Teguh Ranusastra Asmara berpulang. Nama itu, saya sekadar tahu, belum kenal. Memang, dalam satu dua acara sastra saya pernah melihat beliau. Sekadar melihat dari jauh. Sebab, saya sadar, dalam jagad sastra Yogya beliau orang besar, sedangkan saya, ah siapalah, mengaku sebagai orang yang belajar menulis pun malu. Bermimpi menjadi penulis, saya tidak berani.
Pernah pula saya melihat
beliau di kantin Taman Budaya Yogya. Waktu itu beliau sedang berbicara dengan kawan-kawannya
yang seniman, sementara saya sedang beromong kosong dengan seorang sahabat.
Dari jarak cukup dekat, saya melirik-lirik beliau. Ingin rasanya berkenalan.
Tapi keinginan itu kandas oleh minder: saya bukan siapa-siapa, tidak punya
nama, tidak punya karya yang pantas ditunjukkan. Akhirnya, saya simpan
dalam-dalam keinginan tersebut untuk pada akhirnya dibiarkan raib.
Dari sembarang tulisan dan
tuturan yang kebetulan saya dapatkan, saya menyimpulkan bahwa Teguh adalah
orang besar. Namun, kurang dikenal di panggung sastra nasional. Beliau besar bukan
hanya karena karyanya, tetapi lebih karena kesetiaan dan keteguhannya dalam
berkomunitas sastra.
Pada 1960-an, setelah dunia
sastra kita tercabik-cabik oleh perkelahian Lekra melawan Manifes Kebudayaan,
sejumlah sastrawan muda Yogya diam-diam merintis jalan baru, barangkali untuk
keluar dari kemampetan dan kesumpekan kebudayaan itu. Umbu Landu Paranggi,
Ragil Suwarno Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, dan
beberapa nama lain membentuk Persada Studi Klub (PSK), komunitas sastra yang
kemudian menjadi rumah bagi sastrawan muda dan bakal sastrawan.
Bergerak dalam sunyi, jauh
dari gemebyar dan gemerlap panggung sastra nasional, komunitas ini
perlahan-lahan mengader sastrawan baru, seorang per seorang, angkatan per
angkatan. PSK menjadikan Malioboro, yang saat itu belum terasa gerah gersang
dan hampa hambar seperti sekarang, sebagai rumah kebudayaan, sebagai
universitas kehidupan. Tiga dari sekian banyak nama besar yang lahir dari rahim
PSK adalah Cak Nun, Linus Suryadi Ag., dan Korrie Layun Rampan.
Mengapa sebuah komunitas
sunyi ternyata melahirkan sastrawan-sastrawan besar? Marilah kita perhatikan
proses yang dipergulati orang-orang PSK, sebagaimana dikenang Iman Budhi
Santosa dalam puisinya, Orang-Orang
Malioboro 1969.
Orang-Orang Malioboro 1969
Rumah kami Malioboro
Mata kami Malioboro
Hati kami Malioboro
Buku kami Malioboro
Puisi kami Malioboro
Di antara debu, trotoar, dan
tahun-tahun kelabu
secarik kertas, berita dalam
sepotong koran bekas
pernah jadi teramat perlu;
di sini. Karena terik matahari
tak menjanjikan senja benar-benar
temaram
malam direngkuh sinar
rembulan
dan pagi pasti memuat
cericit burung gereja
mengeja lapar yang semalam
tertunda
tersangkut pada bentangan
kabel telepon di atas kepala kita
Di pojok stasiun Tugu, masih
melintas kereta demi kereta
sedang kami malah menyimpan
cemas dalam saku
dalam kata, dalam senyum,
ketika hanya secarik catatan
layak dibanggakan,
dipamerkan
pengganti ijazah yang
terlipat dalam angan-angan
Menyusuri Malioboro, pagar
tembok jadi bangku
taman dan pokok asam merangkai
sunyi
lebih indah dan santun dari
hening rumah sendiri.
Kadang ada debat, mengadu
kutipan-kutipan dari buku tua
menguji jejak pujangga,
menukar pena dengan tajamnya lidah
yang tak terukur oleh rumus
matematika
Ya, kami pernah di sini.
Menyaksikan lampu-lampu
menjelma mercuri, mengukur
panjangnya langkah
dari keraton hingga
pemberhentian ini
dengan baju lusuh, mulut
tabu mengaduh
tanpa sedikit pun berani
memandang langit
negeri berawan yang robek
dan belum terjahit
Bertahun-tahun kami mengais
remah cerita
yang bertebaran di kaki lima
sepanjang Senisono sampai
hotel Garuda
untuk bekal sabar mengolah
musim dan cuaca.
Bertahun-tahun kami
bertabrakan
dengan angin pesat dari
tenggara
yang membuat bibir retak dan
kering
namun, juga yang memberi
tahu bagaimana belajar menjadi batu
yang tak pernah lapuk dalam
terkaman waktu.
Bertahun-tahun kami menapak
bumi keras
menginjak duri, teriris
tatapan beringas
terpinggirkan bunyi klakson
terhalang bangunan toko,
tiang listrik,
dan pengemis yang terus
memohon.
Sungguh, kami tidak
berhenti, dan hanya berhenti
ketika puluhan kisah wayang
sudah tersimpan dalam hati.
Ketika sahabat bukan lagi
orang-orang sakti
tapi, juga tembok dan beton,
lukisan dan puisi
air comberan dan pemantik
api
Di Malioboro, kami pernah
menjadi bayi
pernah bertapa, sekaligus
bercinta
pernah menyerupai sampah
pernah belajar mengeja
pernah tak dikenal tetangga
pernah menghitung bintang,
mengikuti jejak tikus tua
membangun sarang yang nyaman
di bawah tanah kelahiran
kedua
bernama Yogyakarta
2009
Tak perlu saya tafsir, puisi
itu, dengan bahasanya yang tidak gelap, mengungkapkan banyak hal tentang proses
belajar sastra dalam komunitas PSK. Terkesan keras dan berat. Tapi, kawah
Candradimuka memang harus membakar Jebeng Tetuka agar menjelma Gatotkaca. Emas
memang harus berulang kali disepuh dalam api membara, berulang kali pula dipalu
dengan godam untuk menyapihnya dari suasa. Tanpa proses yang meluluh-lantakkan
benteng eksistensi pribadi, tidak mungkin lahir sastrawan besar. Besar bukan
hanya secara popularitas, tapi lebih secara kepribadian.
Walaupun tak perlu
ditafsirkan, dari puisi di atas, saya mencatat dua hal. Pertama, orang-orang PSK, ketika mereka berproses, ternyata tidak
lagi punya gantungan masa depan. Kesuksesan berkat pendidikan formal, tinggal mimpi
masa lalu. Mereka merasakan kerapuhan dalam menjalani proses bersastra.
Kebanggaan mereka bukan masa depan yang pasti atau telah dipastikan, tapi hanya
secarik catatan yang mungkin tak laku dijual. Akan nasibnya sendiri, mereka
merasa gamang.
Kedua, mereka saling menjalin persahabatan, persaudaraan, paseduluran, kekeluargaan. Dan bagi mereka, sahabat bukan hanya
orang-orang sakti, tokoh-tokoh yang telah punya nama, orang-orang yang telah
punya keahlian bersastra. Mereka juga bersahabat dengan siapa-siapa yang
dilupakan, direndahkan, disepelekan, dipinggirkan, dibuang, distigma buruk, dipandang
tak berarti, dianggap tiada: tembok, beton, lukisan, puisi, bahkan air comberan
dan pemantik api.
Semua benda tersebut, bagi
saya, adalah simbol yang menandakan orang-orang hilang yang tak diakui dan tak
dilirik. Mereka adalah korban dari keakuan dan keangkuhan kita, akhlak yang
lahir dari paradigma berpikir untung-rugi, dari watak saudagar.
Karena bersahabat dengan
orang-orang hilang, kita menyaksikan kehadiran orang kecil dalam karya
sastrawan PSK, dalam karya Iman, dalam karya Cak Nun, dalam karya Linus. Dalam
karya mereka, orang kecil tidak saja dimanfaatkan sebagai hiasan untuk
berpromosi, tapi dijunjung tinggi-tinggi sebagai pahlawan yang tak berniat
menjadi pahlawan. Dalam perjuangan hidup sehari-hari, orang-orang kecil itu seringkali,
atau malah selalu, kalah. Tapi, dalam kekalahan mereka tersembunyi kemenangan
sejati, suatu kemenangan mental dan spiritual.
Persahabatan yang merupakan lelaku
budaya itu, paseduluran itu, pada
gilirannya menumbuhkan visi kemanusiaan: dudu
sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan; bukan kerabat bukan keluarga,
jika mati ikut kehilangan. Orang lain, dia yang terpinggirkan, dilupakan,
direndahkan, bahkan dianggap tiada, adalah bagian dari diriku. Penderitaan
orang lain, yang kelaparan, sakit, dan terlunta-lunta di jalanan, adalah
penderitaanku juga. Mereka manusia, aku pun manusia. Kau tersayat, kata
Sutardji, aku berdarah. Kalau satu bagian tubuh sakit, kata Nabi Muhammad,
bagian tubuh lain ikut menderita.
Tanpa me-laku-kan jihad
besar untuk menekan keakuan dalam bermasyarakat, juga dalam berkomunitas, sukar
membayangkan terwujudnya idealitas kemanusiaan. Orang-orang hilang yang tidak
diperhatikan dan dipeluk mesra adalah gerombolan korban yang sedang menyiapkan
rencana balas dendam untuk mengobrak-abrik tatanan komunitas dari dalam. Secara
pasif dengan meninggalkan komunitas itu. Secara aktif dengan melancarkan
pemberontakan.
Sepanjang apa umur komunitas
ditentukan oleh seteguh apa perjuangan kita untuk menekan keakuan dan memeluk
mesra orang-orang hilang. Ketika atmosfer keakuan telah meliputi komunitas,
komunitas itu sesungguhnya telah hancur binasa, walaupun secara fisik masih
bertahan. Bagai jasad tanpa ruh. Adalah omong kosong berbicara tentang paseduluran dalam komunitas para saudagar.
Karena itu, dalam rangka
membangun dan melanggengkan komunitas dengan semangat paseduluran, orang-orang hilang mesti dihargai, betapa pun mereka
tampak tak berharga, tak berguna, tak berkemampuan. Komunitas, dari tataran
terkecil hingga tataran terbesar, yaitu negara, disangga bukan hanya oleh orang
sakti, apalagi oleh orang yang merasa sakti, tapi juga oleh orang-orang hilang;
dijaga bukan hanya oleh jati dan mahoni, tapi juga oleh rumput, semak belukar, dan
rumpun daun sikejut. Dalam Belajar pada Siang,
pada Malam, Iman Budhi Santosa menulis:
Aku belajar menghargai
rumput
semak belukar dan rumpun
daun sikejut
sebab, bukan hanya jati
mahoni
yang patut menjaga erosi
negeri ini
Lantas, dengan apa keakuan
ditekan? Salah satunya, dengan mengisyafi hakikat puncak. Di antara latar
belakang keakuan adalah nafsu untuk mewujudkan mimpi pribadi, dorongan gelap
untuk mencapai puncak kesuksesan pribadi. Selama mendaki menuju puncak kesuksesan
pribadi itu, kita hanya mendekati orang-orang yang kita anggap mampu mencapai
puncak atau telah mencapai puncak. Mereka yang tampak tak berkemampuan, kita
lupakan. Saingan yang tampak berpotensi menjegal jalan, kita singkirkan. Selama
mendaki menuju puncak, kita tanpa sadar menjatuhkan orang lain. Aku berhitung,
di puncak sana, tidak boleh ada orang lain. Di puncak sana, hanya akan dan
boleh ada satu orang: aku sendiri. Tidak seorang pun boleh lebih dariku.
Setelah mencapai puncak
sendirian, apakah aku menemukan kebahagiaan sejati? Sama sekali tidak. The winner, Coelho menyimpulkan, stands alone. Sang pemenang hidup
sendirian. Di puncak, dia mengalami kesepian yang menyiksa. Agar terhindar dari
siksa kesepian itu, juga agar kemounitas terbangun dan terjaga, kita perlu menihilkan
puncak dan memberinya makna baru, makna yang sesuai dengan harapan-harapan
kebudayaan. Itulah yang ditawarkan Suminto A. Sayuti, sastrawan cum kritikus sastra yang pernah
berproses dalam PSK, melalui puisnya yang berjudul Syair Puncak.
Syair Puncak
Jangan tanyakan puncak.
Mendakilah terus ke Utara
Karna puncak tak pernah ada.
Ialah kerendahhatian yang
diam tanpa suara
Maka kita pun dataran
rendah. Sepetak sawah bagi petani
kecil
Sejengkal kolam bagi
ikan-ikan mungil. Rimbun daun bagi
birahi sepasang burung.
Secercah cahaya bagi peja-
lan larut. Sebaris tawa bermakna.
Sebait puisi abadi. Tak ada
puncak ketika di ketinggian
Tak ada puncak ketika kemah
hunian kita dirikan dalam
diri
Yogyakarta, 2012
Petani kecil, ikan-ikan
mungil, sepasang burung, dan pejalan larut dapat dibaca sebagai simbol-simbol
yang melambangkan orang hilang. Bagi negara, suatu komunitas besar, mereka
tidak dipandang berarti, apalagi berharga. Tapi, bagi siapa pun yang telah
menginsyafi makna puncak, yang menyadari bahwa aku hanyalah dataran rendah,
mereka menjadi sangat berarti, sangat berharga.
Apalah artinya dataran
rendah tanpa petani kecil yang mengolah sepetak sawah, ikan-ikan mungil yang
berenang di kolam, sepasang burung yang meluapkan birahi dalam selubung rimbun daun.
Dataran rendah itu akan kelihatan gersang, lengang, tak indah, tak bermakna. Eksistensiku
sebagai dataran rendah ditentukan oleh eksistensi petani kecil, ikan-ikan
mungil, sepasang burung yang tenggelam dalam birahi.
Eksistensi pribadiku, selain
tentu eksistensi komunitas, ditentukan oleh eksistensi orang-orang hilang yang
adalah sahabatku, saudaraku, sedulurku. Ketika mereka tidak hadir, aku merasa ada
yang kurang. Ketika mereka tersayat, aku berdarah. Ketika mereka dipanggil
pulang oleh langit, aku merasa kehilangan. Dudu
sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan.
Itulah pelajaran kecil yang
saya petik dari sejarah komunitas PSK, model komunitas literasi yang pernah hampir
kehabisan penerus. Untuk memanggil kembali ruh komunitas PSK dan meniupkannya ke
dalam tubuh generasi sastra baru, juga untuk menggairahkan dan menyemarakkan
kehidupan sastra Yogya, beberapa tahun lalu PSK mengadakan reuni.
Punggawa-punggawanya, antara lain Cak Nun, Teguh, dan Iman, berkumpul.
Hasilnya, terbitlah majalah sastra Sabana,
mengambil nama rubrik sastra yang pernah dikelola Umbu, sang guru dalam PSK, tikus tua yang membangun sarang yang nyaman/ di bawah tanah kelahiran kedua/bernama
Yogyakarta.
Majalah itu menyediakan
ruang bagi pelbagai komunitas sastra di nusantara. Meski berperan nyata dalam
membangun kehidupan sastra kita, mereka bagaikan anak hilang, tak dipandang
dewa-dewi sastra Jakarta. Maka, Sabana
menjadi forum silaturahmi bagai pelbagai komuntas sastra, pelbagai sastrawan, entah
besar entah kecil. Majalah itu menjadi simbol paseduluran orang-orang sastra.
Sabana memperluas lingkup PSK, menyebarkan semangat paseduluran PSK. Semangat untuk menghargai tembok, beton, lukisan,
puisi, air comberan, dan pemantik api. Semangat untuk mengingat rumput, semak
belukar, dan rumpun daun sikejut. Semangat untuk memeluk mesra petani kecil,
ikan-ikan mungil, sepasang burung yang mabuk birahi, dan pejalan larut. Semangat
untuk menyapa orang-orang hilang, mengundang mereka, memberi ruang bagi mereka.
Sebagai anggota PSK, dalam proses
tersebut, terlebih dalam proses panjang perjalanan PSK sejak lahir hingga
sekarang, Teguh Ranusastra Asmara tentulah berperan penting. Sebab itu, Teguh adalah
orang besar dalam kancah sastra Yogya, juga kancah sastra nasional. Hanya saja,
beliau bergerak di bawah permukaan.
Sebagai sastrawan, mungkin namanya
tidak masuk barisan sastrawan yang karyanya terpampang dalam koran nasional,
tidak pula terekam dalam majalah sastra Horison. Tapi, atas segenap gerakan
sastra, artinya juga gerakan literasi, yang dijalankannya dalam sunyi, kita
mengenangnya sebagai pelampah kebudayaan. Untuk menyatakan rasa terima kasih
kepada beliau, kita mencatat nama beliau dalam ingatan bersama.
Terima kasih Pak Teguh,
selamat jalan….
Yogyakarta, 12 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam