Dunia Pasar Kembang tak sepenuhnya gelap. Cahaya spiritual menerangi lokasi prostitusi terkenal di Yogyakarta itu, meski dengan terang yang tak benderang.
MATAHARI sudah padam. Senjakala telah lama lewat. Lampu-lampu di sepanjang Gang 2 Jalan
Pasar Kembang, Sosrowijayan Wetan, Yogyakarta, berlomba memancarkan terang,
menghalau gelap malam. Juga lampu di beranda masjid Nurul Huda.
Malam
Senin (15/6) itu, waktu salat Isya hampir tiba, tapi masjid Nurul Huda masih
sepi. Di dalam masjid, hanya ada seorang ibu yang tertidur di area salat jemaah
perempuan. Selebihnya lengang.
Tapi
lengang yang sejenak. Sebab, tak lama kemudian, seorang bapak tambun berkopiah
haji, memasuki masjid, duduk bersender pada tiang berlapis marmer di depan
kanan mimbar. Seorang bapak lain yang tak kalah tua umurnya dibandingkan bapak
pertama, menyusul memasuki masjid. Lelaki bersongkok hitam, berbaju batik
cokelat, dan bersarung biru-pudar tersebut mendekati mikrofon. Mengumandangkan azan
Isya.
Hingga
ikamah diserukan, belum ada jemaah lain di dalam masjid. Kalau jumlah jemaah
salat bisa dihitung jari, itu wajar-wajar saja. Bukankah masjid Nurul Huda
terletak di Pasar Kembang, lokasi prostitusi terkenal di Yogyakarta? Namun
ternyata ada yang tak wajar. Sejak salat dimulai, satu per satu jemaah
berdatangan. Memenuhi saf pertama, membentuk saf kedua. Jemaah perempuan pun
berdatangan satu per satu. Membentuk saf pertama. Malam itu lebih dari 20 orang
mengikuti salat Isya berjemaah.
Setelah
mendirikan salat dengan khidmat, mereka pulang. Keluar dari masjid, mereka
disambut sebuah spanduk yang menghadap ke dalam masjid. Isinya: informasi
kegiatan masjid selama bulan Ramadan, antara lain salat Tarawih, sahur bersama,
dan buka bersama.
Semakin
menjauh dari masjid, suasana agamis semakin tak terasa. Berjalan dari masjid
menuju arah utara, saya menyaksikan sejumlah losmen, restoran, kafe, gerai
penukaran uang, juga outlet laundry. Pengunjung restoran dan kafe
kebanyakan bule. Ada satu dua warga yang duduk-duduk di tepi jalan, entah
membicarakan apa. Anak-anak mengerumuni penjual serabi keliling. Para pejalan
kaki, lalu-lalang. Lelaki dan perempuan. Berjilbab dan tak berjilbab.
Jika
suasana agamis masih terasa di Gang 2, di Gang 3 Jalan Pasar Kembang,
Sosrowijayan Kulon, suasana agamis itu tak terasa. Jika gapura Gang 2 cerah
oleh terang cahaya lampu, gapura Gang 3 tampak remang. Lampunya redup. Di timurnya,
becak-becak berjejer, menunggu penumpang. Di baratnya, orang-orang duduk di
angkringan, menikmati nasi kucing atau pisang goreng. Menyeruput segelas kopi.
Atau mengisap rokok.
Dekat tiang gapura, berdiri dua
perempuan berpakaian seksi: baju sebatas dada, celana sebatas paha. Sejurus
kemudian mereka masuk ke dalam gang. Beberapa lelaki, tua dan muda, dari arah
stasius Tugu, memasuki gang satu demi satu. Seorang perempuan muda yang juga
berpakaian seksi, turun dari sepeda motor, mencium tangan lelaki yang
mengantarnya, kemudian masuk pula ke dalam gang.
Setelah
lama duduk di angkringan, saya mengikuti jejak mereka. Masuk gang ini tak
gratis. Kepada pengelola yang berjaga di mulut gang, setiap pengunjung mesti bayar
Rp 2.000. Pengelola menerima uang, lalu memasukkannya ke dalam kotak kayu yang cukup
besar, mirip kotak amal.
Melewati
‘kotak retribusi’, terbentanglah pemandangan khas lokasi prostitusi. Dalam
keremangan, puluhan perempuan dengan pakaian membakar berahi, duduk berderet di
sejumlah kursi panjang yang terletak di kanan kiri gang. Bagai manekin yang
dipajang berjejer di etalase kaca toko pakaian. Rata-rata make-up
mereka berlebihan. Menor. Tapi ada juga yang merias wajah dengan bersahaja.
Yang ini cantik dan masih muda. Pasti diincar banyak pelanggan.
“Mas,
minta apinya,” terdengar suara genit perempuan dari sebelah kiri. Saya yang
berjalan sambil merokok untuk mengusir gugup, berhenti dan menoleh, kemudian
duduk di sebelahnya. “Minta apinya dong,
Mas,” ulangnya, masih dengan nada genit, sambil mengambil rokok dari tangan saya, menyulut rokoknya sendiri.
Habis
berbasa-basi, penulis meninggalkan perempuan yang mengenakan blus hitam ketat itu,
kembali berjalan menelusuri lekuk-liku gang, mengamati para pekerja seks
komersial (PSK) seperti pembeli mengamati barang dagangan.
Persis
seperti yang dilakukan para lelaki lain yang datang ke sana saat itu.
Mengamati, memilih, menawar. Bila harga cocok, mereka masuk kamar. Bila tidak,
mereka berjalan lagi, mencari PSK lain. Lorong demi lorong dijelajahi. Kursi
demi kursi disinggahi. Bebas memilih, asal punya uang. Mau yang tidak muda
lagi, ada. Mau yang muda, ada. Bahkan, yang muda belia, belasan tahun umurnya pun
ada. Mau hanya bercinta, bisa. Mau bercinta dan berkaraoke, juga bisa.
Kalau
mau berkaraoke, ada ruang khusus. Tak hanya satu. Dalam salah satu ruang
karaoke, seorang lelaki sedang duduk di sofa, berbicara dengan PSK-nya.
Sementara itu, PSK lain menyanyi dan berjoget di depannya. Begitulah, para PSK
di Pasar Kembang melayani pelanggan sesuai dengan job-nya masing-masing.
Mereka
berasal dari berbagai daerah. Ada yang asli Yogyakarta, ada yang berasal dari
daerah lain, misalnya Jawa Timur. Melati (bukan nama sebenarnya) tinggal di
Sleman, Yogyakarta. Bekerja di Pasar Kembang belum begitu lama. Bila bekerja,
Melati menitipkan bayinya kepada kerabatnya untuk diasuh. Sebetulnya, ia tak
tega menitipkan bayinya. Tapi apa boleh buat. Tak ada pilihan lain. Uang tak sekonyong-konyong
jatuh dari langit, sementara dapur harus terus mengepul.
Melati
mengaku mengalami tekanan batin. Ia pernah dihajar oleh ‘saingan bisnis’-nya.
“Saya balas, Mas. Saya tidak mau diperlakukan seperti itu,” bisiknya. ‘Saingan
bisnis’-nya, yang duduk tak jauh dari tempat kami duduk, terus mengawasi kami.
Ternyata, resiko bekerja di Pasar Kembang besar juga. Pasar Kembang rupanya
dunia yang keras. Ada persaingan dan konflik antar-PSK. Untuk merebut pelanggan,
ditempuhlah segala jalan, termasuk jalan kekerasan.
Irma,
PSK dari Jawa Timur, tampaknya tidak mengalami tekanan batin seperti Melati. Gayanya
bebas, tutur katanya blak-blakan, meluncur dari mulut tanpa beban. Dengan
lincah, Irma membalas gurauan saya. Tapi, entahlah, mungkin di balik itu
semua, Irma menyembunyikan sesuatu. Mungkin perih, mungkin sedih. Mungkin juga
duka atau luka.
“Berapa?”
“Seratus
lima puluh,” jawabnya pendek, sambil memainkan telepon genggamnya.
“Berapa jam?”
“Seperlunya,”
jawabnya, lagi-lagi pendek. Sejak tadi wajahnya tak menghadap saya,
melainkan menghadap warung makan yang ada di depannya. “Tidak main jam-jaman,”
tambahnya.
Ditawar
berkali-kali, Irma hanya menurunkan harga dua kali. Mulanya diturunkan menjadi
Rp 140.000, selanjutnya Rp. 130.000.
Penulis menawar lagi, tapi Irma sudah enggan menurunkan harga. Mempersilakan
mencari PSK lain. Saya bangkit, berjalan keluar dari Gang 3 yang kondisi dan
suasananya jauh berbeda dengan Gang 2.
Gang 2 dan Gang
3 ada di satu jalan: Jalan Pasar Kembang. Jarak kedua gang dekat, lebih kurang
100 meter. Keduanya dihubungkan lorong-lorong kecil. Meski begitu, gang 2 dan
gang 3 merupakan dua dunia yang kontras. Gang 2 terang, Gang 3 remang. Di Gang
2, anak-anak ramai bermain. Di Gang 3, tak kelihatan seorang anak pun. Di gang
2, ada masjid Nurul Huda. Di gang 3, mana mungkin ada masjid.
Terangnya
Gang 2 jadi penyeimbang remangnya Gang 3. Ramainya anak-anak di Gang 2 seolah
mengabarkan: di Pasar Kembang masih ada harapan dan kesucian. Banyaknya jemaah
masjid Nurul Huda seakan mewartakan:
cahaya spiritual juga menerangi Pasar Kembang, meski dengan terang yang
tak benderang.