Sejak paruh kedua abad
ke-20, gereja Katolik Eropa menghadapi tantangan besar: dekristenisasi. Gelombang
sekulerisme semakin tidak terbendung. Semangat ritualistik masyarakat Eropa
merosot. Geraja mulai ditinggalkan jemaat. Manusia modern menjadi semakin
skeptis terhadap agama.
Apakah skeptisisme manusia
modern hanya terarah pada agama Katolik saja? Ternyata tidak. Agama lain pun,
dalam hal ini yang berkarakter legalistik dan sistemik, yaitu Islam, menjadi
sasaran kritik, kalau bukan objek sinisme dan kebencian, sekurang-kurangnya
kecurigaan. Inilah barangkali yang menjadi bingkai paradigmatik sebagian
orientalis dalam mengkritik agama Islam dan mengkronstuksi citra Islam yang
serba negatif dalam diskursus akademik. Kritik manusia modern terhadap Islam
semakin menajam ketika peristiwa besar yang mengubah konfigurasi dunia Islam
terjadi: revolusi di Iran pada 1979. Bertolak belakang dengan visi yang sekian
abad, sejak era Renaissance, diperjuangkan manusia modern untuk menempatkan
agama di bawah kontrol negara, revolusi Islam Iran merobohkan tatanan negara
modern untuk kemudian meletakkan agama di atas dan sebagai dasar bagi negara.
Tentu saja, karena itu
manusia modern secara psikofilosofis menyikapi revolusi Islam tersebut, juga
gemanya ke seantero wilayah Islam, sebagai ancaman humanitas. Mereka takut,
sejarah bukan mengarah lurus maju ke depan meninggalkan masa lalu yang kelam,
tetapi mundur ke belakang ke abad pertengahan, kurun yang dalam literatur Eropa
disebut sabagai Dark Age, zaman kegelapan, ketika lembaga agama mengatur gerak
langkah kerajaan dengan kewenangan hampir absolut, kondisi yang mengantarkan
gereja dan kerajaan melakukan korupsi kolektif dalam tindak kezaliman terhadap humanitas.
Kebangkitan negara bangsa,
juga apologi filosofis atas keberadaannya, berakar pada trauma historis yang
dialami masyarakat Eropa akibat perselingkuhan gelap antara agama dengan
kerajaan pada abad pertengahan. Geraja memapankan teologi skolastik yang
mengawang-awang di langit metafisik dan jauh dari kerasnya kenyataan hidup
sehari-hari di bumi. Agama gagal menjalankan peran mesianistiknya untuk, dalam
ungkapan biblikal, memberi roti kepada orang-orang lapar. Agama menjadi tidak
berpijak pada realitas.
Sebagai respons atas
kemandulan dan kesontoloyan agama tersebut, sejumlah cendekiawan maju untuk
mengkritik agama. Sebab, setelah ditelusuri cermat, agamalah yang menjadi biang
kerok derita masyarakat. Terpangil oleh hati nurani dan akal sehat, mereka
menabahkan diri untuk siap menjadi martir seperti Socrates yang dihukum minum
racun karena kebenarannya, seperti nabi-nabi yang diusir dari kampung
halamannya bahkan dibunuh karena menyebarkan kebenaran, atau seperti teladan
agung mereka sendiri: Kristus yang rela disalib demi menebus dosa manusia dan
membangun kerajaan ilahi.
Martin Luther menawarkan proyek
reformasi, dengan mana lahirlah agama Kristen Protestan, suatu agama yang
dilandasi semangat modern dan berpijak pada realitas. Copernicus dan Galileo
membantah heliosentrisme skolastik dan menyodorkan geosentrisme saintifik.
Decartes mengganti kesadaran teosentris dengan kesadaran baru: antroposentrisme
yang berpusat pada pikiran. Poros sejarah bukan lagi Tuhan, melainkan manusia.
Pada kurun selanjutnya, Comte menyatakan bahwa agama hanyalah masa lalu bagi
umat manusia, sembari menegaskan bahwa sains positif adalah alat yang
diperlukan manusia modern untuk mencapai progresi. Jauh sebelum negara-bangsa berdiri setelah revolusi Perancis, Hobbes
menulis risalah Leviathan-nya: agama harus diperlakukan
sebagai alat bagi negara-kekuasaan dalam rangka mencapai stabilitas dan
kedamaian sosial. Feuerbach menyatakan bahwa Tuhan adalah proyeksi manusia,
tidak lebih dari sekadar imajinasi dan konsep belaka. Marx melihat agama, yang berada
pada ranah suprastruktur masyarakat kapitalis, sebagai candu bagi kelas
pekerja, juga sebagai perpanjangan tangan ideologi kapitalisme. Selanjutnya, Nietzsche
memproklamasikan kematian Tuhan, kemudian Freud mengkategorikan agama sebagai
gejala kegilaan.
Dengan kecenderungan
intelektual untuk mengeluarkan agama dari ruang publik dan mengurungnya dalam
ruang privat, bahkan menghapuskan keberadaan agama sekali pun dalam ruang
privat, tidak heran jika manusia modern membaca Islam-sebagai-teks hampir
selalu dengan pendekatan hermeneutika kecurigaan, lebih-lebih setelah Revolusi
Islam Iran, lebih-lebih lagi setelah terorisme al-Qaeda. Jadi, kritik manusia
modern terhadap Islam tidak saja disebabkan sikap sementara umat Islam yang
eksklusif dan radikal, tetapi juga dilatarbelakangi oleh trauma sejarah yang
mereka alami pada abad pertengahan.
Karena itu, untuk menepis
kecurigaan manusia modern terhadap Islam, selain harus menampilkan Islam
sebagai agama yang penuh kasih sayang, umat Islam pun harus memfungsikan agama
sebagai jawaban terhadap persoalan ekonomi-politik rakyat. Teologi memang
merupakan bangunan metafisis, tetapi ia perlu menunjukkan wajah praksisnya.
Bahwa ketuhanan merupakan continuum kemanusiaan, demikian pula sebaliknya,
perlu diterjemahkan dari sekadar konsep menjadi aksi. Fikih tidak tinggal diam
saat menyaksikan rakyat, umat Islam lapis bawah, menjadi korban kerakusan
kapital, yang seringkali menggunakan negara sebagai perangkat persuasif,
koersif, bahkan represif. Ulama berperan sebagai anjing galak yang menggonggong
apabila terjadi korupsi kekuasaan, bukan menjadi anjing yang menjilat kaki
tuannya: penguasa yang gagal menjalankan fungsi kekhalifahan sebagai
manifestasi kehambaan.
Ringkasnya, sebagaimana
garis besar ajaran Nabi Muhamad, di samping dituntut untuk kembali ke
khittah-nya sebagai agama kasih sayang, Islam pun harus tampil kembali sebagai
agama kerakyatan, yang memberi roti pada orang-orang lapar, atau dalam bahasa
hadits: memberi makan bagi orang yang lapar, memberi pakaian bagi orang yang
telanjang, memberi tempat berteduh bagi orang yang kehujanan, memberi tongkat
bagi orang yang buta. Persoalannya, sejauh mana saat ini Islam, khususnya Islam
di nuswantara, berpihak kepada rakyat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam