Jambi pada Abad V-XIV
Judul : Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi
Penulis : Prof. Dr. Slamet Muljana
Penerbit : Yayasan Idayu, Jakarta
Cetakan : Pertama, 1981
Tebal : 356 halaman
JAMBI
sebenarnya memiliki sejarah yang gilang-gemilang. Dalam peta perdagangan laut
Asia yang berlangsung sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha hingga berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, peran dan posisi Jambi sangat strategis
dan tak tergantikan. Rekonstruksi sejarah nusantara akan sulit, bahkan tak
mungkin, dilakukan tanpa menyebut nama (kuno) Jambi. Saat itu, Jambi yang
terletak di pantai timur pulau Sumatra dan langsung menghadap Selat Malaka,
merupakan salah satu pelabuhan transito, tempat persinggahan di mana para
pedagang transnasional yang berlayar baik dari Cina menuju wilayah India
ataupun sebaliknya mengadakan transaksi ekonomi dan, tentu saja, pertukaran
budaya.
Akan
tetapi, hal ini kurang atau belum diketahui oleh masyarakat luas, termasuk
masyarakat Jambi sendiri. Sebabnya, berdasar analisis subjektif penulis, pertama, kajian serius terhadap sejarah
Jambi yang benar-benar ilmiah dan berbobot masih boleh dibilang langka; kedua, hasil kajian yang jumlahnya
relatif tak banyak tersebut tampaknya dipublikasikan secara terbatas. Masyarakat
umum di luar kalangan akademik tidak dapat mengaksesnya dengan mudah untuk,
misalnya, digunakan sebagai bahan rujukan dalam diskusi-diskusi informal.
Akibat jauhnya, antara lain, peran strategis Jambi dalam sejarah Indonesia,
Asia Tenggara, dan Asia cenderung dilupakan dan tidak diberi ruang sewajarnya.
Di
tengah-tengah kelangkaan kajian sejarah Jambi itu, Slamet Muljana, filolog dan sejarawan yang tekun meneliti, dan
diakui kredibilitasnya dalam kajian, sejarah Siriwijaya dan Majapahit,
menerbitkan Kuntala, Sriwijaya dan
Suwarnabhumi pada 1981. Ketika menelusuri seluk-beluk sejarah Sriwijaya,
tampaknya secara tak sengaja dan tak terduga sebelumnya, ia malah menemukan
kebesaran Jambi pada masa lalu.
Mengamati
riwayat intelektualnya, buku ini merupakan puncak kajian Muljana dalam ranah
sejarah Sriwijaya.[1]
Dengan demikian, pandangan-pandangan baru yang ia kemukakan di dalamnya
menggugurkan pandangan-pandangan lamanya yang relatif sejalan dengan
historiografi resmi nasional.
Dalam
kancah ilmu sejarah Indonesia, Slamet Muljana adalah nama yang kontroversial. Ia
kerap memaparkan pandangan kesejarahan yang tak lazim dan bertentangan dengan
pendapat umum. Pada 1968, ia menerbitkan Runtuhnya
Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, sebuah
buku yang tidak semata-mata menyangkal konvensi mayoritas sejarawan nasional,
tetapi juga sempat menggegerkan penguasa Orde Baru. Dalam buku tersebut,
Muljana dengan berani mengajukan tesis bahwa sebagian Walisongo adalah para
ulama keturunan Cina, berbeda dengan kepercayaan masyarakat yang menganggap Walisongo
adalah keturunan Arab. Pemerintah Orde Baru kemudian membreidel buku tersebut
karena saat itu sentimen anti Cina sedang marak.[2] Demikian pula, dalam Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi, Muljana memaparkan
pandangan-pandangan kontroversialnya tentang Sriwijaya.
Artikel
ini tidak hendak mengkritik pandangan-pandangan kontroversial tentang Sriwijaya
tersebut. Sebagai pembaca literatur sejarah yang tidak berkompeten dalam ilmu
sejarah, penulis hanya mendeskripsikan ulang beberapa di antara pandangan itu,
disertai sedikit perbandingan dengan literatur lain, dengan mengambil fokus
sejarah Jambi yang terentang dari abad ke-5 sampai abad ke-14 sebagaimana
dijelaskan Muljana dalam buku ini. Selama kurun itu, terdapat tiga kerajaan
besar yang mengusai daerah yang sekarang disebut sebagai Jambi. Tiga kerajaan
“yang boleh diibaratkan seperti mata rantai bersambungan” itu adalah Kuntala
(abad ke-5 sampai abad ke-6), Sriwijaya (abad ke-7 sampai abad ke-8), dan
Suwarnabhumi (abad ke-9 sampai abad ke-14).
Mengingat-ingat
Kuntala
Keberadaan
Kuntala sebagai kerajaan, meski kurang populer di telinga publik, sesungguhnya
tidak terlupakan sama sekali. Hanya, para sejarawan—setidaknya sampai buku ini
diterbitkan—tampak belum bersepakat mengenai nama asli kerajaan ini. Sebagian
dari mereka menamainya Kan-t’o-li atau Kantoli, sesuai dengan toponim yang
tercantum dalam berita Cina. Sementara itu, sebagian yang lain menyebutnya Kandari.
Muljana sendiri menyebutnya Kandali, kemudian Kuntala.
Robert
Cribb, dalam Historical Atlas of
Indonesia, hanya memberi sedikit keterangan mengenai Kuntala. Menurutnya,
semenjak tahun 441 M, selama sekitar seabad Kantoli menjadi kerajaan
perdagangan paling penting di kepulauan (nusantara). Letaknya tak dapat
dipastikan, tetapi tradisi Cina mengungkapkan bahwa kerajaan ini merupakan
pendahulu Sriwijaya. Kantoli mengalami kemunduran segera setelah pertengahan
abad ke-6, barangkali karena perpecahan politik di Cina, yang menghambat proses
perdagangan. Posisi Kantoli (dalam peta perdagangan Asia) kemudian diambil alih
oleh pelabuhan Moloyu yang terletak di sebelah utaranya.[3]
Buku
Sejarah Nasional Indonesia (SNI),
yang pernah dianggap sebagai rujukan sejarah Indonesia paling otoritatif, juga
tidak banyak membicarakan Kuntala. SNI hanya menjelaskan, Kan-t’o-li adalah “salah
sebuah kerajaan di Indonesia yang mulai mengirim utusan ke Cina sejak tahun
441, tidak mengirim utusan setelah utusannya pada tahun 455. Kemudian pada
tahun 518, 520, 560 dan 563. Nampak bahwa Kan-t’o-li tidak begitu sering
mengirim utusan ke Cina. Menurut Wolters, Kan-t’o-li adalah salah sebuah dari
dua kerajaan Indonesia yang memegang peranan sangat penting dalam perkembangan
perdagangan abad kelima. Ia menafsirkan bahwa justru kedudukannya yang kuat
dalam perdagangan menyebabkan Kan-t’o-li tidak merasa perlu untuk menunjang
perdagangannya itu dengan banyak mengirim utusan ke Cina.”[4]
Dibandingkan
dengan dua literatur di atas, buku Kuntala,
Sriwijaya dan Suwarnabhumi ini menjelaskan Kuntala secara lebih rinci,
argumentatif, dan relatif memuaskan karena di dalamnya Muljana mengidentifikasi
letak kerajaan dengan cukup logis, kendati sangat mungkin memicu pelbagai
pertanyaan kritis. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa sumber
informasi awal—terutama berasal dari berita Cina—mengenai Kuntala memang tidak
banyak.
Kuntala
mengirim utusan ke negeri Cina pertama kali pada tahun 441, dan terkahir kali
pada tahun 520. Sejak itu tidak datang lagi utusan dari Kuntala (hal.7). Pada
masa pemerintahan Kaisar Hsiau-wu (459-464), Kuntala mengirim utusan ke negeri
Cina dengan membawa upeti untuk kaisar. Raja Kuntala ketika itu bernama
Sa-pa-la-na-lin-da (Sri Waranarendra) dan utusannya bernama Ta-ru-da (Rudra).
Pada masa pemerintahan kaisar Wu (502-549), Kuntala mengirim utusan beberapa
kali (502, 519, 520)[5].
Nama raja dan utusannya mirip sekali dengan nama Sansekerta (hal.12).
Sejarah Dinasti
Liang menyatakan Kuntala terletak di salah
satu pulau di Laut Selatan. Adat kebiasannya serupa dengan Kamboja dan Campa.
Hasil buminya adalah pakaian berbunga, katun dan pinang yang bermutu sangat
tinggi. Sejarah Dinasti Ming (1368-1643)
menambahkan: san-fo-tsi (Suwarnabhumi) dahulu juga disebut Kuntala (hal.12).
Dalam berita Cina lainnya disebutkan bahwa Kuntala terkenal karena obat-obatan
dan rempah-rempahnya (hal.15).
Karena
informasi awal yang sangat terbatas itu, wajar apabila muncul perbedaan
pendapat di kalangan sejarawan ketika mereka berupaya mengidentifikasi di mana
letak pusat kerajaan Kuntala. J.L. Moens mengidentifikasikannya di Singkil
Kandari, pantai barat Aceh; J.J. Boeles di desa Kantoli, pantai timur Muangthai
Selatan; O.W. Wolters di Palembang (hal.15-16); dan G. Coedes di Jambi[6].
Setelah
menyangkal identifikasi J.L. Moens, J.J. Boeles, dan O.W. Wolters, Muljana,
dalam buku ini, memastikan bahwa pusat kerajaan Kuntala terletak di sekitar
hulu Sungai Tungkal (Sungai Pangebuan). Empat belas abad lalu ibukota Kuntala
terletak tepi laut di muara sungai. Penelitian geologi Sartono menyimpulkan,
garis pantai timur Sumatra empat belas abad lalu berbeda dengan garis pantai
zaman sekarang, beberapa puluh kilometer ke dalam. “Tanah muda dari garis
pantai sekarang sampai pangkal Sungai Tungkal,” papar Muljana “ialah hasil
endapan Sungai Pangebuan selama empat belas abad”. Sebab demikian, pangkal
Sungai Tungkal mungkin mengandung benda-benda keramik dari era dinasti Sung.
Akan tetapi, hingga Yayasan Idayu menerbitkan buku ini pada 1981, belum diadakan
penggalian di tempat itu (hal.18-19).
Adapun
kata tungkal dalam “Sungai Tungkal”
adalah metatesis dari kuntal.
Aslinya, kuntal ditulis kuntala. Dalam komunikasi lisan, huruf a di akhir kata tidak diucapkan. Kata kuntala diucapkan kuntal; gophala diucapkan
gophal; sanjaya diucapkan sanjay;
sriwijaya diucapkan sriwijay. Berdasarkan penyeledikan
Muljana, Kuntala ternyata merupakan nama sebuah wilayah di India Selatan yang
pernah dikuasai oleh dinasti Pallawa. Orang-orang dari Suku Kadamba yang
mendiami wilayah ini, demikian spekulasi Muljana, kemudian bermigrasi ke hulu
Sungai Tungkal.
Untuk
menanamkan rasa krasan, mereka
menamai tempat tinggal barunya tersebut dengan Kuntala, sesuai nama kampung
halaman mereka. Hal ini sudah menjadi kebiasaan para migran. Orang-orang Jawa
yang bertransmigrasi ke Lampung, misalnya, menamai pemukiman baru mereka sesuai
dengan nama daerah dari mana mereka berasal: desa Purwokerto, desa Kediri, desa
Yogya, dan sebagainya.
Orang-orang
yang berasal dari Kuntala dan bermigrasi ke hulu Sungai Tungkal tersebut
disebut Kuntali, sebagaimana orang-orang yang berasal dari Benggala disebut
Benggali. Sebab itu, dalam berita Cina kerajaan Kuntala disebut dan ditulis
dengan toponim Kan-t’o-li, tidak dengan nama sebenarnya (hal.17-18).
Jika
secara filologis, geografis, geologis, dan arkeologis terbukti bahwa pusat kerajaan
Kuntala memang terletak di Sungai Pangebuan, artinya, pertama, Jambi merupakan salah satu titik simpul dalam jaringan
perdagangan Asia pada abad ke-5 sampai ke-6, kedua, sudah sejak kurun itu Jambi telah menjalin hubungan
diplomatis dengan Cina, ketiga,
pertukaran budaya antara Jambi, India, Cina dan kerajaan-kerajaan kuno di
kawasan Asia Tenggara telah berlangsung dalam jangka waktu yang sangat-sangat
lama, dan keempat, dalam rangka turut
serta secara aktif dalam jaringan perdagangan Asia, barangkali pada abad ke-5
Jambi telah mengembangkan teknologi pelayaran, teknik militer, sistem politik,
dan sistem ekonomi yang relatif canggih dan telah secara alamiah menyusun konsep
kebudayaan yang relatif terbuka dan progresif. Tentu tafsir-atas-fakta yang
masih perlu dibuktikan kebenarannya dan dicari kesalahannya secara ilmiah ini
dapat membanggakan masyarakat Jambi saat ini.
Menggugurkan
mitos Sriwijaya
Pada
abad ke-7 hingga ke-8, Sriwijaya menguasai wilayah yang saat ini disebut
sebagai Jambi. Masih terdapat perbedaan pandangan yang tajam di antara para
sejarawan tidak saja mengenai di mana letak ibukota, berapa lama berdiri, dan
seberapa luas daerah kekuasaan Sriwijaya, tetapi juga yang terpenting: dalam
berita Cina, Sriwijaya ditoponimkan dengan nama apa. Perbedaan pandangan
semacam ini merupakan kelaziman belaka dalam penelitian sejarah kuno. Sebab,
sumber informasi awal yang digunakan untuk merekonstruksi sejarah hanya berasal
dari teks-teks kuno dan benda-benda arkeologis yang sedikit jumlahnya dan sukar
dibaca-tafsirkan.
Nama
Sriwijaya mulai dikenal dan diterima oleh kalangan sejarawan ketika G. Cœdès pada
tahun 1918 mempublikasikan artikelnya yang berjudul Le Royaume de Çrīvijaya dalam Bulletin de l’École française d'Extrême-Orient.[7]
Menurutnya, “Sriwijaya” adalah transliterasi dari toponim Shih-li-fo-shih dan
San-fo-tsi yang tertulis dalam berita Cina dan catatan perjalanan I-Tsing.
Shih-li-fo-shih dan San-fo-tsi merupakan dua sebutan dari sebuah kerajaan yang
sama yang beribukota di Palembang, Sumatra bagian selatan. Dengan identifikasi
secara demikian, ditariklah kesimpulan—yang telah menjadi mitos dan dalam buku
ini dibantah, digugat, dan digugurkan oleh Muljana—bahwa Sriwijaya berdiri pada
abad ke-7 dan runtuh pada abad ke-14.
SNI
mengambil dan menerima pandangan Cœdès seputar nama dan tempo
kekuasaan Sriwijaya ini.[8]
Sartono Kartodirdjo, dalam Pengantar
Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I,
tampaknya juga mengambil pandangan tersebut, meski tak secara utuh dan persis
sama. Agak berbeda dengan Cœdès dan SNI, masa keruntuhan
Sriwijaya, menurut Kartodirdjo, sudah dimulai sedari abad ke-13. “Sejak
serangan dari Cola dalam abad XI dan kemudian terdesak oleh kekuasaan Jawa
Timur pada akhir abad XIII,” tulisnya “Sriwijaya merosot sebagai pusat
perdagangan dan akhirnya dikuasai oleh bajak laut.”[9]
Muljana
sendiri pada awalnya setuju saja dengan pandangan Cœdès itu.
Namun demikian, saat itu ia sepertinya masih bertanya-tanya mengapa Sriwijaya
dalam berita Cina ditoponimkan dengan dua nama yang berbeda dan mengapa toponim
yang pada masa pemerintahan dinasti T’ang ditranskripsikan Shih-li-fo-shih
sekonyong-konyong pada masa pemerintahan dinasti Sung ditranskripsikan menjadi
San-fo-tsi. Dalam Sriwijaya, bukunya
yang untuk pertama kali diterbitkan oleh Percetakan Arnoldus, Ende-Flores pada
1960, dan selanjutnya diterbitkan ulang oleh LKiS Yogyakarta pada 2006, Muljana
menulis
Tidak dapat lagi disangkal bahwa San-fo-ts’i terletak di
Palembang. Kita ingin mengetahui mengapa
kiranya kerajaan Sriwijaya, yang ditranskripsikan dalam tulisan Tionghoa pada
masa pemerintahan rajakula T’ang Shih-li-fo-shih, sekonyong-konyong dalam masa
pemerintahan rajakula Sung ditranskripsikan San-fo-ts’i.[10]
Karena
itu, buku Kuntala, Sriwijaya dan
Suwarnabhumi ini penting bukan hanya karena di dalamnya terdapat antitesis
positif Muljana terhadap pendapat Cœdès yang telah telanjur
dimitoskan, tetapi juga karena dengan diterbitkannya buku ini Muljana meralat
pendapatnya sendiri seputar Sriwijaya yang ditulisnya dalam buku Sriwijaya pada 1960.
Dalam Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi ini, Muljana melontarkan pandangan
baru: Shih-li-fo-shi dan San-fo-tsi adalah dua nama kerajaan yang berbeda yang
pusat pemerintahannya sama-sama berlokasi di Pulau Sumatra. Shih-li-fo-shih
adalah transkripsi dari “Sriwajaya” yang beribukota di wilayah Palembang saat
ini, sedangkan San-fo-tsi adalah transkripsi dari “Suwarnabhumi” yang pernah
untuk masa yang cukup lama beribukota di Kota Jambi saat ini.
Kesimpulan yang diperoleh Muljana ini
membawa implikasi logis yang tak tanggung-tanggung: lamanya masa berdiri, masa
kekuasaan, dan masa kejayaan Sriwijaya ternyata lebih pendek daripada yang
disangka banyak sejarawan sebelumnya. Pada umumnya, sebagaimana telah
dipaparkan pada bagian terdahulu, Sriwijaya disangka dan diyakini berdiri sejak
abad ke-7 dan runtuh pada abad ke-14. Muljana menyangkal sangkaan dan keyakinan
tersebut. Usia Sriwijaya tidak sepanjang itu.
Sriwijaya memang terbukti telah berdiri
pada abad ke-7. Sriwijaya mengirim
utusannya yang pertama ke negeri Cina pada 670; sudah berdiri pada tahun 671
ketika I-Tsing sampai dan menetap selama enam bulan di kerajaan tersebut. Namun
setelah tahun 742 Sriwijaya tidak lagi mengirim utusannya ke negeri Cina.
Karena kaisar Cina hanya menerima utusan dari kerajaan merdeka, boleh jadi
bahwa waktu itu Sriwijaya telah merosot dan menjadi daerah jajahan kerajaan
lain. Kendati begitu, nama Sriwijaya masih disebut-sebut dalam prasasti Ligor A
yang bertarikh 775.
Keruntuhan Sriwijaya disebabkan oleh
serangan sebuah kerajaan besar di Jawa yang diperintah oleh wangsa Sailendra,
tidak disebabkan oleh serangan Cola dan Majapahit serta masuknya Islam di
nusantara. Agar lebih jelas, penulis kutip keterangan umum mengenai Sriwijaya
dalam buku ini.
Dalam abad
ketujuh dan kedelapan kerajaan di pantai timur Sumatra Selatan yang mengirim
utusan ke negeri Cina ialah Kerajaan Sriwjaya yang ditransliterasikan
Shih-li-fo-shih dalam berita Cina. Kerajaan Sriwijaya mengirim utusan ke negeri
Cina yang pertama kali pada tahun 670; yang paling akhir pada tahun 742.
Meskipun nama Kerajaan Sriwijaya masih disebut dalam prasasti Ligor A yang
bertarikh 775, kiranya pada waktu itu Sriwijaya sudah merupakan negara bawahan,
oleh karena itu tidak lagi mengirim utusan ke negeri Cina. Dalam hal ini,
negara induk yang mengirim utusan ke Cina. Adanya prasasti Ligor B pada sisi
belakang prasasti Ligor yang menyebut Sri Maharaja Wisnu dari wangsa Sailendra
merupakan salah satu bukti bahwa dalam abad kedelapan Sriwijaya ialah negara
bawahan raja dari wangsa Sailendra. (hal.7)
Perdebatan lain sekitar sejarah
Sriwijaya adalah mengenai di mana letak definitif pusat kerajaan maritim
tersebut. G. Cœdès menentukan ibukota Sriwijaya terletak di Palembang. R.J.
Majumdar menyanggah identifikasi ini. Menurut Majumdar, Sriwijaya tidak
berpusat di Palembang, melainkan mula-mula berpusat di Jawa, kemudian
memperluas wilayah kekuasannya ke pantai timur Semenanjung Melayu sampai di
Ligor, Muangthai Selatan, tempat ditemukannya prasasti Ligor A dan B. J.L.
Moens turut membantah identifikasi Cœdès dengan argumentasi geografis yang
solid. H.C. Quaritch Wales tidak menyetujui pendapat Cœdès, dan menyarankan
bahwa ibukota Sriwijaya terletak di daerah Chaiya, Muangthai Selatan; kebetulan,
di sebelah selatan Chaiya terdapat bukit bernama Sivicay. Berbekal hasil kajian
geomorfologis yang dipadu dengan analisis filologis, R. Soekmono menolak
Palembang, dan menetapkan Jambi, sebagai ibukota Sriwijaya. Dengan menafsirkan
teks yang tertera pada prasasti Kedukan Bukit dan menghubungkannya dengan
sumber dan bukti lain, Boechari menyatakan, sebelum tahun 682 M ibukota
Sriwijaya terletak di Minanga, yakni di Batang Kuantan, hulu Sungai Indragiri
di daerah Riau Daratan (hal.42-64). SNI tampaknya lebih bersepakat dengan, dan
mengambil, pendapat Boechari ini.
....
Sriwijaya tidak di Palembang letaknya. Dapunta hyang memulai perjalanannya dari
Minanga Tamwan, datang di Matayap (Melayu atau Jambi sekarang), kemudian
mendirikan kota yang diberi nama Sriwijaya. Setahun kemudian raja Sriwijaya
membangun sebuah taman yang dihadiahkan kepada rakyat di sekitar Palembang (Talang
Tuo) dengan disertai kutukan-kutukan terhadap siapa yang tidak tunduk kepada
perintah raja. Tentunya kutukan-kutukan itu tidaklah ditujukan kepada rakyat di
ibukota kerajaan sendiri. Jadi dengan demikian maka letak Sriwijaya tidak di
Palembang. Sedangkan hadiah taman itu dapat diartikan sebagai kebaikan raja
Sriwijaya terhadap rakyat daerah yang ditaklukannya. Mungkin sekali pusat Sriwijaya terletak di Minanga Tamwan itulah, di daerah pertemuan Sungai Kampar kanan dan
Kampar kiri.
Keadaan ini dapat disesuikan dengan berita dari I-Ts’ing
yang dapat diartikan bahwa letak Sriwijaya di daerah khatulistiwa. Hal ini
dapat diperkuat dengan penemuan arkeologis berupa bangunan stupa di daerah
Muara Takus, yang diperkirakan berasal dari abad ke-7. Sedangkan Palembang
sendiri kemudian menjadi penting di dalam sejarah terutama sebagai pusat ziarah
pemeluk-pemeluk agama Buddha. Di daerah Telaga Batu banyak ditemukan batu-batu
yang bertuliskan Siddhayatra, yang artinya mungkin perjalanan suci yang
berhasil. Di bukit Siguntang sendiri ditemukan sebuah arca Buddha dari batu
yang sangat besar dan diperkirakan berasal dari abad [ke-]6.[11]
Adapun
Anthony Reid, yang terpandang sebagai sarjana sejarah Sumatra paling mumpuni,
menulis bahwa ibukota Sriwijaya terletak di Palembang dan Jambi.[12]
Tentang ibukota Sriwijaya, Muljana
tidak mengusulkan pendapat baru, setuju dengan identifikasi Cœdès: di
Palembang. Dengan argumentasinya yang multidisipliner, ia menyanggah pendapat
R. Soekmono. Ibukota Sriwijaya tidak di Jambi. Jambi adalah ibukota Kerajaan
Malayu yang terletak di sebelah barat Sriwijaya/Palembang sejauh lima belas
hari pelayaran (hal.51-66). Pada tahun 680-an M, Malayu mulai dikuasai oleh
Sriwijaya yang tengah melancarkan politik perluasan wilayah (hal.68-69).
Muljana berspekulasi, di antara
tujuan Sriwijaya melancarkan politik perluasan wilayah menjelang penghujung
abad ke-7 adalah untuk mensejahterakan rakyatnya. Lokasi ibukota Sriwijaya
sangat tidak strategis dalam peta perdagangan laut Asia, tersisih dari lalu
lintas pelayaran di Selat Malaka. Akibatnya, kerajaan ini dalam bidang
kesejahteraan rakyat jauh ketinggalan dengan Malayu (hal.68). Demi menyejahterakan
rakyatnya, mengamankan negara dan memperluas kekuasaan, Sriwijaya berupaya
menguasai kerajaan-kerajaan penting di Asia Tenggara yang menjadi titik simpul
jaringan perdagangan Asia.
Mula-mula Sriwijaya berusaha
mengusai Selat Bangka. Keberhasilan Sriwijaya dalam menundukkan daerah ini
diabadikan dalam prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Kotakapur, sebuah dusun
kecil di pesisir barat Pulau Bangka. Selanjutnya, Sriwijaya menyerang Malayu.
Tulisan pada prasasti Karang Brahi yang ditemukan di hulu Sungai Merangin
menunjukkan keberhasilan Sriwijaya dalam menundukkan Malayu. Ambisi Sriwijaya
untuk mengusai Malayu adalah isyarat betapa ketika itu posisi Malayu sedemikian
berartinya dalam kancah ekonomi dan politik Asia tenggara khususnya, dan Asia
pada umumnya.
Pada 682, Sriwijaya meneruskan
politik perluasan wilayahnya dengan menyerang Minanga/Binanga yang terletak di
muara Sungai Barumun (Prasasti Kedukan Bukit). Sriwijaya lalu menyerang Kedah.
Penyerangan ini diperkirakan terjadi antara tahun 682-685. Setelah berhasil
mengusai Tulang Bawang (prasasti Palas Pasemah), Sriwijaya agaknya mengirim
ekspedisi menyerbu Tarumanegara, sebuah kerajaan di Pulau Jawa (prasasti Kota
Kapur). Sesudah dikuasai Sriwijaya, Tarumanegara tidak mengirim utusan lagi ke
negeri Cina. Klimaksnya, Sriwijaya mengirim pasukan yang berhasil menaklukkan
Ligor di pantai timur Semenanjung Melayu (prasasti Ligor) (hal.67-81).
Penguasaan terhadap ketujuh wilayah
strategis itu menandai kejayaan Sriwijaya. Muljana menggambarkan kejayaan
Sriwijaya ini sebagai berikut.
Sebagai
negara induk Sriwijaya setiap tahun menerima upeti dari negara-negara bawahan
berupa hasil bumi, perak dan emas atau barang lainnya dalam jumlah yang
ditentukan. Negara-negara di pantai timur Semenanjung misalnya, setiap tahun
diwajibkan mengantar upeti berupa [e]mas, perak dan barang-barang porselen
dalam jumlah tertentu kepada raja Sriwijaya. Tidaklah mengherankan bahwa
karenanya kekayaan raja Sriwijaya itu berlimpah-limpah. Uraian I-Tsing tentang
Sriwijaya memberi kesan bahwa pada akhir abad ketujuh negara Sriwijaya itu
makmur sekali. Dikatakan bahwa rakyat memberikan sajian bunga teratai emas
kepada arca Buddha; dalam upacara agama tampak perabotan dan arca-arca serba
emas. Rakyat dari semua lapisan berlomba memberi sedekah kepada para pendeta.
(hal.81)
Akan
tetapi, kejayaan ini tidak berumur panjang. Dari penafsiran atas teks yang
tertara pada prasasti Ligor, prasasti Nalanda, dan prasasti Kelurak, yang
kemudian dikaitkan dengan uraian Sejarah Vietnam, Muljana berasumsi baha Jawa
(She-po) pada pertengahan abad ke-8 menyerang dan menduduki Sriwijaya. Serangan
ini menyebabkan status Sriwijaya turun menjadi kerajaan vasal dan, oleh karena
itu, tidak bisa mengirim utusan ke Cina lagi. Serangan Jawa yang terjadi pada
abad ke-8 ini sekaligus menandai keruntuhan Sriwijaya (hal.81-91).
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa
Slamet Muljana, melalui buku Kuntala,
Sriwijaya dan Suwarnabhumi ini, memberi sumbangan yang sangat berarti dalam
kemajuan kajian sejarah Sriwijaya, yaitu, pertama,
membedakan toponim San-fo-tsi dan Shih-li-fo-shih yang disamarakatakan begitu
saja oleh Cœdès dan para pengikutnya; dengan demikian, kedua, memastikan masa berdirinya Sriwijaya sebagai kerajaan
merdeka hanya selama lebih kurang satu abad; ketiga, menggugurkan—jika tesis-tesis pokok Muljana dalam buku ini
dibuktikan benar oleh sejumlah besar sejarawan lain—mitos Sriwijaya yang telah
terlanjur menjadi keyakinan historis dan keyakinan politis; keempat, meralat pendapat-pendapat
awalnya sendiri tentang Sriwijaya yang tercantum dalam buku Sriwijaya; dan kelima, memperkokoh pendapat Cœdès yang menyatakan bahwa ibukota
Sriwijaya terletak di Palembang.
Selain itu, Slamet Muljana memberi
sumbangan berarti pula bagi pengembangan kajian sejarah Jambi. Dialah sejarawan
yang pertama-tama menemukan kembali dan membangkitkan batang yang telah sebegitu
lama terendam di dasar ingatan kolektif masyarakat Jambi: Kerajaan
Suwarnabhumi.
Menemukan
kembali Suwarnabhumi
Tampaknya hanya Muljana yang dengan
mantap menyatakan bahwa Suwarnabhumi adalah nama sebuah kerajaan yang terletak
di Pulau Sumatra dan mampu bertahan hidup selama sekitar lima abad. SNI memang
menerangkan dan mengakui bahwa Suwarnabhumi ialah nama sebuah negeri atau
kerajaan di sebelah timur Teluk Benggala. Namun, penyusunnya tidak menjelaskan
dengan tegas dan jelas sejak dan hingga kapan Suwarnabhumi berdiri serta bagaimana
kondisi sosial-budaya kerajaan tersebut. Tentang Suwarnabhumi sebagai kerajaan,
SNI hanya menulis gambaran ringkas yang masih kurang jelas seperti berikut ini:
Salah satu
kitab yang sering disebut oleh para peneliti adalah kitab Jataka. Kitab yang
memuat kisah-kisah kehidupan Sang Buddha ini menyebut Suvarnabhumi sebagai
sebuah negeri yang memerlukan perjalanan yang penuh bahaya untuk mencapainya.
Suvarnabhumi berarti “negeri emas”. Menurut Lèvi, yang dimaksudkan adalah salah
sebuah negeri di sebelah timur Teluk Benggala.[13]
Kemantapan Muljana tersebut agaknya
berpangkal dari kejelian dan kejernihannya dalam membaca, menafsirkan, dan
mengidentifikasi toponim-toponim yang tertera dalam berita Cina dan dalam
catatan perjalanan I-Tsing. Sebagaimana disebutkan di muka, Muljana menafsirkan
toponim San-fo-tsi secara berbeda dengan para sejarawan lainnya. Dengan
konsisten—konsistensinya ini dapat diamati ketika membaca buku ini, ia
mempertahankan pendapat bahwa San-fo-tsi tidak sama dengan Shih-li-fo-shih.
Unsur fo-shih dan fo-tsi yang terkandung dalam dua toponim ini memang mirip bunyinya,
tetapi tidak bisa serta-merta disamakan.
San-fo-tsi bukan transkripsi Cina dari
nama Sriwijaya. San-fo-tsi merujuk pada nama kerajaan lain yang menurut Sejarah Dinasti Sung terletak di Laut
Selatan antara Kamboja dan Jawa. Kerajaan ini menguasai lima belas negara
bawahan. Dalam berita Cina lainnya dikabarkan: raja San-fo-tsi,
she-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tiau-hwa (Sri Cudamaniwarmadewa) pada 1003 mengirim
dua orang utusan ke Cina. Selain membawa upeti untuk kaisar, utusan ini juga
menginformasikan bahwa di negerinya sedang dibangun sebuah candi Buddha di mana
orang-orang memanjatkan doa supaya kaisar diberi umur panjang. Berhubungan
dengan itu, kepada kaisar mereka meminta nama dan lonceng untuk candi tersebut.
Seperti halnya Kuntala dan Sriwijaya,
para sejarawan masih belum memperoleh jawaban kompak ketika dihadapkan pada pertanyaan:
di mana pusat kerajaan San-fo-tsi. Cœdès, karena menyamaratakan toponim
Shih-li-fo-shih dan San-fo-tsi, jelas menunjuk Palembang sebagai pusat kerajaan
San-fo-tsi. Akan tetapi, pendapat ini menemukan penyangkalnya juga. Melandaskan
analisisnya dari informasi yang terdapat pada berita Cina dan prasasti Leiden,
J.L. Moens menyimpulkan: Kidara atau Kadaram adalah ibukota San-fo-tsi pada
abad ke-11.
Tidak sepaham dengan Cœdès dan Moens,
Muljana lantas mengidentifikasi: ibukota San-fo-tsi terletak di pantai timur
Sumatra Selatan, tepatnya di muara Sungai Batang Hari, Jambi. Identifikasi ini
ditunjang oleh hasil kajian geologi Sartono dan uraian dalam Sejarah Dinasti Sung yang menyebut bahwa
raja San-fo-tsi bersemayam di Chan-pi (Jambi) (hal.176-188).
Kerajaan San-fo-tsi inilah yang dalam
berita Arab-Persi dinamakan al-Zabaj, dalam berita Srilangka-India Selatan
disebut Jawaka, dalam prasasti Nalanda disebut Suwarnadwipa, dan dalam prasasti
Suwarnabhumi, prasasti Amoghapasa dan prasasti Kepalo Bukit Gombak (Pagar
Ruyung I) disebut Suwarnabhumi. Suwarnabhumi juga dikenal sebagai Malayu
(Nagarakratagama dan Pararaton), Suwarnapura, Malayur, dan Malayapura. Tanpa
mengemukakan alasan tertentu, Muljana kemudian menggunakan “Suwarnabhumi” untuk
menyebut kerajaan yang dalam berita Cina dinamakan dengan San-fo-tsi (hal.
176-240)
Suwarnabhumi didirikan pada pertengahan
abad ke-9 oleh Balaputradewa yang berwangsa Sailendra setelah ia kalah dalam
perang tanding melawan keponakan iparnya, Jatiningrat, yang lebih dikenal
sebagai Rakai Pikatan. Perang tanding memperebutkan tahta itu meletus tidak
lama sesudah Sri Maharaja Samaratungga, raja Sailendra terakhir Kerajaan
Mataram Lama, wafat. Balaputradewa, demikian analisis Muljana, adalah adik
kandung Samaratungga, sedangkan Rakai Pikatan adalah menantunya. Keduanya
sama-sama merasa berhak atas tahta kerajaan. Kekalahan Balaputra sekaligus
merupakan akhir kekuasaan Wangsa Sailendra di tanah Jawa (hal.182-186; juga
hal. 165-172).
Selanjutnya, dalam rangka pembinaan
kerajaan, Balaputradewa melaksanakan langkah-langkah strategis, antara lain: pertama, memindahkan ibukota dari
Palembang ke Jambi; pertimbangannya, posisi geografis Jambi lebih strategis
ketimbang Palembang; kedua, mengusai
Kedah, yang mana setelah Kanton berhenti sebagai pusat perdagangan, berfungsi
sebagai pusat perdagangan pengganti bagi pedagang-pedagang Persi dan Arab; ketiga, menjalin hubungan diplomatik
dengan Cina dan Magadha di India (hal.185-188).
Selain mengusai Kedah (Kalah), berita-berita
Arab juga menyatakan bahwa Suwarnabhumi (al-Zabaj) menguasai Sriwijaya
(Sribuza) (hal.181). Dari sumber Cina (Sejarah
Dinasti Sung, Chu-fan-chi, dan Ling-wai-tai-ta)
diperoleh informasi: Suwarnabhumi menguasai 15 negara bawahan, yaitu: 1) Pang-fong
(Pahang); 2) Tong-ya-nong (Trengganu); 3) Ling-ya-si-kia (Langkasuka); 4) Ki-lan-tan
(Kelantan); 5) Fo-lo-an (Kuala Brang); 6) Ji-li-tong (Cerating); 7) Ch’ieng-mai
(?); 8) Pa-t’a (Paka); 9) Tan-ma-ling (Tambralingga); 10) Kia-lo-hi (Grahi);
11) Pa-lin-fong (Palembang); 12) Sun-to (Sunda); 13) Kien-pi (Muara Kampe); 14)
Lan-wu-li (Lamuri); dan 15) Si-lan (Srilangka) (hal. 185-186). Daftar negara
yang bahkan membentang hingga Srilangka ini mengindikasikan bahwa wilayah kekuasaan
Suwarnabhumi sangat luas, lebih luas daripada wilayah kekuasaan Sriwijaya.
Di samping wilayah kekuasaan yang
sedemikian luas, dalam riwayat kerajaan Suwarnabhumi, ada beberapa hal pokok lain
yang layak dicatat, yakni (1) peperangan antara Suwarnabhumi dengan Kerajaan
Watu Galuh di Jawa bagian timur (hal.195-205), (2) hubungan Suwarnabhumi dengan
India Selatan dan pendudukan Cola (hal.205-219), (3) kepemimpinan wangsa
Malayapura—berasal dari Dharmasraya—di Suwarnabhumi dan tersingkirnya wangsa
Sailendra dari tampuk kekuasaan (219-228), (4) pemberontakan Tambralingga
(hal.228-232), (5) serangan tentara Singasari yang dikenal dengan ekspedisi
Pamalayu (hal.233-240) dan (6) pendudukan Majapahit pada era Hayam Wuruk
(hal.308-309). Dalam situasi politik yang relatif tidak stabil karena harus
menghadapi berbagai serangan dari kerajaan lain secara berturut-turut itu,
ibukota Suwarnabhumi sempat beberapa kali dipindahkan dan hegemonnya pun
berganti-ganti.
Awalnya, Suwarnabhumi diperintah oleh
wangsa Sailendra dan ibukotanya terletak di Jambi. Setelah hubungan antara Cola
dengan Suwarnabhumi kian memburuk, dan Cola mengirim eskpedisi militer menyerbu
Suwarnabhumi (1017, 1025, 1067), Suwarnabhumi kemudian diduduki oleh Cola dan
diperintah oleh keturunan raja-raja Cola. Hingga saat itu, ibukota Suwarnabhumi
masih di Jambi (hal.205-219).
Dominasi Cola di Suwarnabhumi hanya
berlangsung kira-kira setengah abad. Sebab, Pangeran Suryanarayana, yang
termasuk wangsa Malayapura, rupanya menggalang pemberontakan demi menggulingkan
dominasi Cola. Ia berhasil mengambil alih kekuasaan Suwarnabhumi dari tangan
Cola (prasasti Srilangka) (hal.219-221).
Pada 1275, Sri Kertanegara, Raja
Singasari, mengirim ekspedisi Pamalayu, sebuah ekspedisi militer yang mengemban
misi menaklukkan Suwarnabhumi. Keberhasilan ekspedisi ini diterangkan pada
prasasti Amoghapasa. Ditemukannya prasasti Amoghapasa di Dharamasraya mendorong
Muljana untuk menarik kesimpulan bahwa paska ekspedisi Pamalayu ibukota
Suwarnabhumi dipindahkan dari Jambi ke Dharmasrya. Sebab, tentara Singasari
menduduki Jambi (hal.233-235).
Sinar cemerlang Suwarnabhumi semakin
meredup ketika Majapahit menerapkan politik ekspansinya di bawah pimpinan Patih
Amangkubumi Gajah Mada. Ia sukses menundukkan Suwarnabhumi. Tampaknya Hayam
Wuruk, raja Majapahit kala itu, kemudian menugaskan wakilnya, Adityawarman,
untuk memerintah Kerajaan Malayapura di Dharmasraya (prasasti Amoghapasa, 1347).
Politik ekspansi Majapahit ini juga
menyebabkan Kerajaan Suwarnabhumi, yang waktu itu wilayah kekuasaan sudah
menciut karena pemberontakan Tambralingga dan faktor-faktor lain, pecah menjadi
tiga bagian: Jambi, Palembang dan Dharmasraya. Suwarnabhumi pun tidak lagi
memegang peranan penting di Asia Tenggara. Akan Tetapi, kerajaan-kerajaan
pecahan Suwarnabhumi tersebut masih terus mengirim utusan—barangkali atas nama
Suwarnabhumi—ke negeri Cina sampai tahun 1377. Pihak kerajaan Cina menerima
utusan itu sebab, menurut Muljana, kaisar masih menyangka Suwarnabhumi adalah kerajaan
merdeka (hal.308-310)
Meninggalnya
Hayam Wuruk pada 1389 mengakibatkan pergolakan di Majapahit. Seperti biasa,
para ahli waris, dalam hal ini Wikramawardhana (kemenakan dan menantu raja) dan
Bhre Wirabhumi (putra tunggal raja yang lahir dari selir), bersengketa
memperebutkan tahta kerajaan. Pada 1406, persengkataan itu memuncak menjelma
perang saudara (hal.310).
Pergolakan yang terjadi dalam tubuh
Majapahit ini dimanfaatkan oleh Parameswara untuk mengadakan pemberontakan.
Kata Tome Pires, Parameswara adalah pangeran dari Palembang, seorang bangsawan
yang suka berperang. Pemberontakan ini tidak saja gagal, tetapi juga menyebabkan
Majapahit, pada 1397, mengirim tentataranya ke Suwarnabhumi dan Palembang dalam
rangka menumpas pemberontakan tersebut.
Suwarnabhumi pun jatuh-runtuh.
Ibukotanya, yang sesudah peristiwa itu dipindahkan ke Palembang, dikuasai oleh
wakil Majapahit. Wakil Majapahit ini ternyata tidak mampu mengatasi segala
keresahan yang timbul akibat musnahnya pemerintahan di Palembang. Cerdas
menangkap peluang, Liang Tau-ming, bajak laut Cina, mengambil alih kekuasaan
Palembang dengan dukungan para pengikutnya.
Adapun Parameswara, setelah
pemberontakan yang gagal itu, melarikan diri ke Tumasik. Di sana ia mendirikan
Kerajaan Malaka, salah satu kerajaan Islam tertua di nusantara. Saat berusia 72
tahun, Parameswara masuk Islam (pada akhir tahun 1405 atau permulaan tahun
1406), dan mengganti namanya menjadi Iskandar Shah (hal.310-320).
Pertanyaannya, bagaimana nasib Jambi
setelah runtuhnya Suwarnabhumi?
Sejarah
yang ilmiah
Kuntala,
Sriwijaya dan Suwarnabhumi dengan gamblang, jelas
dan ilmiah membabarkan betapa Jambi merupakan nama yang pantas diperhitungkan
dalam kancah sejarah Asia dan Asia Tenggara. Sejak abad ke-5, Jambi sudah
berperan serta dalam jaringan perdagangan kepulauan nusantara. Ditinjau secara
geografis, pada abad ke-5 sampai abad ke-14, letak Jambi amatlah strategis. Ini
menyebabkan Sriwijaya, Watu Galuh, Cola, Singasari, Majapahit bahkan
Tambralingga begitu berhasrat menguasai Jambi. Di samping alasan politis,
serangan-serangan terhadap Jambi (Malayu, Suwarnabhumi) mungkin sekali didorong
oleh motif ekonomi yang kuat.
Sesuai dengan namanya, Jambi adalah
negeri/tanah emas (Suwarnabhumi/Suwarnadwipa), sumber emas, sumber
kekayaan-kemakmuran. Menguasai Jambi adalah menguasai lalu-lintas perdagangan
laut transnasional. Boleh dipastikan, ongkos perang yang dikeluarkan dalam
rangka menaklukkan Jambi nantinya akan terbayar lunas. Bahkan, kerajaan
penakluk barangkali akan memperoleh keuntungan berlipat ganda.
Akan tetapi, justru karena letaknya yang
strategis ini, Jambi tampaknya hampir tidak pernah beristirahat dari perang,
khususnya perang mengamankan dan mempertahankan daerah teritorialnya terhadap
serangan yang datang dari arah mana saja. Dan karena faktor ini pula, sejak
paling kurang abad ke-13, sedikit demi sedikit Jambi mengalami kemunduran
drastis, hingga pecah berkeping-keping setelah politik ekspansi Majapahit, dan redup
sama sekali pada 1397.
Selepas tahun yang suram itu, nama Jambi
seperti benar-benar hilang dalam percaturan sejarah Asia dan Asia Tenggara,
lebih-lebih setelah Kerajaan Malaka menggantikan peran dan posisi yang pernah
dimainkan Jambi sebelumnya. Jambi, yang pernah selama paling kurang sembilan
abad menjadi subjek-pusat, semenjak abad ke-15 hingga setakat ini statusnya beralih
menjadi objek-pinggiran dalam kancah sejarah.
Namun demikian, kesedihan dan
penyesalan, juga kegembiraan dan kebanggaan yang berlebihan, yang boleh jadi
akan muncul dengan sendirinya setelah membaca buku ini, agaknya perlu ditunda.
Sebab, pendapat-pendapat Muljana yang terangkum dalam Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi tokh bersifat ilmiah. Pendapat-pendapatnya terbuka terhadap kritik
objektif dan antitesis positif yang datang dari pihak mana pun. “Sejarah,” kata
Kuntowijoyo “adalah ilmu yang terbuka”.[14] Kesimpulan-kesimpulan
sejarah Muljana terbuka akan kritik, dan karenanya, bersifat sementara dan
relatif. Tidak tertutup kemungkinan, kelak barangkali akan ada sejarawan yang
dengan argumentasi yang lebih logis-solid-valid menyatakan bahwa
Kuntala-Malayu-Suwarnabhumi tidak terletak di Jambi, tetapi di wilayah lain
tertentu.
Persoalan rentang masa berdirinya
Sriwijaya yang dikritik Muljana melalui buku ini membuktikan adanya sifat
terbuka dan sementara dari sebuah kesimpulan sejarah. Muljana sendiri, dengan
menerbitkan buku ini, telah memberi teladan yang baik. Sebagai ilmuwan, dia
berani dan tidak ragu maupun segan bukan hanya mengkritik teori ahli lain,
tetapi juga, hebatnya, mengkritik teorinya sendiri. Sudah dipaparkan bahwa Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi otomatis
menggugurkan teori lama Muljana yang ia tulis dan publikasikan pada 1960 dalam Sriwijaya.
Terlepas dari perkara filosofis-metodologis
itu, buku yang sudah sukar ditemukan di pasaran dan perpustakaan umum ini
sepertinya perlu diterbitkan ulang. Buku ini, apalagi bagi masyarakat (akademik)
Jambi, teramat penting untuk dibaca-ditelaah kembali. Tak ragu lagi, siapa pun
yang tertarik untuk merambah kajian kejambian, tepat apabila menempatkan Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi sebagai
ancang-ancang atau semacam peta perjalanan dalam rangka pengamatan yang lebih
spesifik dan mendalam.
Daftar
Pustaka
Adam, Asvi Warman. 2005. Walisongo Berasal dari Cina? dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di
Nusantara. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.
Cœdès, George. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia (KPG).
Cribb, Robert. 2000. Historical Atlas of Indonesia. Richmond: Curzon Press.
Kartodirdjo, Sartono, M. Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto (ed.). 1977. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Manguin, Pierre-Yves. 1989. Naskah dan Dokumen Nusantara VIII: A Bibliography for Srivijayan Studies.
Jakarta: EFEO.
Muljana, Slamet. 1981. Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu.
_____________. 2006. Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.
Reid, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatra: antara Indonesia dan Dunia. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakarta.
“Slamet Muljana”. http://id.wikipedia.org/wiki/Slamet_Muljana.
Diakses pada 24 April 2012.
[1]
Pierre-Yves Manguin, dalam A Bibliography
for Srivijayan Study, mencatat, Slamet Muljana telah menerbitkan enam
tulisan tentang Sriwijaya sejak 1968-1981, yaitu Kerajaan San-fo-ts’i (1968), Sriwidjaja
(1968), San-fo-ts’i (1970), A New Interpretation of I-Ts’ing Statement (1978),
Srivijaya’s Territorial Expansion in the
7th and 8th Centuries (1979) dan Kuntala,
Sriwjaya dan Suwarnabhumi (1981).
[2] “Slamet Muljana”, http://id.wikipedia.org/wiki/Slamet_Muljana,
diakses pada 23 April 2012. Lihat juga artikel Asvi Warman Adam bertajuk
“Walisongo Berasal dari Cina?” yang
merupakan kata pengantar terbitan ulang buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Buddha dan Timbulnya Negara-negara Islam di
Nusantara, hal. ix.
[3] Robert
Cribb, Historical Atlas of Indonesia,
(Richmond: Curzon Press, 2000), hal. 75-76.
[4] Sartono
Kartodirdjo, M. Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah Nasional Indonesia Jilid III
(Jakarta: Balai Pustaka, 1977), hal. 18.
[5] Perlu
diperhatikan, dalam penyajian data angka tahun kedatangan utusan Kuntala ke
negeri Cina, terdapat ketidaksamaan antara Kuntala,
Sriwijaya dan Suwarnabhumi dan SNI.
Muljana menyebutkan, utusan Kuntala datang untuk kesekian kalinya pada 519, dan
untuk terakhir kali pada 520. Sementara itu, penyusun SNI menulis, utusan
Kuntala datang untuk kesekian kalinya pada 518, dan untuk terakhir kali pada
563.
[6] G.
Cœdès, Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2010), hal. 90.
[7] Slamet
Muljana, Sriwijaya (Yogyakarta: LkiS,
2006), hal. 12.
[8]
Muljana, Sriwijaya..., hal. 54-63.
[9] Sartono
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia
Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I (Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta, 1999), hal. 2.
[10]
Muljana, Sriwijaya..., hal. 251.
[11] Sartono
Kartodirdjo, M. Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah..., hal. 53
[12] Anthony
Reid, Menuju Sejarah Sumatra: antara
Indonesia dan Dunia (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakarta, 2011), hal. 24.
[13] Sartono
Kartodirdjo, M. Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah..., hal. 4
[14]
Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah
(Tiara Wacana: Yogyakarta, 2008), hal. 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam