Siapa tak kenal Soekarno?
Dia proklamator Republik Indonesia. Salah seorang founding fathers bangsa kita, di samping Hatta. Oleh pemujanya—jadi
lebih dari sekadar pengagumnya—Soekarno diperlakukan sebagai raja, Ratu Adil,
bahkan dewa. Dewa kebal dari dosa. Dia tidak berada di luar lingkaran kebenaran.
Tapi, bagi korban-korban
politiknya, juga bagi para kritikusnya, Soekarno adalah manusia biasa.
Sebagaimana manusia pada umumnya, Soekarno ialah paradoks yang harmonis,
ambivalensi yang dinamis. Bukan saja tidak luput dari kesalahan, tetapi dia
kerap salah, walaupun motif tindakannya belum tentu salah.
Di antara semua kesalahan
Soekarno, ada jenis kesalahan yang jarang dibicarakan, yaitu kesalahannya dalam
berbahasa. Karena berbahasa identik dengan menalar, kesalahan berbahasa
Soekarno itu menjadi kesalahan berpikir juga.
Dia mengenalkan istilah berdikari, akronim dari berdiri di atas kaki sendiri, yang
kemudian menjadi jargon politik, salah satu jangkar konseptual ideologi
Marhaenismenya. Dengan menciptakan istilah itu, dalam satu jurus ujar, Soekarno
melakukan dua kali kesalahan berbahasa.
Pertama, dia mengbastrakkan apa yang konkret. Dia menciptakan kata yang
menyihir. Kata sihir yang mengandung sihir kata, digunakan dalam propaganda.
Tujuannya, memengaruhi audiens. Lebih lugasnya, menyetir audiens. Kata-kata,
apalagi yang abstrak, yang acuan indrawinya tak mudah dilacak, bisa menjelma sebagai
mantra jika masuk dalam gelanggang politik.
Terpukau kata berdaya sihir,
audiens tidak merasa perlu mengusut maknanya yang awal. Kata seperti itu diterima
begitu saja hanya karena terdengar hebat atau tampak gagah. Kata berdaya sihir,
berdikari misalnya, menjauhkan
audiens dari kritisisme. Politik bahasa Soekarno ini kelak ditiru penerusnya,
Soeharto, dengan hasil yang lebih efektif. Soeharto tahu betul, menguasai
bahasa adalah mengendalikan pikiran.
Kesalahan berbahasa kedua bukan lagi pada berdikari sebagai sebuah akronim, tetapi
pada frasa yang diakronimkan menjadi berdikari
itu: berdiri di atas kaki sendiri. Berdiri
di atas kaki sendiri adalah tindakan yang mustahil. Sejak dunia diciptakan
sampai dihancurkan kelak, berdikari tidak mungkin terjadi, kecuali kalau kita
mengamputasi salah satu kaki kita, kemudian kaki yang lain tegak di atas
bangkai kaki amputasian tersebut. Itu pun kita berdiri secara tidak sempurna.
Berdiri yang sempurna adalah berdiri dengan sepasang kaki, kanan dan kiri.
Mengapa Soekarno, dalam
kasus berdiri di atas kaki sendiri,
gagal berpikir logis? Barangkali, karena imajinasinya melambung kelewat tinggi
sehingga lepas dari kontrol logika. Penderitaan hidup yang panjang, dari
penjara ke penjara, dari pembuangan ke pembuangan, kadang menerbangkannya ke
langit khayal yang tinggi. Akibatnya, dia tidak selalu berpijak di bumi logika.
Dalam psikonalisis, gejala kegagalan berbahasa sekaligus kegagalan menalar yang
disebabkan tekanan kejiwaan adalah hal yang wajar.
Secara psikoanalisis,
sebagai manusia biasa, kesalahan berbahasa Soekarno bisa dimaklumi. Tapi
sebagai founding fathers, teladan
kebangsaan dalam hal berpikir—laku budaya paling elementer—kesalahan berbahasa
Soekarno tidak bisa, juga tidak boleh, dilupakan.
Walaupun artinya tidak
logis, maksud berdiri di atas kaki
sendiri cukup terang. Soekarno ingin rakyat Indonesia secara mikro, bangsa
Indonesia secara makro, mandiri dalam bidang ekonomi. Tidak bergantung kepada
siapa pun. Tidak didikte bangsa lain. Itulah syarat kemerdekaan hakiki, yang
pada gilirannya menjadi syarat keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.
Selama ekonomi kita dikendalikan bangsa lain, keadilan sosial dan kesejahteraan
rakyat hanya omong kosong.
Pada zamannya, gagasan
kemandirian ekonomi bangsa bukan monopoli Soekarno. Dalam hal ini, dia bukan
penemu gagasan jenial. Kemandirian ekonomi bangsa adalah episteme, visi kolektif kaum pergerakan nasional, sebagai antitesis
pengalaman kolonialistik.
Hatta bicara tentang
kemandirian ekonomi. Dia merintis dan mengawal gerakan koperasi. Ki Hadjar juga
mengajarkan kemandirian ekonomi. Kalau Soekarno menciptkan semboyan berdiri di atas kaki sendiri, Ki Hadjar
menggubah pepatah Jawa opor bebek mentas
awake dhewek, bebek opor mematangkan dirinya sendiri. Bebek yang sedang
dimasak opor, mengeluarkan minyak. Dengan minyak mandiri itu, bebek matang,
kemudian dientas sebagai santapan yang siap makan. Kita tak perlu memasak opor
bebek dengan minyak eksternal, seperti jika kita menggoreng ayam.
Agar sesuai dengan nalar,
frasa berdiri di atas kaki sendiri
perlu dimodifikasi. Hanya dimodifikasi, tidak diganti total, untuk menghormati
Soekarno dan pemikirannya. Modifikasinya: berdiri
dengan kaki sendiri. Dengan begitu, metafornya menjadi gamblang dan
berdaya.
Ada godaan metonimik dalam
frasa modifikatif tersebut: berdiri dengan kaki sendiri, bukan dengan kaki
orang lain. Berdiri dengan kaki sendiri, itulah berdiri yang sejati dan
sempurna. Jika kita sebenarnya mampu berdiri dengan kaki sendiri, tetapi
ternyata berdiri dengan topangan orang lain, kita sewajarnya dan seharusnya
merasa tidak percaya diri. Hal itu menunjukkan betapa jongkoknya mentalitas
kita. Saya yakin, persis begitulah Soekarno memahami semboyan berdikari-nya.
Dengan segenap
ambivalensinya, Soekarno membangunkan rakyatnya dari tidur keterjajahan. Dia menyalakan
api kemerdekaan yang lama padam dalam dada mereka. Lepas dari kesalahannya
dalam berbahasa dan menalar, juga dari dosa-dosa politiknya, kita berkewajiban
mengenangnya. Mengenangnya sebagai pejuang yang rapuh. Mengenangnya sebagai
manusia yang mengejar kebenaran, tetapi sesekali tersandung keteledoran,
sehingga terjatuh dalam kesalahan. Kita, yang sama-sama manusia, juga demikian:
ambivalen. Tanpa sadar, ambivalensi kita itu sering tampil dalam tindak
berbahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam