Setelah komunisme ambruk,
sejarah mendapatkan tantangan baru: radikalisme Islam. Sejak tahun pertama alaf
kedua masehi, persisnya ketika menara kembar Wall Trade Center dirobohkan pesawat teroris, hampir seluruh media
global secara sinambung melaporkan aktivisime radikal umat Islam. Radikalisme
Islam kemudian menjadi semakin terorganisasi dan terlembaga dengan berdirinya Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).
ISIS, negara teror ini,
tidak saja bertanggung jawab atas rangkaian teror di negara-negara Eropa,
tetapi juga memaksa sejumlah besar rakyat Timur Tengah mencari suaka ke Eropa. Selain
menghancurkan umat Islam dari dalam, radikalisme Islam juga menggoncang kemapanan
dan keseimbangan tata demografis Eropa.
Radikalisme Islam pun
menjadi problem yang harus segera dicari solusinya. Keharusan dan kesegaraan
solusi atas problem kemanusiaan ini mendorong sementara kalangan menawarkan,
bahkan mengeksekusi, solusi yang reaktif: ISIS ditumpas dengan perang
kontra-teroris. Kenyataan menunjukkan, solusi reaktif seperti itu bukan
mengatasi masalah, melainkan memperkompleks dan mengamplifikasi masalah,
laksana memadamkan api bukan dengan air, melainkan dengan minyak tanah.
Radikalisme Islam memang
masalah mendesak, tetapi kita perlu berpikir dingin untuk mencari jalan
keluarnya, pertama-tama dengan menelusuri akar radikalisme. Mengapa radikalisme
Islam muncul? Mengapa perilaku beragama umat Islam menjadi radikal, sedangkan doktrin
Islam justru bertumpu pada kedamaian dan berorientasi pada kasih sayang? Pendek
soal: apa latar belakang sosial-historis ambivalensi umat Islam? Lebih menukik
lagi: apa faktor filosofis dari ambivalensi tersebut?
Artikel ini ingin menjawab
persoalan musykil itu dengan berangkat dari tiga pandangan. Pertama, pandangan Fazlur Rahman yang
memeriksa kebangkitan radikalisme Islam dalam konteks sejarah epistemik umat
Islam. Kedua, pandangan Amartya Sen
yang meletakkan radikalisme Islam dalam diskusi pascakolonial. Ketiga, pandangan Hannah Arendt tentang
banalitas kejahatan. Arendt, yang menggeluti filsafat politik, suntuk dengan
problematika Yahudi, dan meninggal pada 1970-an, jelas tidak menulis tentang
radikalisme Islam. Namun demikian, renungan filsafatnya dapat digunakan sebagai
kerangka untuk memahami radikalisme Islam hingga ke akarnya yang terdalam.
Pandangan Fazlur Rahman
tentang radikalisme Islam terasa mengejutkan. Pendapat mainstream menyatakan bahwa radikalisme Islam berakar pada karakter
agama Islam itu sendiri yang integral, holistik, dan total. Islam tidak
menerima sekularisme. Dalam Islam tidak ada pembedaan mana ruang kudus, mana
ruang sakral. Seluruh dimensi manusia berada dalam atmosfer kekudusan. Misi
Islam radikal untuk meniadakan negara sekuler dan mendirikan negara agama
berpangkal dari integralisme dan totalisme Islam.
Rahman, dalam Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (1982), menyodorkan pandangan yang berkebalikan.
Memang Islam merupakan agama yang integralistik, tetapi radikalisme Islam tidak
muncul karena karakter integral Islam. Radikalisme Islam justru dilahirkan
dalam lingkungan epistemik umat Islam yang bernuansa sekuler. Pada abad
pertengahan, era keemasan Islam, ulama klasik merumuskan konsep ilmu yang
dikotomistik. Mereka membelah ilmu, yang tadinya merupakan kesatuan, menjadi
dua kategori, yaitu ilmu umum dan ilmu agama. Diferensiasi epistemik itu
kemudian menjelma sebagai diferensiasi kosmik. Kalau dulu bagi umat Islam dunia
merupakan kesatuan yang bulat, sekarang dunia terbelah menjadi dua, yaitu ranah
umum dan ranah agama, ruang yang profan dan ruang yang kudus.
Ketika Islam berjumpa dengan
modernitas dan modernisme pada era kolonial, ruang profan mendesak ruang kudus
ke pinggir gelanggang. Modernisme Barat hadir, maju, memonopoli kesadaran
kolektif, kemudian mengalahkan agama. Karena itu, gerakan neo-revivalisme dan
neo-fundamentalisme bangkit, kemudian menyusun barisan untuk mengambil kembali
apa yang bagi mereka telah dirampas modernitas. Islam radikal mengumandakan
perang sabil, jihad, melawan Barat.
Dari uraian ringkas tentang penalaran
Rahman itu, terlihat bahwa pandangan Rahman yang sosial-historis berkaitan
dengan fakta kolonialisme Dunia Ketiga, yang sebagian besar merupakan wilayah
Islam, tetapi fakta kolonialisme tersebut bagi Rahman bukan akar utama dari
radikalisme Islam. Amartya Sen mengambil posisi yang berbeda. Sebagaimana
tampak dalam bukunya, Krisis dan
Identitas (2016), Sen meletakkan radikalisme agama terutama dalam konteks
pascakolonial. Kolonialisme Dunia Ketiga menimbulkan apa yang disebut Sen sebagai
dialektika berpikir kaum terjajah, paralel dengan apa yang disebut Bhabha
sebagai ambivalensi. Masyarakat pascakolonial bersikap ambivalen terhadap
(mantan) penjajahnya. Mereka membenci, tetapi sekaligus mengagumi, penjajah. Relasi
hate and love terjajah-penjajah ini
sejalan dengan terbentuknya inferioritas mental kaum terjajah di hadapan kaum
penjajah.
Akibatnya, relasi kedua
pihak tidak bisa sejajar dan setara, kaum terjajah senantiasa meletakkan
dirinya di bawah kaum penjajah, Timur memposisikan dirinya di bawah Barat.
Berhadapan dengan Barat, bahkan setelah penjajahan formal berakhir, Timur yang
terjajah, termasuk Islam, memperlakukan dirinya sebagai “Sang Lain”, musuh
abadi imperialis-kolonialis Barat. Radikalisme Islam adalah kelanjutan dari
dialektika berpikir kaum terjajah ini.
Walaupun berbeda pendapat
pada level permukaan, pada dasarnya Rahman dan Sen memandang radikalisme Islam juga
sebagai gejala filosofis. Itulah yang mendorong saya untuk menemui Hannah
Arendt. Setelah mengikuti persidangan Adolf Eichmann, penjahat perang kelas
kakap yang bertanggung jawab atas pembantaian jutaan orang Yahudi dalam Perang
Dunia Kedua, Arendt menulis laporan panjang, Eichmann in Jerusalem: a Report on the Banality of
Evil. Menurut Arendt, pandangan kita
tentang kejahatan selama ini perlu dikoreksi. Kejahatan tidak melulu bersifat
mitologis. Pelaku kejahatan tidak selalu terdorong oleh daya-daya satanik yang
melenyapkan akal sehatnya.
Kejahatan merupakan perkara
sehari-hari yang banal: lazim, biasa, dangkal, mekanis. Kejahatan terjadi
karena pelaku kejahatan tidak berpikir. Itu saja persoalannya. Tapi, perlu diperjelas,
berpikir dalam pandangan Arendt tidak bisa dilepaskan dari kemanusiaan.
Artinya, selama seseorang berpikir, selama dia mengambil kemanusiaan sebagai
pertimbangan dalam keputusan-keputusannya, dia tidak akan jatuh dalam tindak
kejahatan yang tidak manusiawi. Tapi, kalau tidak berpikir secara demikian, dia
akan jatuh dalam banalitas kejahatan. Pelaku kejahatan yang banal mengelak dari
tanggung jawab dengan berlindung dalam konsep atas-nama, dalam kasus Eichmann
adalah atas-nama negara. Dia mencuci tangannya dari dosa dengan air ideologi.
Karena itu, Eichmann tidak merasa bersalah atas kejahatan yang telah
dilakukannya, bahkan dia bangga dengan hal itu. Dia merasa telah menjalankan
kewajibannya secara hukum sebagai fungsi bagi negara.
Aksi terorisme, yang
dilakukan Islam radikal, adalah kejahatan jenis itu. Radikalisme Islam merupakan
sebentuk banalitas kejahatan. Teroris muslim tidak merasa bersalah, juga berdosa,
atas kejahatan yang telah dilakukannya. Bersandar pada ideologi, berlindung
dalam konsep atas-nama Tuhan, mereka bangga dengan aksi terornya, bahkan
memandang hal itu sebagai keharusan dan kewajiban. Aksi teror yang mereka
lakukan sebagai banalitas kejahatan terjadi karena mereka tidak berpikir
sebagai manusia. Memang mereka berpikir, tetapi bukan sebagai manusia pribadi
yang niscaya hidup dalam kebersamaan dengan manusia lain, melainkan sebagai
sekadar fungsi dari ideologi keislaman tertentu yang merupakan aplikasi dari tafsir
relatif atas sumber-sumber ajaran Islam.
Pertanyaannya, mengapa umat
Islam terkena kutukan banalitas kejahatan tersebut? Saya tidak berkemampuan,
juga tidak berpretensi, untuk memberikan jawaban. Saya hanya ingat bahwa dalam
dunia keilmuan Islam, filsafat telah secara programatik dipinggirkan. Jika
diamati secara hermeneutis, program peminggiran—saya lebih suka menyebutnya
pembatasan—filsafat harus diakui tidak dapat dituduh bersalah. Tapi, harus
diakui pula, program pembatasan filsafat tersebut telah menimbulkan dampak
kultural yang negatif, bahkan destruktif. Sikap anti-intelektualisme yang
dipegang mayoritas umat Islam sejak zaman pertengahan ternyata merupakan salah
satu faktor, di antara sekian faktor, yang membidani kelahiran banalitas
kejahatan Islam radikal, sebagaimana kebijakan anti-intelektualisme Hitler
turut membidani kelahiran banalitas kejahatan Eichmann.
Dengan demikian, untuk
menjawab persoalan radikalisme Islam, kita tidak bisa puas dengan hanya
menyebarkan wacana bahwa Islam merupakan kasih sayang bagi semesta, seraya merespons
problem ketidakadilan sosial dengan praksis teologi sosial. Untuk melengkapi
upaya-upaya tersebut, kita perlu mengembalikan Islam kepada kodratnya sebagai
agama akal dengan menghidupkan kembali gairah berfilsafat dalam Islam.
Dalam rangka membendung arus
radikalisme, sudah menjadi tugas kita untuk menyambut filsafat dengan tangan
terbuka dan merayakannya dengan suka cita, tentu tanpa meninggalkan kesadaran
dan menanggalkan kritisisme. Tentu juga dengan mengingat bahwa sebagaimana mata
memiliki batas pandang terjauh, akal pun memiliki batas pikir terjauh. Di
belakang batas itu, terhampar samudera misteri yang tidak terselami akal.
Perlulah mengerahkan segenap potensi akal untuk sampai pada batas itu agar kita
tidak terjatuh dalam banalitas kejahatan atas-nama Islam, juga agar pondasi
religiositas kita tidak rapuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam