Serakah, pada zaman ini, bukan
sekadar masalah moral. Untuk mengatasinya, nasihat saja tak cukup. Telah banyak
penceramah yang mengutuk keserakahan dan mengajak masyarakat hidup sederhana.
Tapi, serakah masih ada. Seakan tak berkurang. Malah, boleh jadi
bertambah-tambah. KPK masih saja menangkapi para pejabat korup.
Kita tak bisa lagi melihat
keserakahan dengan paradigma lama. Secara tradisional, serakah dipandang
sebagai penyimpangan etik personal. Setan menggoda seseorang untuk serakah.
Orang menjadi serakah karena imannya tak kuat sehingga termakan bujukan setan.
Maka, menurut paradigma tradisional, agar perilaku serakah tak muncul, iman
perlu dikuatkan. Cara manjur untuk menguatkan iman adalah memberikan nasihat.
Pada masa lampau, ketika
sistem sosial masih merupakan gema dari sistem religius, menggunakan metode
dakwah semacam itu untuk membasmi keserakahan memang membuahkan hasil positif.
Tapi sekarang, ketika sistem sosial menjadi bagian sistem pasar, hal itu
seperti memukul asap.
Kapitalisme mutakhir yang
berekspansi secara global dengan teknologi informasi dan transportasi,
merevolusi pola interaksi manusia, dari pola yang cenderung etis dan manusiawi,
ke pola yang ekonomistik. Bagiku, orang lain adalah kapital yang aku
akumulasikan untuk memperoleh sebesar-besarnya laba. Demikian makna eksistensial
konsep kapital-sosial Pierre Bourdieu, filsuf sosial dari Perancis.
Implikasi pola interaksi
manusia yang ekonomistik itu adalah terbentuknya masyarakat ekonomi. Meski
memproduksi komoditas, masyarakat ekonomi lebih merupakan masyarakat konsumen
daripada masyarakat produsen. Individu didesak struktur sosial, yang telah
menghuni alam bawah sadarnya, untuk menciptakan komoditas yang kemudian dijual
untuk memperoleh uang. Dia kemudian didesak lagi untuk dengan uang tersebut
membeli komoditas yang dinafsuinya dan belum tentu dibutuhkannya.
Mengapa itu terjadi? Pangkalnya:
media. Pada zaman kapitalisme mutakhir yang ditopang tekonologi informasi,
peran sosial media tak bisa diabaikan. Media membangun opini publik. Media, sebagaimana
digarisbawahi cendekiawan publik Amerika, Noam Chomsky, adalah alat propaganda.
Media tak saja menyetir pikiran masyarakat, tapi juga menggerakkan masyarakat
ke arah tertentu yang direncanakan.
Media menyediakan ruang istimewa
bagi iklan. Terutama dengan iklan itu, suatu lembaga media bertahan hidup.
Target iklan tak lain kecuali membujuk pemirsa, masyarakat, untuk membeli
komoditas tak sebatas demi memiliki, tapi juga demi merebut identitas dan
posisi sosial yang lebih bergengsi. Iklan membentuk pemikiran publik yang
dilandasi hasrat konsumsi.
Media menciptakan masyarakat
konsumen: masyarakat yang haus gengsi dan lapar eksistensi, terus-menerus
mengejar trend, kecanduan belanja, selalu mencari apa yang dipandang sebagai
kebahagiaan, tapi tak kunjung menemukan kepuasan. Media, terkondisikan hukum
pasar, menciptakan masyarakat yang serakah, yang dikutuk untuk selalu mencari tanpa
pernah menemukan, bagai kuda yang mengejar ekornya sendiri.
Karena bergaul sebegitu intim
dengan media, kita diam-diam menjadi bagian masyarakat konsumen. Artinya,
secara personal, di alam bawah sadar kita telah lahir monster keserakahan. Aku
bernafsu untuk membeli dan memiliki begitu banyak sesuatu—walaupun pada
hakikatnya tak aku butuhkan—demi memperoleh gengsi setinggi mungkin, posisi
sosial seterhormat mungkin, nama seharum mungkin, popularitas sebesar mungkin.
Itulah salah satu sebab korupsi sukar diberantas.
Kalau memang demikian kasunyatan sosial yang melingkungi kita,
efektifkah menumpas keserakahan dengan dakwah verbal? Bukan sekadar masalah
moral, pada zaman kita serakah juga gejala struktural. Secara sosial, penyakit
serakah perlu diobati dengan strategi dakwah struktural. Secara personal, untuk
mengalahkan monster keserakahan yang menghuni alam bawah sadar, kita perlu
ambil jarak dari dan bersikap kritis terhadap media, tentu juga terhadap iklan.
“Bagi hati,” kata Syaikh
Ibnu Athaillah al-Sakandari, sufi masyhur dari Mesir, “tak ada yang lebih bermanfaat
daripada uzlah. Dengan uzlah, hati menyelam jauh ke dalam lubuk
samudera renungan.” Dengan uzlah,
kita menimbang kembali mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan
mana yang buruk, mana yang indah dan mana yang jelek, mana yang dibutuhkan dan
mana yang hanya dinafsui. Pada zaman ini, uzlah
di-laku-kan antara lain dengan mengambil jarak dari media dan kritis
terhadapnya. Selamat ber-uzlah dari
media….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam