rendra, Ia
Tak Pernah Pergi. Seingat saya, buku itu adalah kumpulan esai yang ditulis
oleh berbagai tokoh dari beragam latar belakang untuk mengenang dan membaca
sosok Rendra dari beraneka sudut pandang, ditambah dengan beberapa berita dari
surat kabar tentang Rendra, karya, dan kegiatannya. Dulu, sehabis membaca buku
itu sekilas, saya berkesimpulan: Rendra memang telah mati, tetapi gagasannya,
cita-citanya, puisi-puisinya, dan segala warisan yang ditinggalkannya tak
pernah mati. Rendra masih dan akan terus hidup di dalam karyanya. Rendra
sesungguhnya tak pernah mati.
Sekarang saya
cenderung merombak kesimpulan yang dangkal itu. Rendra disebut tak pernah mati
bukan karena gagasannya, cita-citanya, atau pun karya-karyanya, melainkan
karena ia mempunyai etos hidup, etos bekerja, dan etos berkarya yang sangat
tinggi. Hingga menjelang ajalnya, ketika sakit parah, ia masih berkarya. Ia tak
hendak kalah, tak rela menyerah betapa pun payah kondisi yang dialaminya.
Bermodal kegigihan yang mengagumkan itu, berjumpalitanlah Rendra memajukan
teater modern Indonesia, dan berjungkirbaliklah ia menggubah puisi-puisi yang
monumental dan yang secara kualitas sukar dicari tandingannya.
II
Pernah saya
menonton film yang menggugah2, menceritakan beberapa fragmen
kehidupan Gandhi. Dalam film yang saya lupa judulnya itu, ada satu adegan, yang
tak lagi saya ingat betul, yang membuat saya terhenyak dan terdiam.
Di tengah-tengah
kerumunan orang, Gandhi berkeras mengambil dan membacakan entah dokumen
apa—film yang menggunakan bahasa Inggris itu tidak dilengkapi teks terjemahan,
sedangkan saya tidak mahir berbahasa Inggris, jadi saya tidak paham dengan
cerita film itu secara keseluruhan, juga tidak tahu dokumen apakah itu. Tentara
yang tak setuju dan tak suka dengan tindakan Gandhi, lantas dengan senapan
memukul pundak dan betis Gandhi. Gandhi terjatuh. Dokumen yang ia pegang pun
terjatuh, buyar. Gandhi mengumpulkan dokumen yang berserak tersebut, lalu ia
berdiri kembali, membacakan isi dokumen itu dengan setengah merintih karena
kesakitan, tetapi dengan badan yang tegak kokoh dan tegap. Tentara lalu memukul
Gandhi sekali lagi, dan Gandhi terjatuh sekali lagi, dan dokumen yang ia pegang
buyar dan berserak sekali lagi. Tetapi sekali lagi Gandhi mengumpulkan dokumen
itu, bangkit, dan membacakan isinya. Adegan yang sama berulang beberapa kali sampai
Gandhi pingsan karena bertubi-tubi dipukul tentara.
Etos hidup atau
kegigihan Gandhi sebagaimana digambarkan dalam adegan itu membuat saya
merinding. Akan tetapi, pada mulanya adegan itu tidak memotivasi saya untuk
meneladani kegigihan Gandhi, melainkan mengejek pribadi saya yang bermental
lembek: baru mendapat sangat sedikit ujian dan rintangan sudah memutuskan untuk
mengubur cita-cita selamanya. Saya malu dengan Gandhi.
III
Malu yang kurang
lebih sama besarnya saya rasakan kembali ketika membaca otobiografi Ajip
Rosidi, Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam
dalam Kenangan. Memang, tentu saja, di dalam buku itu Ajip tidak
terang-terangan menyatakan bahwa ia adalah orang yang gigih, tangguh, dan
beretos hidup tinggi, tetapi dengan mengamati rekam jejaknya sejak kecil sampai
berusia 70, saya yakin menyimpulkan: Ajip adalah manusia sejenis Rendra dan
Gandhi. Mereka tak pernah mati. Tepatnya, tak mau mati.
Tamat SMP, Ajip
hijrah ke Jakarta. Di sana ia mendaftar dan belajar di beberapa SMA sekaligus.
Tetapi kemudian ia menolak mengikuti ujian kelulusan yang menurutnya tidak
rasional. Akibatnya, ia tak pernah memperoleh ijazah SMA, dan hanya mempunyai
ijazah SMP. Beberapa tahun sebelumnya, ketika usianya masih 17, ia menikah
dengan gadis anak tetangganya.
Ijazah SMP dan
kesulitan hidup berumah tangga tidak pernah menghalangi Ajip untuk merebut
kesuksesan dan mewujudkan cita-cita. Tidak pula ia minder. Ia memandang dunia
secara positif dengan sikap optimistis. Ajip terus bekerja dan berkarya.
Karirnya terus melejit naik. Bahkan A. Teeuw, kritikus sastra Indonesia yang
mungkin paling otoritatif, menilainya sebagai salah satu sastrawan modern
Indonesia yang terbaik. Oleh gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin, dan
tokoh-tokoh lain, Ajip ditunjuk sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang
pertama. Selain itu, ia dipercaya memimpin sejumlah media cetak, baik berskala
nasional maupun lokal (Sunda), terpilih menjadi ketua Ikatan Penerbit Indonesia
(IKAPI), dan mendirikan beberapa lembaga yang berkonsentrasi memperjuangkan
eksistensi kebudayaan Sunda.
Kesuksesan Ajip
rupanya membuat kawan dan lawannya cemburu. Mereka berupaya menjatuhkan dan
menyingkirkan Ajip dengan menuduhnya sebagai koruptor. Merasa tak bersalah,
Ajip membela diri. Namun, mereka terus saja menyerang Ajip dengan gencar.
Bagai rotan,
Ajip tidak patah, hanya melengkung. Barangkali ia berpikir, daripada sibuk
melayani “orang-orang gila”, lebih baik mengalah, tentu tanpa membenarkan
tuduhan mereka. Kebetulan, saat itu Ajip mendapat tawaran mengajar bahasa
Indonesia di Osaka Gaikokugo Daigaku, sebuah lembaga pendidikan tinggi yang
terletak di Osaka, Jepang. Ajip pun hijrah ke Jepang, di mana ia terus bekerja
dan berkarya demi mewujudkan cita-citanya.
Sekarang Ajip
telah pensiun dari pekerjaannya sebagai dosen, pulang ke tanah air, dan
bermukim di Pabelan, Jawa Timur. Pada usia senjanya, ia masih aktif membina
Yayasan Rancage yang secara berkala memberi penghargaan kepada para penggiat
budaya daerah. Ajip juga masih menulis. Hingga kini, ia telah menulis lebih
dari 100 karya, dan jumlah itu masih mungkin akan bertambah. Etos hidup, etos
bekerja, dan etos berkarya Ajip benar-benar tinggi.
Tidak penting
apakah dalam otobiografinya Ajip menceritakan riwayat hidupnya secara jujur
atau tidak. Sebab meskipun misalnya Hidup
Tanpa Ijazah terbukti banyak mengandung fiksi, atau lebih banyak mengandung
fiksi daripada fakta, otobiografi itu tetap mengesankan bagi saya karena menceritakan
figur yang tangguh dan gigih, yang konsisten mengamalkan semboyan yang
dipopulerkan oleh Ki Hadjar: rawe-rawe
rantas, malang-malang putung, yang memaksa saya untuk menertawakan diri
sendiri, dan yang melecut semangat saya.
IV
Namun, saya
akui, saya tidak segigih dan setangguh Ajip, Rendra, apalagi Gandhi.
Berkali-kali saya mencoba meniru kegigihan dan ketangguhan mereka, tetapi
berkali-kali pula saya gagal. Semangat saya tidak pernah awet. Dan apabila
jatuh, saya tidak selalu segera bangkit sendiri. Kadang saya mengharapkan
uluran tangan orang lain untuk membantu saya berdiri dan berjalan lagi. Saya
pun lemah dalam kedisiplinan dan pengendalian diri. Kendati demikian, jauh di lubuk
hati yang paling dalam, saya masih ingin walaupun tidak menjadi seperti Ajip,
Rendra, atau Gandhi, tetapi setidaknya mewarisi sedikit kegigihan dan
ketangguhan mereka. Mudah-mudahan.