Ahmad Tohari pernah menulis
sebuah cerpen berjudul Orang-Orang
Seberang Kali. Tokoh utamanya adalah kyai yang tinggal di suatu desa yang
religius, katakanlah kampung santri. Sebuah sungai memisahkan kampung santri
ini dengan kampung seberang sana. Tidak hanya memisahkan secara geografis,
tetapi juga secara kebudayaan.
Kalau penduduk kampung sang
kiai pada umumnya saleh, penduduk kampung seberang sana abangan, jadi awam
dalam hal agama, bahkan direndahkan sebagai orang bodoh. Warga kampung abangan
gemar berjudi sabung ayam. Seorang tokoh kampung yang kecanduan judi sabung
ayam, mengalami sakaratul maut yang ganjil. Sebelum nyawa lepas dari badannya,
dia bertingkah seperti ayam jago yang menang sabung: berkeliling halaman rumah,
mengepak-kepakkan tangan laksana jago mengepak-kepakkan sayap, lantas berdiri
tegap dengan membusungkan dada, mengumandangkan kokok kejayaan, setelah itu
tersungkur rebah ke tanah.
Adegan simbolis itulah yang
memikat saya ketika saya membaca cerpen tersebut pada kali pertama. Saya
menganggap cerpen itu ditulis dengan plot yang memuncak, dengan bagian akhir
sebagai simpul makna. Setelah saya renung-renungkan, anggapan terburu-buru ini
tidak tepat benar. Memang plot Orang-Orang
Seberang Kali memuncak, tetapi simpul maknanya tidak diletakkan di ujung, melainkan
di pertengahan cerpen, dengan adegan: sang kiai berjalan meniti jembatan pinang
yang melintang di atas sungai yang menghubungkan kedua tepinya.
Dengan meniti jembatan itu,
sang kiai sedang akan memasuki dunia yang lain, dunia abangan yang tidak selalu
sesuai, bahkan banyak berbeda, dengan dunia santri yang selama ini dihidupinya.
Dia sedang menyeberang dari dunia santri ke dunia abangan. Tapi, sebetulnya dia
tidak hanya menyeberang. Lebih dari itu, dia menghubungkan kedua dunia
tersebut. Jadi, peran dan fungsinya analog dengan peran dan fungsi jembatan
pinang yang menghubungkan dua tepian sungai, yang sedang dititinya. Sang kiai
adalah jembatan pinang itu sendiri. Atau, dikatakan secara terbalik, jembatan
pinang itu merupakan simbol bagi sang kyai, bagi kekyaian.
Pesan Orang-Orang Seberang Kali pun menjadi terang-benderang: kyai harus
menghubungkan dua dunia, dua kebudayaan, yang sukar bertemu, yaitu dunia santri
dan dunia abangan. Dia tidak boleh bersikap eksklusif dan isolatif dalam
kesantriannya, sembari meninggalkan dan menyalahkan kaum abangan. Seorang kiai
harus menjadi jembatan. Soalnya, kebanyakan kiai tidak mampu bersikap demikian.
Bagi mereka, santri adalah santri, abangan adalah abangan. Tidak ada jembatan. Abangan
dan santri selamanya musuh abadi.
Walaupun kenyataan berkata
demikian, imbauan simbolis Ahmad Tohari melalui cerpennya itu tetap mengandung
kebenaran. Kyai sudah seharusnya hidup sebagai jembatan, sebagaimana Baginda
Muhammad yang juga hidup sebagai jembatan. Pertama-tama jembatan spiritual,
selanjutnya jembatan sosial.
Pemimpin keagamaan yang
bertugas sebagai jembatan spiritual itulah yang oleh Nasr disebut manusia
pontifikal. Kata pontifikal berasal dari kata dasar pontifex, artinya jembatan. Langit dan bumi, keilahian dan
kemanusiaan, bagai dua tepi sungai yang terpisah. Harus ada jembatan yang
menghubungkan langit dan bumi, ialah manusia pontifikal, dengan mana umat yang
tinggal di bumi dapat menjalani kehidupan duniawi dalam rangka naik menuju
langit tertinggi.
Konsep Nasr tentang manusia
pontifikal, yang diperluasnya dari konsep al-insan
al-kamil Ibnu Arabi, berhenti pada aspek spiritual ini. Implikasinya,
manusia pontifikal tampil sebagai figur satu dimensi, sosok spiritual belaka,
yang seolah-olah tidak memiliki dimensi sosial. Padahal, justru dalam kancah
sosial-lah spiritualitas manusia pontifikal diuji. Kancah sosial akan
mengesahkan dan melegitimasi apakah seseorang berhak menyandang gelar kudus
manusia pontifikal atau tidak.
Mengapa Nasr luput
mengembangkan konsep manusia pontifikalnya secara sosial? Kalau didekati secara
hermeneutis, jawabannya berpulang pada biografi Nasr. Nasr lahir sebagai putra
seorang cendekiawan berjabatan tinggi dalam pemerintahan Iran pada zamannya.
Setelah memperoleh pendidikan terbaik di Iran, dia belajar di MIT, kemudian di
Harvard. Sepulang dari Amerika, Nasr segera memperoleh tempat istimewa dalam
lingkaran Syah Iran.
Pendeknya, secara sosial, Nasr
bagian dari masyarakat kelas atas, tepatnya kelas elit. Kemiskinan dan
kelaparan tidak menghantui masa kecil dan masa mudanya. Karena itu, jika konsep
manusia pontifikalnya berhenti pada tataran spiritual, itu wajar-wajar saja.
Realitas sosial yang keras berada di luar jangkauan horizon eksistensialnya.
Itulah yang membedakan Nasr
dengan pemikir lain senegerinya, Ali Syariati. Penulis Manusia Haji yang mati muda secara misterius itu mengembangkan apa
yang dalam lingkungan Katolik dinamai teologi sosial, dengan pendekatan
Marxisme. Proyek Syariati adalah menurunkan ke bumi doktrin teologi Islam yang
sebelumnya terbang melayang-layang di langit metafisis.
Bagi Syariati, Islam tidak
saja harus menjawab, tetapi sejatinya merupakan jawaban, problem sosial. Tapi,
di tangan ulama yang kehilangan etos sosial karena berbagai faktor, teologi
Islam menjadi tidak bermanfaat bagi kaum marjinal yang tertindas, kaum miskin
yang kelaparan, kecuali sebagai teodisi. Agama menjadi sekadar obat penenang
yang tidak menyembuhkan—sebagai candu, kata Marx.
Di belahan dunia Islam yang
lain, yaitu di Pakistan, proyek teologis Syariati digeluti pula oleh Asghar Ali
Engineer. Islam tidak bisa mengelak dari fitrah keberpihakannya kepada kaum
marjinal. Ia harus hadir sebagai kawan sekaligus pembela mereka. Di Indonesia, proyek
teologi sosial Syariati dan Engineer diterjemahkan dalam bentuk praksis oleh
Ahmad Dahlan dengan jalan dan gayanya sendiri.
Mbah Dahlan mendirikan
Muhammadiyah, kemudian membangun organ-organ operasionalnya, antara lain
sekolah, badan amal usaha, dan rumah sakit. Nama mula-mula rumah sakit
Muhammadiyah, Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU), menegaskan ruh sosial
teologi Mbah Dahlan. Sayangnya, setelah puluhan tahun ditinggalkan Mbah Dahlan,
Muhammadiyah semakin menjauh dari khittah-nya
sebagai institusi teologi sosial.
Kini Muhammdiyah cenderung
menjadi lembaga elitis yang tenggelam dalam ideologi kelas menengah. Mbah
Dahlan berpihak kepada kaum marjinal, sedangkan Muhammadiyah kontemporer
berpihak kepada kelas menengah. Mbah Dahlan menjadi jembatan yang menghubungkan
kaum kaya dan kaum miskin, sementara Muhammadiyah kontemporer terisolasi dan
eksklusif dalam elitismenya.
Kepada pemimpin Muhammadiyah
khususnya, juga kepada ulama pada umumnya, cerpen Orang-Orang Seberang Kali mengingatkan: agama, juga pemimpin agama,
bertugas sebagai jembatan sosial. Agama adalah jembatan yang menghubungkan
golongan santri dan golongan abangan, kelas menengah dan kelas bawah. Santri
modern pada umumnya berlatar belakang sosial kelas menengah, sedangkan wong cilik muslim pada umumnya berkultur
abangan.
Namun demikian, tugas
kejembatanan Islam tidak berlaku dalam ruang internal masyarakat Islam saja. Islam
pun harus menguniversalkan dan mentransendensikan dirinya dalam rangka mengambil
peran sebagai jembatan bagi agama-agama yang berseberangan. Pada zaman Nabi,
Islam menjadi jembatan bagi Nasrani dan Yahudi, dua agama abarahamik yang sukar
berjabat tangan dalam damai. Pada zaman wali, Islam di Jawa relatif berhasil
menjadi jembatan agama-agama, perihal yang menjelaskan mengapa Islam di Jawa
tampak sinkretis.
Akan tetapi, saat ini Islam
telah isolatif dan eksklusif, duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan
Nasrani, Yahudi, Hindu, Buddha, dan agama-agama lain. Umat Islam menghancurkan
jembatan religius yang telah dibangun leluhurnya kemudian membangun bentengnya
sendiri. Konsekuensinya, kerahmatan Islam bagi semesta selalu dan selalu
dipertanyakan.
Supaya kembali ke trayektori
kerahmatannya, Islam perlu kembali menjadi jembatan. Ulama perlu kembali
menjadi manusia pontifikal, baik dalam arti spiritual, lebih-lebih dalam makna
sosial. Meminjam terminologi Ghazali, ilmu mesti disertai amal. Mudah
dikatakan, tetapi pasti susah dilaksanakan, apalagi kalau kita mempertimbangkan
kondisi sosial objektif Islam saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam