Malam tidak kekal. Siang pun tidak hadir selamanya.
Setalah malam, datang siang. Sesudah siang, tibalah malam. Lanskap langit pun
berganti. Senja pergi selangkah demi selangkah. Matari turun panggung. Giliran
bulan menampilkan wajahnya yang cantik dan cemerlang. Di sekelilingnya,
bertebaran jutaan bintang.
Begitulah al-Quran memberikan amsal cakra manggilingan. Lakon kehidupan
bagai roda yang berputar. Yang berada di atas, tidak selamanya di atas. Yang
hidup, tidak selamanya hidup. Yang berjaya, tidak selamanya berjaya. Yang kuat,
tidak selamanya kuat. Yang pintar, tidak selamanya pintar. Yang cantik, tidak
selamanya cantik. Yang kaya, tidak selamanya kaya. Yang muda, tidak selamanya
muda. Malam tidak selamanya. Siang tidak selamanya.
Setiap makhluk punya batas akhir. Ajal akan datang.
Mati sedang menanti. Maut sedang menunggu. Makhluk tidak mungkin terbebas dari
sifat fana. Entah kapan, tapi pasti, makhluk bakal lenyap. Tiada satu pun
tersisa, kecuali ruh keabadian. Semua yang ada di muka bumi, pasti sirna. Yang
tetap ada, selamanya ada, adalah wajah-Nya.
Kasunyatan tersebut begitu jelas. Begitu tak tarbantah. Juga
begitu intim. Tapi pikiran kita sering mengembara terlampau jauh. Keinginan
kita sering terbang terlalu tinggi. Akibatnya, kita jadi kelewat berjarak dari
kenyataan.
Kenyataan berkata, siapa ada di atas, bakal turun.
Tapi kita menyangkal: saya pasti di atas selamanya. Saya akan jadi raja
selamanya. Saya akan jadi pejabat selamanya. Saya akan jadi figur terhormat,
selamanya. Saya akan menikmati status dan gengsi tinggi, selamanya. Ketika masa
demisioner datang, ketika masa pensiun menghampiri, kita pun terhenyak.
Ternyata, apa yang selama ini diyakini sebagai kebenaran, hanyalah sangkaan
belaka. Raja hanya jabatan sementara. Presiden, gubernur, bupati, camat, lurah,
juga hanya peran sosial sementara. Setelah seorang raja turun, dia digantikan
raja selanjutnya. Setelah siang berlalu, malam pun hadir. Setelah malam
rampung, siang pun memulai jejaknya.
Ibrahim bin Adham, sang guru dari Khurasan itu, pernah
ditegur keras oleh Khidr. Waktu itu Ibrahim menjabat sebagai raja Balkh.
Seorang musafir, entah dari penjuri bumi mana, sekonyong-konyong masuk istana,
langsung menghampiri Ibrahim yang sedang duduk di singgasana. Pakaiannya serba
sederhana. Dekil dan kotor.
“Hai musafir,” tanya sang raja “apa keperluanmu datang
ke istanaku?”
Tamu gelandangan itu menjawab, “Hamba butuh tempat
istirah. Hamba ingin menginap di sini, Yang Mulia. Sebentar saja. Barang
semalam dua malam.”
Ibrahim panas. Wajahnya memerah. “Kaukira istanaku
ini penginapan?”
“Lho, bukannya memang demikian, Paduka? Bolehkah
hamba bertanya?”
“Apa yang hendak kautanyakan?”
“Sebelum Paduka, siapa yang bersemayam di singgasana
yang sedang Paduka duduki itu?”
“Ayahku.”
“Sebelum ayahanda Paduka?”
“Kakekku. Itu sudah jelas.”
“Sebelum kakenda Paduka?”
“Buyutku.”
“Lantas, apa bedanya singgasana Paduka itu dengan
ranjang penginapan? Apa bedanya istana ini dengan hotel? Apa bedanya, Paduka?
Apa bedanya?”
Ibrahim terdiam, seketika termenung. Air matanya
mengaliri pipi. Dia baru ingat, raja hanya jabatan sementara. Hidupnya akan
khatam di liang lahat. Kemudian, anaknya dinobatkan sebagai raja baru. Dunia
tidak bisa, tidak pula mungkin, jadi sandaran hati. Sebuah tekad pun menyelinap
masuk ke dalam dada: mencari Yang Abadi, tonggak kokoh yang tak hanyut diseret
arus perguliran siang dan malam.
“Hai musafir, siapa sebenarnya Engkau?” tanya
Ibrahim, setelah tenggelam dalam permenungan.
Musafir itu hanya menjawab dengan diam. Lalu pergi
meninggalkan Ibrahim. Melangkah keluar dari pintu istana, entah ke penjuru bumi
mana. Ditinggalkan begitu saja, Ibrahim kembali tenggelam dalam lautan
permenungan. Dia merasa gersang. Dia mengalami kehampaan. Dia berhadapan dengan
rentetan pertanyaan oneng: untuk apa
kau melakukan semua ini? Apa makna kehidupan ini? Apakah untuk ini kau
diciptakan? Siapa engkau? Dari mana dan akan ke mana engkau?
Ibrahim kemudian melepaskan mahkota, juga jubah
raja. Mengenakan pakaian rakyat jelata, yang fakir dan gelandangan. Mendermakan
seluruh harta. Dia pun mengembara untuk mencari jawaban, mencari makna, mencari
hikmah, mencari Yang Abadi. Kota demi kota disinggahi. Gurun demi gurun
dilalui. Dari Balkh, dia berjalan hingga ke Mekah, akhirnya hingga ke Siria,
tempat ajal menjemputnya dengan lemah lembut. Ibrahim bin Adham, sebagaimana
manusia lain, sebagaimana makhluk hidup yang lain, akhirnya mati. Yang hidup,
tidak selamanya hidup. Entah kapan, tapi pasti, dia bakal mati. Tiada kehidupan
hakiki, kecuali Yang Maha Hidup.
Dalam setiap kematian, kita menyadari kefanaan diri,
mengingat Dia Yang Tidak Berajal. Dalam setiap kasunyatan, kita mengenal diri untuk mengenal-Nya. Begitulah
seharusnya. Tapi keharusan jelas bukan kenyataan sehari-hari.
Batara Darma pernah menguji putranya, Yudhistira.
“Apakah hal yang paling mengherankan di dunia ini?” tanya Batara Darma.
Perlahan, tenang, dan mantap, Yudhistira menjawab, “Hal
yang paling mengherankan di dunia ini adalah, setiap hari terjadi kematian.
Tapi, orang-orang tidak memikirkannya.” Kematian dianggap peristiwa massal yang
biasa, yang tak perlu dipikirkan. Tak perlu dipertanyakan, mengapa kehidupan
mesti diakhiri kematian. Tak perlu dipersoalkan, apa yang ada di balik dan di
belakang kematian. Hakikat kehidupan yang fana ini, tak perlu dipermasalahkan.
Kebanyakan orang memang bersikap demikian. Tapi
Chairil tidak. Dia bukan orang kebanyakan. Setelah neneknya meninggal, hatinya
galau bukan kepalang. Dia gelisah, seperti Camus gelisah, seperti Heidegger
gelisah. Kehidupan jadi terasa sia-sia. Absurd. Tak terpahami. Mengapa
kehidupan mesti berakhir dengan kematian? Apa makna kasunyatan ini? Maka, pada Oktober 1942, Chairil menulis puisi
pertamanya. Judulnya Nisan, sebuah
ode untuk almarhum neneknya.
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.
Chairil muda bingung, mengapa kehidupan neneknya,
perempuan yang sangat baik itu, mesti berakhir dengan kematian? Dan dia lebih
bingung lagi, mengapa neneknya menerima kematian, yang datang tiba-tiba untuk
merenggut seluruh kesenangan, dengan segala keridaan? Sejak neneknya meninggal,
selama tujuh tahun ke depan, Chairil bergumul dengan jalinan pertanyaan oneng tersebut. Apakah pada akhirnya
Chairil menemukan jawaban, kita tak tahu pasti. Sejarah hanya merekam, pada
1949 dia menulis Derai-Derai Cemara.
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Chairil akhirnya menyadari dan merasakan, hari memang
dan pasti akan jadi malam. Siang hari tidak hadir selamanya. Siang hari ada
batasnya. Sesudah siang, tibalah malam. Dahan pohon tidak selamanya kokoh. Pada
waktunya, dia akan merapuh, jatuh dipukul angin yang terpendam. Dedaunan yang
dulu muda itu pun sekarang mengering kemudian gugur. Dunia ini fana. Setiap
makhluk punya ajal. Dan bagi manusia seperti Chairil, ajal itu semakin lama
semakin menambah keterasingannya dari cinta sekolah rendah. Kepastian datangnya
ajal menyebabkan Chairil tidak dapat mencecap segenap nikmat kesenangan
duniawi.
Mengapa ajal datang, mengapa kehidupan berujung pada
kematian, tetap tak terjawab. Bagi Chairil, hal itu tetap jadi misteri, tetap
tidak diucapkan. Berhadapan dengan kematian, ternyata manusia tidak bisa
bersikap lain kecuali menyerah. Bendera putih dikerek naik ke pucuk tiang. Kita
pun mengaku kalah, tunduk, menyerah. Kita pun bersyahadat. Taslim, islam, tampaknya satu-satunya jawaban dari misteri
kematian, dari problem of evil, dari
segenap absurditas kehidupan.
Al-Quran menyatakan, islam adalah agama fitrah,
agama yang selaras dengan conditio humana,
juga dengan state of nature. Sejak
zaman Bapa Adam hingga kiamat kelak, hanya ada satu agama rohani yang dapat
kita jadikan pakaian untuk memuliakan pribadi, hanya ada satu agemaning aji, yaitu agama kemenyerahan,
kepasrahan, kesumarahan, ketundukan, keridaan. Itulah islam. Islam dalam
maknanya yang terdalam dan terdasar ini adalah ruh yang merasuk ke dalam jasad
semua agama formal.
Dan dengan jalannya sendiri, bermula dari
permenungannya yang intensif akan kematian, Chairil menemukan ruh itu. Dia
menemukan makna: hidup hanya menunda kekalahan puncak, sebelum pada akhirnya
kita sepenuh-penuhnya menyerah. Misteri kematian mempertemukan Chairil dengan
Tuhan. Berhadapan dengan-Nya, Chairil merasa seperti laron yang terbang memburu
api lilin, terjun ke dalam api tersebut, lalu terbakar habis di dalamnya. Dalam
Doa, Chairil menulis
….
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
….
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling.
Laron telah habis terbakar. Hilang bentuk. Remuk.
Fana. Tiada. Nol. Yang ada, satu-satunya yang ada, tinggal kerdip lilin di
kelam sunyi. Semua yang ada di muka bumi, pada hakikatnya fana dan pada
akhirnya akan sirna sama sekali. Yang ada, tinggal wajah-Nya, tinggal Dia
satu-satunya. Ketika laron tiada lagi, api lilin tampak nyata gamblang. Tidak satu
pun benda yang menghalangi pandangan mata kita. Ketika Chairil telah merasa
hilang bentuk dan remuk di dalam Tuhan, dia tidak bisa berpaling dari-Nya.
Dalam kesadaran akan kefanaan itu, disaksikanlah keabadian, Yang Abadi. Charil
telah menemukan-Nya. Diam-diam Chairil menyembunyikan rahasia perjumpaan
dengan-Nya dalam puisi.
Perjumpaan itu, pengenalan itu, tidak akan terjadi
sekiranya Chairil tidak merenungi kematian neneknya. Seandainya dia tidak
terheran-heran akan kasunyatan
kematian, kita tidak mewarisi puisi-puisi indah gubahan Chairil: Nisan, Derai-Derai Cemara, Doa, yang
semuanya adalah gema dari suluk dan munajat yang ditulis para guru pada masa
dulu. Juga gema dari pesan Nabi: matilah sebelum engkau mati. Menjadi tiada
untuk menyaksikan Sang Ada. Mengenal diri untuk mengenal-Nya. Menyadari
kefanaan untuk merasakan keabadian. Merenungi perguliran malam dan siang untuk
menguak misteri kehidupan.
Saya kira, inilah rahasianya mengapa Nabi menangis
persis setelah dua ayat dari surat Al ‘Imran ini diturunkan menjelang subuh
hari, titik waktu antara malam dan siang, momen pergantian malam dan siang.
Sesungguhnya
dalam kesinambungan penciptaan langit dan bumi
dan pergantian malam dan siang
tersembunyi isyarat-isyarat keber-ada-an-Nya
bagi penjaga rahasia hati
yaitu orang-orang yang mengingat Allah
ketika berdiri, ketika duduk, ketika berbaring
dan merenungkan misteri
kesinambungan penciptaan langit dan bumi
sehingga bermunajat mereka:
O, Tuhan kami, tidaklah Engkau
menciptakan semua ini sia-sia
Maha Suci Engkau
lindungi kami dari api neraka
(QS Al ‘Imran: 190-191)
Menerima ayat-ayat sesunyi dan semenggatarkan itu,
betapakah Nabi tidak menangis? Mata kita pun, jika menghayati kandungan makna
ayat-ayat itu, tentu berkaca-kaca. Pipi terasa hangat. Kita pun tanpa sadar
menangis sepuas-puasnya. “Dan karena hidup itu indah,” tulis Sapardi dalam Dalam Diriku “aku menangis
sepuas-puasnya”. Barangkali inilah puncak kebahagiaan: keinsyafan akan misteri
dan paradoks kehidupan. Dzikir yang tak kunjung putus. Kas(ah)idan jati. Sasahidan,
kesaksian akan keber-ada-an-Nya. Kesadaran akan kebermaknaan hidup. Penemuan
hikmah bahwa kehidupan nyatanya tidaklah sia-sia, tidaklah absurd.
Datangnya kematian setelah kehidupan, perguliran
malam dan siang, cakra manggilingan, semua
kasunyatan itu ternyata adalah
cara-Nya mengenalkan diri kepada hamba. “Aku,” firman-Nya dalam sebuah hadits
suci masyhur “adalah perbendaharaan tersembunyi. Aku cinta untuk dikenal. Secara
sinambung, Aku ciptakan makhluk. Dengan-Ku mereka mengenal-Ku.” Rahasia
penciptaan adalah pengenalan. Daya penggerak penciptaan adalah cinta. Tujuan penciptaan
adalah ibadah.
Sekali lagi, kehidupan tidak sia-sia. Kehidupan
tidak absurd. Ada isyarat suci di balik problem
of evil. Ada makna yang terpendam jauh di kedalaman simbol. Ada hikmah yang
terhampar di semesta raya dan dalam diri kita. Ada kebahagiaan dalam cobaan.
Karena itu, kita tak perlu membayangkan bahwa Sisyphus berbahagia. Biarlah
Camus terkubur bersama khutbahnya.
Bumi Mataram, malam
Senin, 21 Ramadan 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam