I
Kamdi
boleh bertepuk dada. Dan nyatanya, itu memang dilakukan Kamdi, baik secara
kiasan maupun harfiah. Sahibul hajat tentu puas dengan hasil kerjanya hari itu.
Apabila kelak menyelenggarakan hajat lagi, ia pasti akan membeli jasa Kamdi
lagi. Ia pasti akan menceritakan kasuksesan Kamdi hari itu kepada tetangganya,
teman-temannya, kepada orang sekampung.
Reputasi
dan popularitas Kamdi akan pulih. Kamdi akan bergelut dengan pekerjaannya yang
dulu, sebelum bekerja sebagai buruh karet. Problem-problem ekonominya yang
tergawat akan segera teratasi. Hari depanku pasti cerah, pikir Kamdi,
optimistis dan percaya diri. Terbayang rumah bata yang diimpikannya, lengkap
dengan perabotan yang perlu-perlu dan bagus-bagus dan mahal-mahal, ditambah
sebuah sepeda motor baru yang terparkir di halamannya. Kamdi pun sesumbar,
“Bagiku, urusan atur-mengatur hujan, soal kecil belaka. Apalah arti cuaca
bagiku.” Kamdi yakin, ia bakal segera jadi orang kaya, mimpinya sejak kecil
yang sampai waktu itu belum kesampaian.
Dan
Kamdi berjalan hilir-mudik di belakang panggung organ tunggal dengan kepala
yang mendongak, bahu yang terangkat tinggi, dada yang dibusung-busungkan, juga
dengan langkah kaki yang sengaja diseretnya, srek-srek-srek bunyinya. Sungguh
berisik dan tak nyaman didengar sebenarnya. Untung saja, bunyi srek-srek-srek
itu dikalahkan oleh gelegar organ tunggal yang kadang-kadang sampai
menggetarkan tiang panggung tempat biduan bernyanyi dan berjoget.
Kamdi
kemudian berjalan menuju bagian belakang rumah sahibul hajat. Dipantaunya atap
rumah yang terbuat dari genting merah. Di atasnya beberapa helai bra dan celana
dalam wanita yang berserakan masih terjemur aman. Belum ada maling jahil yang
mengambilnya. Ah, siapa pula manusia primitif yang menyaru mengambil sandangan
bekas dan sronok itu. Ini kan zaman modern, Bung! Abad teknologi dan informasi.
Sekali lagi Kamdi memantau atap, sekadar untuk memastikan.
Pandangannya
lalu dinaikkannya, diarahkan pada langit. Matahari sedang berada tepat di atas
ubun-ubunnya. Langit tampak lapang. Biru dan cerah. Gerumbulan awan putih
melintasi langit pelan-pelan. Beberapa di antaranya menyerupai citra tertentu.
Langit mengeluarkan aura magisnya, merangsang mekarnya rasa bangga, rasa puas,
dan rasa gembira di hati Kamdi. Kamdi menarik kedua ujung bibirnya ke atas.
Tersenyum. Dan mengangguk-angguk.
Ketika
sampai di salah satu pojok rumah sahibul hajat, Kamdi kembali
mengangguk-angguk. Dupa yang pagi tadi dibakarnya belum mati. Asapnya mengepul
tipis, membumbung ke atas, meliuk-liuk gemulai dimainkan angin. Mulutnya
komat-kamit merapal mantra. Terdengar bagai igauan, atau gumaman. Tangannya
bersedekap, persis bersedakapnya orang sembahyang. Tegaknya kokoh, tenang dan
khidmat. Selesai bermantra, Kamdi membatin, “Aku memang hebat. Coba, cuaca saja
patuh padaku. Hujan saja bisa kusuruh-suruh. Tidak ada yang dapat menyaingi
ngelmu dan kemampuanku.”
Prak.
Wadah dupa pecah terbentur tembok rumah setelah tertendang kaki anak kecil yang
berlari buta karena dikejar temannya. Setelah tendangan yang mengolengkan
kesadaran Kamdi tersebut, anak kecil itu terus saja berlari, tertawa-tawa pula,
seperti sengaja menertawakan Kamdi. “Bocah setannnn,” Kamdi mengumpat.
Orang-orang
di sekitarnya, yang dari tadi sibuk mencuci piring, menoleh ke arahnya. Mereka
hanya sempat mereaksi kejadian tersebut dengan tolehan karena Kamdi segera
mengembalikan kesadarannya sendiri, dan kepada mereka berkata, “Tidak apa-apa.
Tidak masalah. Anak-anak kalau bermain memang selalu kebablasan. Semua barang
mereka hancurkan. Lanjutkanlah pekerjaan kalian.” Walaupun ucapan yang berasal
dari mulut Kamdi itu terdengar tenang dan tenteram, tetapi sebetulnya kerusuhan
dan keresahan hati Kamdi belum lenyap, malah meluap-luap.
Dengan
pikiran kalut dan semrawut, Kamdi menukar wadah dupa yang pecah itu dengan yang
baru. Tanggannya bergetar waktu mengisi dupa dan kemenyan ke dalamnya,
menyalakannya. Merapal mantra. Tetapi, saat sampai pada pertengahan mantra,
komat-kamit Kamdi terhenti. Kamdi mengatupkan kelopak matanya lebih dan lebih
rapat. Keningnya berkerut. “Celaka, kenapa aku bisa lupa sambungan mantra ini.”
“Lha,
Kang Kamdi, sampeyan di sini rupanya. Tak cari-cari dari tadi.” Tegur-sapaan
sahibul hajat, Pak Parman, itu membuat Kamdi kontan membuka matanya, terkejut.
Pak Parman menepuk-tepuk punggung Kamdi. “Cek-cek-cek, sampean betul-betul wong
pinter. Ngelmu sampeyan ampuh. Ndak percuma saya panggil sampeyan hari ini.”
Pujian Pak Parman menyebabkan Kamdi terlupa akan masalah mantra tak rampungnya.
Pujian itu juga berhasil membuat Kamdi tersipu. “Terima kasih, Mas. Kalau hari
ini tidak hujan, itu cuma kebetulan.” Kamdi merendah.
Pawang
hujan profesional mesti pandai berbasa-basi, demikian prinsip Kamdi. Prinsipnya
yang lain, pawang hujan profesional harus mahir merahasiakan isyarat-isyarat
buruk yang muncul saat ia melangsungkan ritual. Dan kebanggaan Kamdi surut
seketika, berganti kegusaran. Ia teringat akan mantranya yang tak rampung
dirapal dan wadah dupa yang pecah itu. Bukankah dua hal itu merupakan isyarat
petaka yang dikirim oleh alam? tanya Kamdi kepada dirinya sendiri.
“Sampeyan
boleh berkata apa saja. Tapi bagi saya, pokoknya sampean itu hebat. Luar biasa.
Oalah, saya kok malah lupa. Saya mencari-cari sampeyan untuk mengajak makan
siang. Mari. Makanan terlezat yang kami olah sudah kami siapkan, spesial untuk
sampean. Mari…”
Mereka
berdua berjalan masuk ke dalam rumah. Pak Parman bergerak enteng dan luwes, bercerita
berkelakar. Kamdi bergerak kaku, membisu. Terjedut daun pintu yang tingginya
setelinganya. Memang, pintu belakang rumah Pak Parman rendah.
II
Sendirian
Kamdi duduk di lincak bambu yang terletak di teras rumahnya yang berdinding
papan beratap seng. Jarum 76-nya yang terakhir hampir habis dihisapnya. Kamdi
memandangi asap yang ia hembuskan sendiri. Ditiupnya. Seolah-olah dengan meniup
asap, Kamdi meniup bersih berbagai masalah yang mengepungnya dan menyesakkan
dadanya. Panas telah tak menyengat tetapi magrib masih jauh. Perutnya
berkeruyuk. Melilit perih. Hari ini ia hanya makan bergelas-gelas air putih dan
asap rokok itu. Istri dan anak-anaknya juga belum menelan sebutir nasi pun.
Benar,
istrinya belum makan nasi, apalagi minum obat. Itulah yang mencemaskan Kamdi.
Sudah tiga hari istrinya terbaring di atas dipan, hanya beralaskan tikar pandan
yang robek dan bolong. Kamdi belum tahu apa penyakit istrinya. Ia tak mungkin
memeriksakan istrinya ke puskesmas atau rumah sakit. Tiada lain di dalam
dompetnya kecuali KTP dan lipatan-lipatan kertas tak berharga. Televisi, radio
tape, kipas angin, semua perkakas elektronik sudah dijualnya untuk menyambung
hidup. Juga emas dan tanah warisan.
Terus
terang, Kamdi takut kalau-kalau istrinya kena penyakit mematikan, demam
berdarah atau muntaber misalnya. Setengah bulan lalu, keponakannya, yang
tinggal sekampung dengannya, meninggal karena demam berdarah. Tetapi kata
tetangga, muntah-muntah istrinya tak usah dicemaskan betul. Itu gejala sakit
biasa. Paling masuk angin atau apa. Pokoknya sakit biasa. Diagnosis tetangganya
yang tidak tamat SD itu tambah mencemaskan Kamdi. Soalnya, tetangga yang sok
tahu dan banyak bicara itu bercerita tentang saudara dekatnya yang dibunuh oleh
muntaber dan saudara jauhnya yang dimangsa oleh demam berdarah.
Kamdi
beranjak dari lincak, hendak menengok istrinya di satu-satunya kamar di
rumahnya. Menatap istrinya tertidur damai, Kamdi merasa sedikit terbebas dari kecemasan.
Tatapan Kamdi bergulir ke dinding depan dipan, di samping almari pakaian
plastik. Di sana tergantung seragam SMP Trimo, anak bungsunya, yang minggu
depan harus mendaftar masuk SMA. Duit lagi. Kamdi melenguh. Biaya masuk SMA
pasti tak murah. Kamdi berkhayal, ah, seandainya semua SMA gratis. Tidak ada
biaya pendaftaran, biaya SPP, atau biaya tetek-bengek lain. Seandainya.
Khayalan
tinggal khayalan. Andaian selamanya bukan kenyataan. Kenyataan yang dihadapi
Kamdi adalah, ia harus mendapatkan uang untuk mendaftarkan Trimo masuk SMA dan
untuk mengobati istrinya. Tetapi, dari mana uang itu akan didapatkan? Jelas
tidak dari langit. Tuhan belum sekali pun menurunkan hujan uang.
Melintas
wajah Pak Parman di dalam benaknya. Pak Parman ialah tengkulak getah karet,
orang terkaya di kampung kami. Rumahnya bertingkat. Mobilnya empat. Semua
anaknya kuliah di luar negeri, dua di Malaysia, satu di Singapura, dan satu
lagi di Belanda. Kebun karetnya puluhan hektar. Buruhnya 50-an orang. Kamdi
salah satunya. Kepada Pak Parmanlah Kamdi menjual panenan getah karetnya.
Kepada majikannya itu pulalah Kamdi biasanya berhutang.
Menurut
Kamdi, menghutang kepada Pak Parman bukan jalan keluar. Hutangnya kepada Pak
Parman sudah menggunung. Baru bisa dilunasi dengan dua atau tiga ton getah
karet. Untuk memperoleh jumlah panenan getah karet sebanyak itu, Kamdi harus
bekerja tanpa gaji selama dua atau tiga tahun. Tanpa gaji! Memikirkan itu, kepala
Kamdi berdenyut-denyut, tengkuknya mengeluarkan keringat dingin. Merinding.
Namun, apa boleh buat, malaikat penyelamat Kamdi sekeluarga hanya Pak Parman.
Terpaksa Kamdi berhutang lagi kepada Pak Parman.
“Kang,
sampeyan kan tahu, hutang sampeyan sudah banyak. Kalau saya kasih pinjaman
lagi, saya khawatir sampean ndak sanggup bayar. Jadi, maaf, kali ini saya ndak
bisa kasih sampean pinjaman.”
Mendengar
perkataan Pak Parman tersebut, Kamdi menunduk, tetapi ia merasakan darahnya
yang naik ke kepala dan jantungnya yang berdentam-dentum, sedangkan kedua
tangannya meremas udara sekeras-kerasnya. Kamdi tak menyangka, Pak Parman
setega itu. Setelah Kamdi merendah-rendah dan menghiba-hiba memohon pinjaman
untuk sekadar mengobati istrinya dan mendaftarkan Trimo masuk SMA, Pak Parman
malah menolak permohonannya dengan kata-kata yang demikian lugas dan tajam.
Padahal, Kamdi sudah berbulat pikir, berapa pun jumlah pinjaman yang diberikan
Pak Parman akan diterima dengan suka cita meskipun tidak mencukupi
kebutuhannya. “Orang kaya di mana-mana kikir. Tidak punya perasaan. Melupakan
dan menginjak saudaranya yang miskin. Mentang-mentang kaya!” batin Kamdi.
“Kang
Kamdi, saya ndak seperti yang sampean pikirkan. Penduduk sekampung tahu, saya ndak
tegaan orangnya. Saya memang ndak akan meminjami sampean uang. Itu akan lebih
menyulitkan kehidupan sampean. Ndak. Saya ndak akan meminjamkan uang, saya
hanya akan memberikan uang kepada sampean.”
Kamdi
mengangkat kepalanya. Kepalan tangannya mengendor. Mulutnya agak terlongo
sebelum ia berkata, “Memberi saya uang, Pak?”
“Ya.
Memberi sampean uang. Tapi ndak cuma-cuma. Saya dengar, sebelum pindah ke
kampung ini, sampean dulu pawang hujan ya? Tiga hari lagi, saya akan mengadakan
pesta pernikahan anak saya yang pertama. Pawang hujan yang saya hubungi sakit,
ndak bisa pergi ke mana-mana. Bagaimana kalau sampean membantu saya
memperlancar pesta pernikahan besok? Uang yang akan saya berikan kepada sampean,
untuk membayar jasa mengatur hujan itu. Bagaimana, Kang?”
Kamdi
tak menjawab. Tak bisa menjawab. Situasi yang membingungkan tersebut belum lagi
ternalar olehnya.
“Diam
artinya bersedia. Saya kasih segini, buat panjar. Sisanya menyusul habis pesta.
Uang segini pasti lebih dari cukup untuk mengobati istri sampean dan
mendaftarkan Trimo. Kalau kurang, sampean silakan ke sini, mengambil sisanya.”
Pak Parman mengatakan itu sambil menyodorkan beberapa lembar seratusan ribu
tanpa memedulikan Kamdi yang masih duduk mematung termangu-mangu.
III
Pak
Parman tidak bohong. Hampir seluruh makanan yang menurut Kamdi lezat tersaji di
hadapannya. Ada opor ayam, nila bakar, sayur asam, rendang, dan beberapa jenis
makanan lain yang jarang benar dinikmati Kamdi. Siap santap. Ada pula beberapa
jenis minumam. Sirup, kopi, es jeruk. Tinggal pilih. Buah-buahannya pun boleh
dikata lengkap. Di sebelah kiri depan, ada pisang, jeruk, semangka, pepaya. Di
sebelah kanan depan, ada jambu air, mangga, dan entah buah apalagi.
Melihat
komposisi hidangan tersebut, Kamdi merasa dijamu laksana raja. Justru penjamuan
yang di luar kebiasaan itulah yang membuat Kamdi kehilangan selera makan.
Rendang, makanan yang paling disukainya, tidak meneteskan air liurnya. Sedikit
pun tak berkeinginan melahap mangga atau semangka atau buah lain. Tak tahu
mengapa, Kamdi merasa tidak berhak memperoleh jamuan segila itu, gila menurut
ukuran Kamdi tentu. Bayangan wadah dupa yang pecah tertendang dan mantra yang
tak rampung dirapal masih berlalu-lalang dalam kepala Kamdi. Dan bayangan itu
membuatnya lebih tidak berselera makan.
Kamdi
mengambil nasi serta lauk-pauk dengan gerakan tangan yang berat setelah Pak
Parman menyilakannya. Di lidah Kamdi, rendang hambar rasanya. Semangka tawar.
Bahkan, es teh pun jadi pahit. Hanya rasa tak enak dengan sahibul hajatlah yang
membuat Kamdi memaksa diri berbasa-basi mengaku makanan ini lezat, buah itu
sedap, minuman ini segar, dibumbui dengan senyum dan tertawa yang tak jujur.
Pak Parman tampaknya sedang terlalu larut dalam kebahagiaan sehingga
kepura-puraan Kamdi tak tertangkap olehnya.
“Hujan,
hujaan, hujaaan,” teriak orang-orang di luar. Riuh-rendah. Berbalas-balas,
sambung-menyambung. Teriakan tersebut terdengar jelas oleh Kamdi dan Pak Parman
karena kru organ tunggal tengah istirahat untuk makan siang. Mestinya, teriakan
tersebut tak mengagetkan Kamdi sebab alam telah mengiriminya dua isyarat
kegagalan pekerjaannya. Tetapi, ternyata respon Kamdi terhadap teriakan itu
sama dengan respon Pak Parman: kaget.
Kamdi
tak berani memutar badannya ke belakang untuk memeriksa dengan mata kepala
sendiri melalui jendela apakah hujan benar turun atau tidak. Pandangan Kamdi
terpaku pada piring bekas makannya yang berada di depan kakinya yang dilipat
bersila. Kendati penasaran dengan reaksi Pak Parman, Kamdi takut melirik muka
majikannya. Tamat sudah riwayatku, simpul Kamdi. Tamat.
Sementara
itu, melalui jendela yang berada tak jauh di depannya, Pak Parman mengamati
lekat-lekat hujan deras yang tak diharapkan itu. Tamu-tamunya yang duduk-duduk
di luar tenda berlarian kocar-kacir kesana kemari mencari tempat berteduh.
Demikian pula saudara-saudara dan tetangga-tetangganya yang membantunya
menyelenggarakan pesta. Pak Parman lalu menyorotkan pandangan ke tubuh Kamdi,
dari rambut hingga kaki, dari kaki hingga rambut. Menatap jendela lagi. Menatap
Kamdi lagi. Jendela. Kamdi. Yang ditatap meng-keret, mengecil, tersudut,
tertusuk. Pak Parman bangkit dari duduknya, berjalan tergesa-gesa keluar rumah,
pergi meninggalkan Kamdi sendirian tanpa berkata apa-apa.
Jika
Pak Parman mendadak diam, sorot matanya terasa menusuk, kemudian pergi
menghilang entah ke mana, itu artinya Pak Parman marah besar. Kamdi mengenal
betul perangai Pak Parman yang satu ini. Kalau marah, Pak Parman tidak
mengumpat, menyumpah, atau melontarkan kata-kata makian yang kasar dan jorok, tidak
juga menggampar atau menampar orang yang ia marah kepadanya, tetapi diam dan
pergi menghilang, menjauhi sumber marahnya. Karena itu, wajar bila Kamdi jadi
semakin takut, cemas, dan putus asa.
Emosi-emosi negatif yang mengaduk-aduk batinnya menyebabkan Kamdi merasa letih dan lemas tak kepalang. Ia masih duduk, duduk lemas-lunglai di tempat itu, di depan aneka makanan dan minuman yang seperti turut merutuki dan mengutuki kegagalannya.
Kamdi
tidak menerima dengan tabah rutukan dan kutukan tersebut, tetapi
memproyeksikannya kepada hujan deras. Hujan deras keparat itu membuyarkan
segala angan-anganku, begitu Kamdi murka dalam hati. Kamdi tak jadi membangun
rumah baru. Mungkin tak pernah akan jadi. Tak jadi membeli sepeda motor baru.
Mungkin tak pernah akan jadi. Tak jadi membeli perabotan yang perlu-perlu dan
bagus-bagus dan mahal-mahal. Mungkin, mungkin tak pernah akan jadi karena di
kantong Kamdi hanya terselip selembar sepuluh ribuan.
Uang
panjar sebagai balas jasanya mengatur hujan sudah habis untuk mengobati
istrinya, untuk mendaftarkan Trimo, dan untuk bermain judi. Di meja judi, Kamdi
malah nombok, berhutang kepada lawan-lawannya. Ia berjanji kepada mereka,
hutang kalah judi itu akan dibayarnya setelah ia menerima pembayaran pelunasan
dari Pak Parman.
Namun,
hujan deras tentu mengubah pikiran Pak Parman. Pasti uang pelunasan itu tidak
bakal Kamdi terima. Dan nyaris pasti pula, besok atau lusa majikannya akan
memecatnya. Semua pikiran itu membuat Kamdi pusing. Dan tatkala memalingkan
kepala hendak menatap hujan deras lewat jendela, Kamdi hanya dapat menatap
gelap. Kesadarannya hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam