Lelaki ini aneh.
Waktu itu Baghdad telah jadi kota besar, metropolis Islam, latar kisah Aladin dan 1001 Malam. Penduduk kota umumnya berpenampilan kece dan terhormat.
Mereka ingin dipandang sebagai warga muslim yang berbudaya dan berperadaban.
Tapi lelaki ini
aneh. Pada zamannya, dia adalah kontras bagi Baghdad yang sedang bersolek.
Pakaiannya sederhana, bahkan kelewat sederhana. Siapa pun yang melihatnya untuk
pertama kali, pasti mengira dia pengemis. Pengemis + gelandangan. Berjalan ke
mana pun, dia tidak mengenakan terompah. Tidak juga sepatu. Dia merasa harus
menapaki bumi dengan kaki telanjang.
Lelaki telanjang
kaki, itulah gelar keagungannya, yang dalam bahasa Arab disebut al-hafi. Dia memang agung. Ahmad bin Hambal
adalah muridnya. Imam besar Mazhab Hambali ini begitu sering mengunjungi
al-Hafi. Sampai-sampai, santrinya tidak habis pikir. Bertanyalah si santri yang
bingung ini, “Sekarang nJenangan kan ulama top dalam ilmu hadits, fikih, kalam,
dan berbagai disiplin ilmu lain, tapi nJenangan malah berguru kepada al-Hafi,
gelandangan awam itu. Apa pantas?”
“Memang,” jawab
Ahmad bin Hambal “dibanding al-Hafi, saya lebih mengenal semua ilmu yang kamu
sebutkan tadi. Tapi, al-Hafi lebih mengenal Allah daripada saya.” Jadi, kepada
al-Hafi, Ahmad bin Hambal menimba ilmu tentang Allah. Kelak, ilmu ini dikenal
sebagai makrifat. Kebudayaan Jawa menyebutnya dengan sejumlah nama, antara lain
ngelmu kasampurnan, sastra gendhing, dan hidayat jati. Hanya ulama tertentu, yang
dipilih langit, yang memperoleh kewenangan mengajarkan ilmu dasariah ini. Dan
al-Hafi termasuk ulama yang dipilih langit.
Mengapa langit
memilih al-Hafi, ceritanya begini. Kita mulai dari kelahirannya. Lahir di Marw,
Turkmenistan pada 150 H, 767 M, dia diberi nama Bishr. Ayahnya bernama
al-Harits. Entah bagaimana mula bukanya, ketika dewasa Bishr tinggal di Baghdad
dan tenggelam dalam kehidupan kelam. Malam-malamnya dipenuhi arak dan tuak. Dia
terkenal sebagai preman.
Barangkali dia
jenuh dengan gaya hidup seperti itu. Barangkali dia merasa gersang, hampa, oneng. Tentang perasaan Bishr ini, kita
hanya bisa ber-barangkali. Tapi tentang religiositasnya, kita bisa merasa yakin
bahwa Bishr memendam hal itu di kedalaman lubuk hatinya. Selama menjalani kehidupan
kelam, Bishr menyimpan sendiri religiositasnya. Religiositas jadi kesunyiannya
sendiri. Apa bukti religiositas pemabuk Bishr?
Seperti
biasanya, malam itu dia mabuk lagi. Ketika melangkah sempoyongan di jalanan,
dia melihat sehelai kertas bertuliskan kalimat basmalah. Lalu, dia mengambilnya.
Tiba di rumah, kertas itu dibersihkannya, disemprotnya dengan wewangian, dan
dihias dengan bunga. Bishr kemudian meletakkan kertas itu di tempat yang tinggi
dan terhormat. Bayangkan, seorang pemabuk melakukan tindakan kudus yang bahkan
sering tak terpikir oleh ulama sekali pun, apalagi ulama yang hatinya berkiblat
pada dunia.
Wajarlah kalau
malam itu, ya, malam itu juga, seorang wali dalam mimpinya menerima pesan
langit yang harus disampaikan kepada Bishr. “Engkau,” demikian bunyi pesan itu
“telah mewangikan nama-Ku. Aku pun mewangikan namamu. Engkau telah meninggikan
nama-Ku. Aku pun meninggikan namamu. Engkau telah mensucikan nama-Ku. Aku pun
mensucikan namamu. Demi keagungan-Ku, niscayalah Aku mewangikan namamu di dunia
ini dan di akhirat kelak.”
Ketika bangun
dari tidur, sang wali tertegun. Mimpiku ini memang pesan dari langit atau hanya
karangan setan? Inilah pertanyaan yang mungkin melintas di benaknya saat itu.
Dia membatin, “Bishr adalah seorang awam. Pemabuk pula. Barangkali pandangan
mata hatiku sedang kabur.” Untuk mengecek kebenaran mimpinya, dia pun berwudu,
salat, lalu kembali tidur. Ternyata dia didatangi mimpi yang itu-itu juga.
Esok paginya,
dia segera mencari Bishr. Sang wali menyambangi rumah tempat Bishr berpesta
arak.
Kepada penghuni
rumah, dia bertanya, “Apa Bishr di sini?”
“Ya, itu dia.
Sedang minum. Mabuk berat tuh.”
“Katakan
kepadanya, aku membawa pesan untuknya.”
Mendengar hal
itu, Bishr menjumpai sang wali. “Pesan dari siapa?”
“Pesan dari
Allah.”
“Waduh,” seru
Bishr. Tangisnya pun meledak.
“Ini pesan
merendahkan atau pesan meninggikan? Tunggu, izinkan aku menyampaikan sesuatu
kepada kawan-kawanku dulu.”
Di depan kawan-kawannya
sesama pemabuk, Bishr mengucapkan kata-kata perpisahan. “Bung, aku baru saja menerima
undangan. Aku akan pergi. Selamat tinggal. Selamanya, kalian tidak akan
melihatku berpesta arak lagi.”
Sejak saat itu,
Bishr menghayati kehidupan asketik. Dia menjadi aneh bagi Baghdad, kontras tajam
bagi kota pesolek itu. Kini, sahabatnya bukan arak dan tuak lagi, melainkan
haus dan lapar, fakir dan papa. Pakaiannya begitu sederhana, seperti pakaian
pengemis. Ke mana pun, dia tak pernah memakai alas kaki.
Dia pernah
ditanya, “Kenapa nJenengan tidak mengenakan terompah atau sepatu?”
“Pada hari
ketika saya beruluk salam dengan Allah, saya bertelanjang kaki. Semenjak itu
saya malu memakai alas kaki. Lagipula, Allah juga berkata kepadaku, ‘Aku telah
menjadikan bumi sebagai karpetmu’. Tak patutlah kalau saya manapaki karpet Sang
Raja dengan terompah.”
Bishr al-Hafi
memang berkata begitu. Tapi selain adab, bertelanjang kaki juga bisa bermakna
lain, khususnya bagi kita yang jangankan beruluk salam, mengenal Allah saja
belum. Bertelanjang kaki, saya pikir, adalah pasemon, metode al-Hafi memberikan pengajaran religiositas kepada
kita. Perkenankan saya mencuplik sebuah bait dari Ziarah Tanah Jawa, puisi gubahan penyair yang puisi-puisinya sering
saya kutip, Iman Budhi Santosa.
Lepaskan pula terompah sepatu dan seluruh buku
menapaklah dengan kaki telanjang
biar pasir kerikil memijat kembali
telapak kakimu yang berkarat dan membesi
Kaki telanjang
adalah lambang cara dan syarat pencarian ilmu. Bukan sembarang ilmu, melainkan
akarnya, induknya, hulunya segala ilmu. Pada zaman Yunani Kuno, ilmu ini
bernama philosophia, cinta (dan)
kearifan. Dalam dunia Islam, ilmu ini disebut tasawuf atau makrifat atau al-hikmah al-muta’aliyah. Dalam Hindu,
dikenal sebagai sanatana dharma.
Dalam Buddha, disebut prajnaparamitha.
Semua berbicara
tentang kesuwungan yang dicapai setelah pendakian spiritual (al-‘aqabah) yang minta ampun beratnya.
Berat minta ampun, sebab pendaki harus terus-menerus melawan keakuannnya (mukhalafah al-nafs) hingga keakuan
tersebut lebur larut dalam samudera ketiadaan. Kabarnya, itulah kesuwungan, taman
(al-jannah) tempat pencari ilmu
mengalami kebahagiaan sejati.
Dalam pencarian
ilmu itu, dalam pendakian spiritual itu, dia harus bertelanjang kaki. Dia harus
menanggalkan terompah dan sepatu. Terompah dan sepatu adalah lambang
keberadaban, kehormatan, kemuliaan, ketinggian, keberpunyaan. Simbol prestige dan martabat. Dia harus
meninggalkan itu semua bukan hanya secara empiris tetapi lebih secara hakiki.
Maksudnya, dia
perlu masuk ke dalam kesadaran kefakiran. Dia tidak memiliki sesuatu pun.
Al-Qur’an mengingatkan, Allah Maha Kaya, sedangkan kita hanyalah kaum fakir di
hadapan-Nya. Dengan kesadaran kefakiran itu, dia berkemungkinan mengalami
kenikmatan spiritual. “Orang yang jadi bagian dari kenikmatan spiritual,” tulis
William James dalam The Varieties of
Religious Experience “akan membuang apa yang dimilikinya seperti membuang
terompah.” Berjalan dengan kaki telanjang menandakan penerimaan, kebercukupan,
dan kekayaan rohani. Sugih tanpa bandha,
kata Sosrokartono.
Selain
menanggalkan terompah, pencari ilmu juga disyaratkan melupakan buku. Buku melambangkan
tumpukan klaim kebenaran. Kalau klaim tersebut benar, dengan kandungan buku,
kita menyaksikan Tuhan. Tapi, kalau klaim kebenaran itu salah, hanya karena
membaca buku, karena ingin (merasa/dipuji) pintar, jarak kita dengan-Nya
bertambah jauh.
Klaim kebenaran,
dari zaman ke zaman, menjelma dalam berbagai wujud: mitos, logos, sains, adat,
bahkan tafsir kitab suci. Adakalanya, mau tak mau, siap tak siap, kita perlu
merobek-robek tabir-tabir itu biar pasir kerikil memijat kembali telapak kaki
kita yang berkarat dan membesi, agar pada akhirnya kasunyatan tersingkap di depan mata hati.
Tentang
melupakan buku ini, ada cerita menarik seputar Bishr al-Hafi. Sebagaimana
Bukhari, Muslim, dan ulama hadits lain, Bishr juga mengumpulkan hadits. Dia
catat hadits-hadits itu dalam buku-bukunya. Akhirnya, buku catatan itu terkumpul
hingga tujuh peti. Dia tidak mengajarkan, apalagi mencetak, kumpulan haditsnya.
Al-Hafi malah menggali tanah untuk mengubur buku-buku tersebut.
Kenapa? “Saya
ingin, saya bernafsu, mengajarkan hadits. Seandainya tak punya keinginan untuk
itu, saya sudah mengajarkannya.” Bahkan, bagi al-Hafi, hadits pun jadi tabir
spiritual. Mengajarkan hadits bisa jadi perpanjangan keinginan dan kepentingan
pribadi. Begitulah al-Hafi, dia tampaknya memang sudah dibebaskan dari
keinginan dan kehendak dan kepentingan pribadi. Lelaki telanjang kaki dari
Baghdad itu tampaknya telah mencapai kesuwungan. Namanya diwangikan,
ditinggikan, dan disucikan di dunia dan di akhirat.
Tidak salah jika
Ahmad bin Hambal begitu menghormatinya, bahkan merasa perlu berguru kepadanya.
Tidak hanya manusia, bahkan bighal
pun menghormati al-Hafi. Ternyata, selama al-Hafi tinggal dan hidup di Baghdad,
tak seekor pun bighal membuang
kotoran di kota tersebut. Sebab, bumi Baghdad sedang ditapaki oleh kaki
telanjang al-Hafi.
Suatu malam,
seorang warga Baghdad berkata, “Ah, Bishr al-Hafi telah tiada.” Setelah
diselidiki, ucapannya terbukti. Memang al-Hafi meninggal malam itu. Bagaimana
dia tahu bahwa al-Hafi meninggal malam itu? “Sepanjang hidup al-Hafi,” ujarnya
“di Baghdad tak tampak kotoran bighal.
Malam ini aku menemukan kotoran bighal.
Artinya, al-Hafi telah tiada.”
Al-Hafi memang
telah tiada. Lebih seribu tahun silam dia berpulang. Dia wafat pada 227 H, 841
M. Tapi, sejatinya al-Hafi masih hidup di alam sana, alam kelanggengan.
Barangkali sekarang dia sedang bercengkerama dengan Sang Kekasih. Barangkali
dia sedang melihat saya menulis artikel kecil tentang kehidupannya ini, atau
dia sedang memandang Anda membaca artikel ini.
Apa pun yang
tengah dilakukannya kini, kita perlu berterima kasih kepadanya. Terima kasih,
karena al-Hafi, dengan pasemon kaki
telanjangnya telah mengajari kita cara dan syarat mencari ilmu. Maka, marilah
kita ber-al-Fatihah untuk beliau, Abu Nashr Bishr bin al-Harits al-Hafi, sang
guru dari Baghdad….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam