Puisi modern punya tiga konvensi primer,
papar Culler dalam Structuralist Poetics.
Pertama, puisi menghadirkan jarak (distance) antara penyair dengan pembaca.
Puisi beda dengan surat. Melalui surat, terjadi komunikasi lansung antara
penulis dengan pembaca. Penulis adalah aku surat dan pembaca adalah kau surat.
Rujukan “aku” dan “kau” di dalam surat jelas. Puisi tidak begitu. Komunikasi
puisi—jika kita yakin kalau puisi itu komunikatif—merupakan komunikasi tidak
langsung; komunikasi yang impersonal. Rujukan aku, kau, dan kata ganti lain,
atau yang berfungsi seperti itu—yang disebut deiksis, tidaklah jelas. Aku puisi
tidak serta-merta merujuk pada aku penyair. Ini analog pula dengan kata sapa
ibu, bapak, nama diri, dan semacamnya. Hubungan antara penanda dengan petanda
dalam puisi tidak normal. Suatu penanda dapat mengacu pada petanda lain yang lazimnya
tidak dipasangkan dengannya. Di sinilah kita menyaksikan betapa “nyeni”-nya
puisi itu, dan betapa ia bisa bikin putus asa pembaca untuk memahaminya.
Kedua, puisi adalah keseluruhan yang
organik; totalitas yang harmonis. Puisi, walaupun kelihatan acak-acakan,
memiliki koherensi internal. Satu bagian dengan bagian yang lain saling
menopang dan menunjang membangun sebuah makna organik. Kita sering mengistilahkan
makna organik itu dengan “tema”. Pembaca puisi mengasumsikan, puisi tidak
mungkin mengandung kontradiksi internal. Judul, misalnya, tidak mungkin
mengkhianati tema. Tipografi pun diharapkan sejalan dengan tema. Jadi, puisi,
dalam hal ini puisi modern, boleh dibilang sebagai suatu sistem. Puisi adalah
konstruksi yang kokoh. Tugas pembaca, bukan pembaca biasa tentu, adalah
menemukan makna organik sebuah puisi, dan menguraikannya dengan teratur dan
fasih. Konvensi ini sudah dikritik dan direlatifkan oleh dekonstruksi yang
kurang-lebih ingin menyatakan: sebagai teks, konstruksi puisi tidak kokoh. Puisi
adalah rumah rapuh yang mudah roboh. Bagian yang satu, setelah diselidiki
benar-benar, ternyata menyangkal bagian yang lain. Tidak ada tema final. Yang
ada hanya tema sementara, bahkan tema-tema sementara. Tema puisi tidak tunggal,
tetapi jamak. Dekonstruksi memandang, kejamakan tema ini adalah potensi yang
dikandung oleh teks puisi itu sendiri. Sedangkan dalam pandangan semiotik,
kejamakan tema dimungkinkan oleh hubungan dinamis saling pengaruh-mempengaruhi
antara penulis, teks, dan pembaca.
Ketiga, puisi berisi tema yang menduduki
tempat sentral dalam pengalaman manusia. Karena itu, tema puisi modern
ndakik-ndakik. Tema yang mengharukan, kata Chairil Anwar. Cinta, kematian,
harapan adalah contoh tema yan mengharukan. Dalam beberapa puisi, tema yang
ndakik-ndakik itu dinyatakan dengan gamblang. Tetapi, kebanyakan puisi tidak
menyebutnya secara eksplisit. Nah, dalam menguak tema yang tersembunyi inilah
pembaca jadi punya peran yang teramat penting. Pembaca menyematkan harga
terhadap puisi yang tampak murah atau murahan. Pembaca memberi makna terhadap
puisi yang dikira tak berarti. The
pursuit of sign, mencari makna, itulah tugas pembaca. Culler juga menulis buku berjudul The Pursuit of Sign.
Demikian disarikan paparan Culler tentang
konvensi puisi modern. Tiga konvensi primer ini masih bisa kita persoalkan.
Konvensi kedua sudah dipersoalkan oleh dekonstruksi. Konvensi pertama menjadi
bermasalah karena ada penyair yang menulis puisi seperti menulis surat; atau,
puisi itu memang ditulis sebagai surat yang akan disampaikannya kepada orang
tertentu, misalnya kekasihnya. Aku puisi, dalam puisi yang surat tersebut,
adalah aku penyair, sedangkan kau puisi adalah kau pembaca. Referensi arti kata
ganti jelas. Tidak ada jarak antara penulis dengan pembaca. Komunikasi puisi
terjadi secara langsung dan lurus, tidak melengkung, melingkar-lingkar, atau
berputar-putar. Memang pembaca tetap dapat menganggap puisi yang surat itu
sebagai puisi modern pada umumnya. Dan itu adalah hak pembaca. Konvensi ketiga
juga tidak selamat dari masalah. Oleh gerakan puisi mbeling ditunjukkan, puisi
tidak mesti dan tidak selalu menghadirkan hal yang ndakik-ndakik. Dalam puisi boleh
diungkapkan dengan enteng dan tanpa beban perihal sempritan, sikat gigi,
kerokan, dan lain sebagainya. Tetapi lagi-lagi memang pembaca dapat menganggap
puisi seperti itu sebagai puisi modern yang menyembunyikan tema ndakik-ndakik.
Pembaca dapat memaknai sempritan sebagai hipokrisi, sikat gigi sebagai
humanisme, kerokan sebagai relativitas kebenaran manusia.
Yogyakarta,
Jumat, 18 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam