Adam
belum bisa memejamkan matanya, padahal malam sudah sangat larut. Di dalam
kepala Adam, hanya terdapat tujuh kata, sepeda, sepeda, sepeda, sepeda, sepeda,
sepeda, sepeda…. Ingatannya tertambat pada kejadian di sekolahnya tadi pagi,
saat jam pelajaran Bahasa Indonesia. Tidak seperti biasa, pagi itu Bu Mala
mendeklamasikan puisi yang bagi Adam bagus sekali, juga menyentuh sekali. Puisi
itu mengisahkan pengorbanan seorang ibu.
“Anak-anak,
tahukah kalian kenapa Ibu pagi ini mendeklamasikan puisi ini?” tanya Bu Mala
setelah selesai berdeklamasi.
Teman-teman
sekelas Adam sibuk dengan pikiran masing-masing. Ada yang berbisik-bisik dengan
teman sebangkunya. Ada yang diam, berusaha mencari jawaban. Adam juga diam.
“Anak-anak,
Ibu membaca puisi ini karena pada bulan ini, bulan April, kita memperingati
Hari Ibu. Nah, pada Hari Ibu besok, hadiah apa yang akan kalian berikan untuk
ibu kalian?”
Kelas
hening sejenak.
“Baju
baru, Bu” jawab Hendra, bersemangat.
“Bunga,
Bu. Bunga melati yang buanyak.” Lili menjawab tak kalah bersemangat.
Kelas
pun menjadi ribut. Anak-anak berebutan menjawab pertanyaan Bu Mala. Tapi Adam
masih diam. Bingung menentukan hadiah yang akan diberikannya untuk ibunya. Bu
Mala, yang mengamati gelagat Adam, bertanya: “Adam, hadiah apa yang akan kamu
berikan untuk ibumu? Tidak tahu?” Adam mengangguk lugu. “Pernahkah ibumu
mengutarakan keinginannya kepadamu?” Adam mengangguk, lagi-lagi dengan lugu.
“Apa yang ibumu inginkan?”
“Sepeda,
Bu. Ibu ingin sepeda.”
Ibu
Adam menginginkan sepeda baru. Dengan sepeda itu, ibu akan dapat menjajakan
gorengannya hingga ke luar kampong. Ibu akan lebih banyak memperoleh rejeki.
Dan Adam ingin memberi ibunya hadiah berupa sepeda baru agar keinginan ibunya
terwujud. Namun, Adam tak punya uang. Tidak sempat menabung. Uang jajannya
pas-pasan, kadang-kadang malah kurang. Dari mana aku memperoleh uang untuk
membeli sepeda? Itulah yang menjadi pikiran Adam sekarang. Mungkin karena telah
letih, Adam akhirnya tertidur. Dalam mimpinya, Adam melihat ibunya menaiki
sepeda baru sambil tersenyum.
***
Adam
menceritakan keinginannya kepada Rina, teman sekelasnya. Ia juga menceritakan
kesulitannya memperoleh uang untuk membeli sepeda baru.
“Itu
gampang,” ujar Rina.
“Gampang?”
tanya Adam keheranan.
“Iya,
gampang. Ayahku kan punya restoran. Kamu bisa kerja di restoran ayahku. Nanti
aku bilangin ke ayah.”
Ayah
Rina sebenarnya tidak sampai hati memperkerjakan Adam di restorannya. Adam
masih kecil, masih sekolah SD. Tapi, karena dipaksa oleh anaknya yang manja,
Ayah Rina membolehkan Adam bekerja di restorannya. Pekerjaan yang diberikan
sangat ringan sekali, hanya mengelap meja makan. Gaji per hari yang diberikan,
besar. Jika tak dipaksa oleh anaknya, ayah Rina sebenarnya ingin memberikan
uang gaji itu secara cuma-cuma kepada Adam, tanpa memperkerjakan Adam.
Adam
menikmati hari pertamanya bekerja. Hari kedua dijalaninya dengan semangat. Hari
ketiga demikian pula. Memasuki hari kelima, mendung di wajah Adam mulai tampak.
Uang yang dikumpulkannya belum cukup untuk membeli sepeda. Padahal, Hari Ibu
tinggal satu hari lagi. Adam masih harus bekerja seminggu lagi agar uangnya
cukup. Melihat laci uang yang terdapat di restoran tempatnya bekerja, pikiran
jahat Adam muncul.
“Adam,
ambil saja uang itu. Uang yang ada di laci itu pasti cukup untuk menggenapi
uang yang telah kau kumpulkan. Ambil saja uang itu biar kau bisa membeli
sepeda. Ambil saja uang itu, mumpung tak ada orang,” demikian setan membisiki
Adam.
“Jangan
Adam. Jangan diambil uang itu. Itu bukan uangmu. Berdosa kalau kau mengambil
uang itu,” bisik hati nurani Adam.
“Jangan
dengarkan dia, Adam. Acuhkan nasihatnya. Ambil saja uang itu. Kalau kau tak
mengambilnya, kau tak akan bisa membelikan ibumu sepeda. Kau akan jadi anak
durhaka!” tangkis setan yang bersemayam di dalam hati Adam.
Adam
tidak mau menjadi anak durhaka, lagi pula Adam ingin, amat ingin, membelikan
ibunya sepeda. Adam berjalan berjingkat-jingkat mendekati laci, membukanya
pelan-pelan, mengambil uangnya selembar demi selembar.
“Adam,
kamu lagi apa?” tegur Ayah Rina.
Adam
kaget. Berlembar-lembar uang yang dipegangnya buyar, jatuh berhamburan ke
lantai. Wajah Adam memucat. Ayah Rina mendelik, marah-marah kepada Adam dengan
suara mengguntur.
Setelah
Adam meminta maaf, mengakui kesalahannya, dan menyatakan alasannya kenapa
mencuri uang, marah Ayah Rina surut. Ayah Rina justru kasihan dengan Adam dan
ingin membantu Adam.
“Oh,
jadi begitu? Kenapa itu tidak kamu katakan dari kemarin-kemarin?”
Adam
tidak mengerti dengan pertanyaan Ayah Rina.
“Kalau
kamu mengatakannya sejak kemarin, saya pasti memberimu gaji yang lebih besar.
Kamu tidak perlu bekerja berminggu-minggu. Kamu hanya perlu bekerja dua atau
tiga hari saja untuk mengumpulkan uang itu.”
“Baiklah.
Tenang saja, Adam. Nanti, biar sepeda itu saya yang beli. Anggap saja itu
sebagai hadiah untukmu karena kamu telah berani mengakui kesalahanmu. Tapi
ingat ya Adam, kamu jangan mengulangi kesalahanmu lagi. Jangan pernah mencuri
lagi…”
Adam
mengangguk.
***
Ketika
melihat ibunya tersenyum, Adam merasa menjadi orang yang paling bahagia sedunia.
Dan kebahagiaan Adam semakin membuncah ketika ibunya mengucapkan terima kasih
kepadanya, terima kasih untuk sepeda yang diberikan Adam.
“Ibu
senang sekali mendapat hadiah sepeda baru ini, Adam. Senang sekali. Ibu bangga
sekali punya anak seperti kamu. Tetapi Adam, kamu jangan mencuri lagi ya. Ibu
sudah mendengar semuanya dari Ayah Rina. Bila kamu berhasil mencuri, dan uang
hasil curian itulah yang kamu pakai untuk membeli sepeda, ibu pasti akan sangat
bersedih.”
Mendengar
ucapan Ibu tersebut, Adam tertunduk.
“Jangan
merasa bersalah lagi. Kan kamu tidak jadi mencuri. Ibu menghargai usahamu. Ibu
pun sangat berterima kasih atas sepeda ini. Sepeda ini bakal banyak gunanya
bagi Ibu. Tapi Adam, kamu tahu, hadiah apa yang paling ibu inginkan?”
“Tidak,
Bu.” Jawab Adam, polos.
“Hadiah
yang paling Ibu inginkan adalah, kamu menjadi anak yang baik. Menjadi anak yang
baik artinya kamu harus menjadi orang yang jujur, yang amanah, yang tidak mau
mencuri. Adam, kamu mau membahagiakan Ibu, kan?”
“Mau,
Bu.”
“Kalau
kamu mau membahagiakan Ibu, berjanjilah, kamu akan menjadi anak yang baik.
Janji ya, demi Ibu .…”
“Ya,
Bu. Adam janji. Adam akan jadi anak yang baik demi Ibu.”
Lalu
Adam dipeluk ibunya. Mata Ibu Adam berkaca-kaca. Pipinya dialiri air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam