PERKARA cari hikmah, leluhur kita ahlinya. Kalau
tidak percaya, perhatikan saja khazanah peribahasa nusantara, gudang hikmah
yang, sayang sekali, jarang dijamah sedikit dilirik.
Di mana leluhur kita mencari hikmah? Jawabannya kita
temukan dalam peribahasa Minangkabau yang terkenal: alam takambang jadi guru, satitiak jadikan lawik, sakapa jadikan gunung.
Alam terkembang jadi guru. Setitik air jadikan laut. Sekepal tanah jadikan
gunung.
Leluhur kita mencari hikmah di alam semesta. Alam
semesta adalah buku yang terkembang, kitab yang terbuka. Alam semesta adalah
papan tulis mahaluas. Leluhur kita membaca ayat-ayat Ilahi yang tertulis di alam
semesta, al-quran al-takwiny. Mereka
membaca realitas untuk mencari hikmah, membaca kasunyatan untuk menemukan makna. Berlatar belakang agama apa pun,
ternyata leluhur kita mengamalkan perintah pertama yang diterima umat Islam
dari langit: bacalah.
Pendekatan
“ilmiah”
Pendekatan pembacaan yang mereka gunakan adalah,
setitik jadikan laut, sekepal jadikan gunung. Mereka tidak menyepelekan
gejala-gejala kecil di sekitar mereka. Ada kesadaran, jangan-jangan hal kecil yang
tampak tak berarti, menyembunyikan hikmah agung. Jangan-jangan setitik air melambangkan
lautan, sekepal tanah menyimbolkan gunung. Karena itu, dalam rangka menemukan
hikmah agung itu, leluhur kita menjadikan setitik air sebagai lautan, sekepal
tanah sebagai gunung.
Apa maksudnya? Pertama,
mereka meletakkan hal kecil dalam konteks struktural makro. Setitik air adalah
bagian dari lautan. Sekepal tanah adalah bagian dari gunung. Kedua, pandangan mereka menembus apa
yang kasat mata, yang lahiriah, yang fenomenal. Di balik bentuk (shurah), ada makna (ma’na). Di balik fenomena, ada noumena. Di balik penanda (signifiant), ada petanda (signifie). Di balik setitik air, ada
lautan. Di balik sekepal tanah, ada gunung. Ternyata, dalam membaca kasunyatan, leluhur kita menggunakan
semacam kombinasi pendekatan semiotik-struktural dan fenomenologi.
Hasilnya, ditemukanlah segudang teori, ilmu, makna,
hikmah yang diungkapkan dengan bahasa yang tidak formal dan kaku. Alat
ungkapnya adalah sastra: peribahasa. Dan sastra sama sekali bukan hal besar. Ia
hanyalah hal kecil yang sehari-hari.
Jadi, leluhur kita memandang besar hal kecil untuk
menemukan hal besar yang diungkapkan sebagai hal kecil. Proses ilmiahnya
melingkar, dari hal kecil kembali ke hal kecil, dari yang sehari-hari kembali
ke yang sehari-hari, dari yang konkret menuju yang abstrak untuk kembali pada
yang konkret, dari bumi naik ke langit untuk turun kembali ke bumi.
Dengan proses ilmiah melingkar itu, ilmu yang mereka
peroleh jadi bermanfaat. Sedemikian bermanfaatnya hingga secara sinambung
diwariskan dari generasi ke generasi. Memang, ciri ilmu yang bermanfaat adalah ketahanannya
dalam ujian sejarah. Ilmu yang bermanfaat tak aus dimakan waktu. Tak lekang
oleh panas. Tak lapuk oleh hujan.
Ilmu yang bermanfaat tidak hanya tertulis pada
kertas, tetapi juga bersemayam dalam dada, mengalir dalam darah, merasuk dalam
tulang, menyatu dengan daging. Walaupun naskah yang merekam peribahasa hancur,
hilang, terbakar, kandungan hikmah peribahasa tersebut tetap hidup sebagai adat
dalam masyarakat tradisional yang menghayatinya.
Dengan demikian, terbayang proses ilmiah melingkar
pencarian hikmah oleh leluhur kita pada lapis yang lebih dalam: dari realitas
kembali ke realitas, dari kasunyatan
kembali ke kasunyatan. Kasunyatan kedua ini kemudian dibaca
lagi untuk dicari hikmahnya yang pada akhirnya bakal mengejawantah sebagai kasunyatan selanjutnya. Maka, pada
dasarnya, objek baca atau bahan renungan leluhur kita dalam usahanya mencari
hikmah adalah kasunyatan. Bukan kasunyatan yang jauh di sana, tetapi
yang dekat di sini. Realitas di sekitar kita.
Leluhur
Minangkabau
Dan jumlah gejala yang dekat dengan kita, sangat
banyak. Barangkali tak terhitung. Salah satunya, pohon. Ketika melihat pohon di
tengah kota, bertanyalah leluhur kita dari Minangkabau: pohon di tengah kota,
apa maknanya? Setelah bergumul dengan pertanyaan tersebut, dari pohon mereka
memetik hikmah ini: nan bak umpamo kayu
gadang di tangah koto, urek nan buliah tampek baselo, batang gadang tampek
basanda, dahan kuat buliah bagantung, daun rimbun buliah balindung, buah labek
dapek dimakan.
Pohon di tengah kota adalah penanda. Petandanya,
pemimpin yang ideal. Pohon melambangkan pemimpin. Seharusnya pemimpin itu
seperti pohon. Seluruh bagian pohon berguna bagi makhluk lain. Akarnya untuk
duduk. Batangnya untuk bersandar. Dahannya untuk bergantung. Daunnya untuk
berlindung dari panas dan hujan. Buahnya untuk dimakan.
Artinya, pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya. Dia
memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi rakyat. Sebaliknya, rakyat mengambil
sebesar-besarnya manfaat dari pemimpin. Pemimpin menjadi pemangku rakyat.
Kepadanya, rakyat bersandar, bergantung, dan berlindung. Kebijakan dan
kebijaksanaannya adalah buah yang dapat dimakan rakyat, yang lezat bagi rakyat
dan mengenyangkan mereka.
Pemimpin harus memperhatikan rakyatnya.
Sewenang-sewenang terhadap rakyat adalah pantangan. Dia memandang rakyat dengan
mata kasih sayang. Sebab, dia adalah pam(om)ong rakyat.
Di Jawa zaman Mataram Islam, sebagaimana di
Minangkabau, fungsi pemimpin sebagai pamomong rakyat juga dilambangkan dengan
pohon, khususnya pohon beringin. Akar pohon beringin untuk duduk. Batangnya
yang besar untuk bersandar. Dahannya yang kuat untuk bergantung. Daunnya yang
rimbun untuk berlindung dari hujan dan panas.
Di zaman Majapahit, tampaknya fungsi pemimpin
sebagai pamomong rakyat dilambangkan dengan pohon kamal, asam Jawa, yang
buahnya tentu dapat dimakan. Kalau kita menyaksikan wayang kulit, pada gunungan
atau kayon terdapat gambar stilistik pohon kehidupan. Rupanya, sejauh
menyangkut simbol pohon, budaya Minangkabau dan Jawa berbagi makna yang pada
pokoknya sama. Pohon melambangkan pemimpin ideal.
Leluhur
Bugis
Kalau leluhur kita dari Minangkabau dan Jawa
menemukan hikmah setelah membaca pohon, leluhur kita dari Bugis menemukan
hikmah setelah membaca olahan pohon: kayu. Aju
maruluemi riala palewa bala. Terjemahnya, hanya kayu yang lurus yang
dijadikan ramuan rumah.
Material utama rumah tradisional Bugis adalah kayu.
Itu artinya, rumah adalah himpunan kayu yang disusun sedemikian rupa sehingga
dapat difungsikan sebagai tempat bernaung, juga tempat berlindung dari panas
dan hujan. Begitulah pemimpin dalam cakrawala harapan orang Bugis. Pemimpin
adalah tempat bernaung dan berlindung rakyat. Pemimpin adalah pamomong rakyat.
Untuk membangun rumah, kita perlu menyeleksi kayu.
Tidak semua kayu yang ada digunakan. Hanya kayu yang memenuhi kriteria saja
yang dipakai untuk membangun rumah. Kriterianya, kelurusan kayu. Jika lurus,
diambil. Jika tak lurus, tak dipakai.
Untuk mengangkat pemimpin, diperlukan seleksi. Tidak
sembarang orang diangkat. Hanya calon yang memenuhi kriteria saja yang diangkat
sebagai pemimpin. Kriterianya, kelurusan. Kejujuran. Kebersihan hati. Keselarasan
kepribadian. Hati, otak, lidah, dan seluruh anggota tubuhnya bergerak selaras. Perasaan,
pikiran, perkataan, dan perbuatannya tidak saling bertentangan. Iman, ilmu, dan
amal berjalan beriringan. Rasa, cipta, dan karsanya seirama. Calon pemimpin
haruslah orang yang berbudaya, berkepribadian luhur, arif.
Jadi, jika direnungkan lebih dalam, kriteria dasar
untuk memilih pemimpin adalah religiositas. Betapa beruntungnya masyarakat yang
memiliki pemimpin dengan religiositas mendalam. Sebab, rumah, yang bakal
digunakan sebagai tempat bernaung dan berlindung, jadi tegak jika dibangun
dengan kayu-kayu yang lurus. Kepemimpinan pun jadi efektif jika dijalankan oleh
pemimpin religius.
Begitulah, leluhur kita dari Bugis membaca kayu
sehingga menemukan hikmah kepemimpinan. Kasunyatan
alam semesta, dalam hal ini berupa pepohonan dan olahannya, direnungkan
maknanya. Leluhur kita dari Aceh juga membaca pepohonan. Tapi, pohon yang
dibaca bukan pohon pada umumnya, melainkan bambu dan pohon kelapa yang berbuah.
Buah kelapa terdiri dari banyak bagian. Setiap
bagian bermanfaat. Salah satu bagian buah kelapa adalah tempurung atau
batoknya. Setelah merenungi makna batok kelapa itu, dalam kaitannya dengan
bambu, mereka merumuskan peribahasa ini, bek
peusaban kai ngon aree, jangan disamakan batok dengan bambu.
Leluhur
Aceh
Leluhur kita dari Aceh pernah menggunakan dua jenis
takaran: takaran batok dan takaran ruas bambu. Volume sebuah batok lebih kecil
daripada volume sebuah bambu yang biasa digunakan sebagai standar takaran.
Janganlah disamakan ukuran takaran batok dan takaran bambu. Kalau disamakan,
kita bakal mengalamai salah satu dari dua hal, berlaku bodoh sehingga merugi
atau berlaku sewenang-wenang yang juga mencerminkan kebodohan. Hanya orang
bodoh yang menyamakan ukuran takaran batok dan takaran bambu.
Jadi, peribahasa bek
peusaban kai ngon aree sebenarnya berbicara tentang relativitas nilai, yang
secara ekstrem bisa pula dipahami sebagai relativitas kebenaran. Manusia bukan
eksistensi yang bisa dinilai secara pukul rata. Setiap manusia unik dan
subjektif. Apa yang menurut saya baik belum tentu baik bagi orang lain. Apa
yang Anda nilai indah boleh jadi saya nilai jelek. Menurut Anda suatu tindakan
tepat dilakukan tapi hal itu keliru dalam pandangan saya.
Ukuran saya dengan ukuran Anda berbeda, setidaknya
tidak persis sama. Karena itu, marilah bertenggang rasa. Jangan memaksakan
kehendak, apalagi dengan kekerasan. Nilai toleransi ini juga dihayati leluhur
kita dari Jawa, Bugis, dan Mandar. Dalam budaya Jawa, ada peribahasa tepa selira. Dalam budaya Bugis, ada
peribahasa otakku kuassukeki, otakmu
muassukeki, takaranku kujadikan ukuran, takaranmu kamu jadikan ukuran.
Dalam budaya Mandar, ada peribahasa da
bajumu mupaqukkurangi tau, jangan bajumu dijadikan ukuran untuk orang lain.
Dengan adanya peribahasa-peribahasa ini, kita jadi
bangga. Bangsa kita ternyata memang pada dasarnya toleran. Sejarah toleransi
kita telah panjang usianya, juga telah sedemikian mengakar. Siapa-siapa yang
tidak bersikap toleran, merasa benar sendiri, dan memaksakan kehendak kepada
orang lain apalagi dengan kekerasan, adalah orang-orang yang tidak berbudaya.
Mereka tidak kenal jati diri kebangsaannya. Walaupun tinggal, bahkan lahir, di
nusantara, sesungguhnya mereka adalah orang asing yang tidak mau dengar nasihat
leluhur, malin kundang yang sudah sepantasnya mendapat kutukan.
Sebab itu, agar tidak jadi Malin Kundang, juga agar
tidak mendapat kutukan atau bebendu,
adalah baik jika kita menghayati pesan leluhur dari Aceh, bek peusaban kai ngon aree, jangan disamakan batok dengan bambu.
Kalau ada orang yang menyamakan batok dengan bambu, dia pantas disebut bodoh. Dia
punya mata tapi tidak untuk melihat, punya otak tapi tidak untuk berpikir,
punya hati tapi tidak untuk berempati. Nggugu
karsane priyangga, tulis Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama.
Dia, kata al-Quran, seperti binatang ternak, atau
lebih bodoh lagi. Hikmah yang diperoleh leluhur kita dari Aceh setelah
merenungi makna bambu dalam kaitannya dengan pohon kelapa rupanya sejalan
dengan falsafah al-Quran. Ini mengindikasikan, adat Aceh tidak bertentangan
dengan al-Quran. Budaya Aceh selaras dengan ajaran Islam.
Al-Quran adalah hikmah. Peribahasa bek peusaban kai ngon aree juga hikmah.
Dan hikmah bersifat perenial dan universal. Hanya saja, media dan bentuk
pengungkapannya baragam. Universalitas hikmah mengejawantah dalam
partikularitas tradisi, sesuai dengan dan bergantung pada konteks sosial dan
lingkungan alam setempat.
Di Aceh misalnya, terdapat banyak bambu dan kelapa.
Sehari-hari leluhur kita dari Aceh berinteraksi dengan bambu dan batok kelapa,
hal-hal kecil yang tampak sepele. Tapi, mereka meletakkan hal kecil itu dalam
konteks kehidupan makro. Pandangan mereka menembus apa yang kasat mata, yang
lahiriah, yang fenomenal.
Akhirnya, berangkat dari permenungan akan bambu dan
batok kelapa, mereka pun menemukan makna relativitas nilai sekaligus nilai
toleransi. Setitik air mereka jadikan lautan. Sekepal tanah mereka jadikan
gunung. Alam terkembang jadi guru.
Leluhur
Ternate
Leluhur kita dari Ternate juga berguru pada alam
terkembang. Mereka membaca kasunyatan
dengan pendekatan yang sama. Salah satu kasunyatan
yang dibaca adalah tembakau atau rokok, lagi-lagi hal kecil sehari-hari yang
tampak sepele dan tak berarti. Mereka bertanya, apa makna rokok? Hikmah apa
yang terkandung dalam sebatang rokok? Jawabannya, tobako dudumoi to-sirai jole ma-jiko, rokok sebatang dapat membakar
tumpukan jerami.
Sekilas, hikmah peribahasa Ternate ini tampak serupa
dengan peribahasa Melayu yang telah diangkat sebagai peribahasa Indonesia:
karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Tapi, bagi leluhur dari Ternate
sendiri, peribahasa ini lebih sebanding dengan peribahasa Melayu lain yang juga
telah diangkat sebagai peribahasa Indonesia: besar pasak daripada tiang.
Dalam hal keuangan, kita harus berhati-hati. Tidak ceroboh.
Harus berhemat. Tidak boros. Keinginan tidak diumbar. Kebutuhan diperhitungkan
dengan cermat. Tali kekang nafsu tidak dilepas. Jika tidak mendayagunakan akal
untuk mengendalikan nafsu, bisa-bisa kita berlaku ceroboh. Puntung rokok yang
masih menyala kita lemparkan saja ke tumpukan jerami kering. Terjadilah
kebakaran.
Jika tidak memfungsikan akal untuk menilai keinginan
dan kebutuhan, bisa-bisa kita berlaku boros, bertindak konsumtif. Apa saja yang
diinginkan dibeli, tak pikir berapa tebal dompet yang dimiliki. Bila uang
sendiri habis, kita bahkan menghutang ke sana ke mari sekadar untuk menuruti
nafsu, ngumbar kanepson. Akibatnya,
bangkrutlah kita. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah jatuh miskin, hutang
menggunung pula.
Supaya tidak mengalami musibah itu, leluhur kita
dari Ternate memberikan piwulang: tobako dudumoi to-sirai jole ma-jiko,
rokok sebatang dapat membakar tumpukan jerami. Dalam pandangan mereka, dalam
sebatang rokok, terkandung hikmah luhur: fungsi akal sebagai pengendali nafsu.
Inilah fungsi tadbir akal, hikmah
yang juga diajarkan dalam tradisi filsafat Platonik, Aristotelian, Paripatetik
Islam, dan Ghazalian.
Hikmah memang universal dan perenial. Orang Ternate
berbagi hikmah yang sama dengan orang Yunani Kuno, Spanyol Islam, dan Persia
Islam. Dan leluhur kita dari Tarnate menemukan hikmah itu tidak dengan
jauh-jauh dan ndakik-ndakik berguru
pada Plato, Aristoteles, Ibnu Miskawaih, atau al-Ghazali, tetapi cukup dengan berguru
pada alam terkembang, kasunyatan yang
dekat dengan mereka, yang ada di sekitar mereka, yaitu tembakau atau rokok.
Di Ternate, sebagaimana di banyak daerah lain di
nusantara, merokok telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Merokok telah jadi
budaya. Selain budaya merokok, dulu orang nusantara juga terkenal dengan budaya
menginangnya. Pertemuan dan percakapan tidak sempurna tanpa kapur dan sirih,
sebagaimana saat ini pergaulan terasa tidak lengkap tanpa rokok.
Dengan menginang, seperti halnya dengan merokok, percakapan
jadi lebih lancar, luwes, dan terbuka. Suasana jadi lebih ringan dan santai.
Karena itu, setiap silaturahmi, apalagi lobi dan negosiasi, perlu kapur dan
sirih.
Mempertimbangkan hal ini, dalam tata krama silaturahmi,
leluhur kita dari Jambi tidak hanya menyuguhkan kapur dan sirih kepada tamunya.
Mereka bahkan menciptakan tarian untuk menyambut tamu dengan suguhan kapur dan
sirih. Namanya, tari Sekapur Sirih. Duta penyuguhnya atau penarinya adalah
gadis-gadis belia berparas rupawan.
Ini menunjukkan, budaya menginang dulu pernah amat
mengakar di Jambi. Demikian pula di nusantara pada umumnya. Kapur dan sirih pun
jadi kasunyatan sehari-hari yang
berpotensi dibaca untuk ditemukan kandungan hikmahnya.
Leluhur
Jawa
Dan leluhur kita dari Jawa, membaca kasunyatan tersebut. Mereka bertanya,
apa makna sirih? Kaya sirih, lumah kurebe
beda, nanging yen gineget padha rasane. Seperti sirih, warna atas dan
bawahnya berbeda, tapi kalau digigit sama rasanya. Sirih menandakan adanya
kesamaan dari dua hal yang tampak berbeda. Dua hal berbeda yang beresensi sama
itu bisa bermacam-macam.
Pada mulanya, peribahasa ini mengemuka sebagai
respons sastrawi atas penjajahan oleh orang asing di tanah Jawa. Setelah
dijajah Belanda, orang Jawa dijajah lagi oleh Jepang. Yang pertama berkulit
putih dan berasal dari Eropa. Yang kedua berkulit kuning dan berasal dari Asia
Timur.
Dalam banyak hal, kedua penjajah tersebut berbeda. Tapi,
di balik perpedaan itu, ternyata ada kesamaan: sama-sama zalim, sama-sama
menindas, sama-sama eksploitatif, sama-sama menyengsarakan, sama-sama
memperhinakan. Belanda dan Jepang sama-sama menjajah orang Jawa. Keduanya kaya sirih, lemah kurebe beda, nanging yen
gineget padha rasane.
Peribahasa ini akan memberikan banyak manfaat jika
diterapkan sebagai pendekatan dalam studi perbandingan agama. Dalam studi
perbandingan agama gaya klasik, dua atau lebih agama dipelajari lebih untuk
mencari perbedaan dan pengaruh daripada persamaan.
Akibatnya, berkembang paradigma aku berbeda dari
kamu, kami berbeda dari mereka, agamaku sama sekali berlawanan dengan agamamu.
Agamaku dan agamamu sudah berpisah jalan, tidak akan pernah bertemu. Paradigma
eksklusif begini jelas mendorong muncul dan meningkatnya konflik lintas agama.
Dialog antar-iman jadi sulit dijalankan. Toleransi bersendikan kemanusiaan, al-ukhuwah al-basyariyah, jadi sukar
diwujudkan.
Saat ini, studi perbandingan agama klasik dengan pendekatan,
paradigm, dan akibat seperti itu, sudah out
of date, ketinggalan zaman dalam arti harfiahnya. Kita sudah jenuh dengan
perang yang menyeret-nyeret agama. Zaman menghendaki studi perbandingan agama
gaya baru, dengan pendekatan baru, yang membuahkan paradigma dan efek sosial
bermanfaat, yang merupakan aktualisasi dari spiritualitas dan prinsip etik
agama-agama itu sendiri.
Mengapa studi perbandingan agama jadi perlu? Untuk
mengurangi konflik antaragama. Untuk memupuk sikap toleransi. Untuk
mendewasakan umat beragama dalam interaksi sosial lintas iman. Untuk mencari
titik temu, kalimatun sawa’, lokus
perjumpaan agama-agama yang diperbandingkan. Untuk pertama-tama mencari
persamaan, bukan perbedaan dan pengaruh, antar-agama. Untuk mencari “rasa” yang
sama dalam setiap agama. Untuk menemukan hikmah bahwa agama-agama itu seperti kayu sirih, lumah kurebe beda, nanging yen
gineget padha rasane.
Selain dapat diterapkan dalam studi perbandingan
agama, peribahasa ini juga dapat digunakan sebagai pelita yang menerangi
pergaulan sosial kita. Selama terus-menerus mencari perbedaan, kita akan terus-menerus
pula dirundung konflik. Jika tak konflik sosial, ya konflik batin.
Tapi, jika kita terbiasa mencari persamaan yang
mempertemukan satu individu dengan individu lain, satu golongan dengan golongan
lain, aku dengan kau, kami dengan mereka, kondisi sosial akan lebih tertib,
tenteram, dan damai. Paling tidak, hati kita jadi lebih damai, tidak dipenuhi
prasangka dan kebencian dan amarah. Tidak dikendalikan daya diyu yang jahat dengan watak sura dira jayaningrat-nya.
Dengan demikian, kehadiran kita dalam pergaulan
sosial jadi rahmat, bukan fitnah, bagi yang lain. Bagi kita, terbuka lebarlah
peluang untuk tampil sebagai manusia yang memberikan sebanyak-banyaknya manfaat
bagi manusia lain. Kita berkesempatan untuk meneladani Nabi, manusia yang
memanusiakan manusia lain. Kita pun berpeluang untuk mengikuti jejak Panembahan
Senopati, pemimpin Jawa yang menjalani lelaku
karyenak tyasing sesama.
Berbagai kemungkinan penerapan peribahasa kaya sirih, lumah kurebe beda, nanging yen
gineget padha rasane tersebut menunjukkan bahwa peribahasa ini adalah ilmu
yang membumi, yang tidak mengawang-awang di langit. Ia bermula dari kasunyatan yang direnungi dan kembali
pada kasunyatan. Sirih adalah kasunyatan sehari-hari. Salah satu, di
antara sekian banyak, hikmah yang terkandung dalam sehelai sirih, dapat
diamalkan dalam kasunyatan
sehari-hari, dihayati dalam kehidupan real.
Leluhur
Sunda
Apakah dalam budaya Sunda proses pencarian hikmah
dengan membaca kasunyatan sehari-hari
juga ada? Tentu saja. Leluhur kita dari Sunda pun berguru pada alam terkembang.
Alam Sunda menyediakan banyak sungai.
Dalam budaya Sunda, sebagaimana dalam budaya Melayu,
tampaknya sungai adalah unsur yang penting dan mendasar. Di ranah Melayu,
banyak wilayah dinamai dengan nama sungai atau yang berkaitan dengan sungai,
misalnya Sungai Tanang, Batang Hari, Way Kambas, dan Ogan Komering Ulu. Di
tatar Sunda juga begitu, misalnya ada wilayah bernama Cimahi dan Cileunyi. Kata
ci berpadanan dengan kata way, batang, dan sungai.
Sehari-hari leluhur Sunda hidup begitu dekat, bahkan
manunggal, dengan sungai. Mereka kemudian membaca kasunyatan sungai untuk menggali hikmah yang dikandungnya. Buahnya,
lahirlah peribahasa mun kiruh ti girang,
komo ka hilirna, kalau sudah keruh di hulu, lebih keruh lagi di hilirnya. Peribahasa
Sunda ini mengingatkan kita pada sebuah peribahasa Melayu Jambi: keruh aek di ilir prikso di ulunyo, senak
aek di ulu prikso di muaronyo. Kalau keruh air di hilir, periksalah di
hulunya. Kalau dalam air di hulu, periksalah di muaranya.
Redaksi kedua peribahasa tersebut hampir mirip, tapi
maksudnya berbeda. Walaupun berbeda maksud, keduanya membayangkan teori ilmiah
yang sama: logika kausal. Akibat tentu ada sebabnya. Sebab tentu berpengaruh
terhadap akibatnya. Ada hubungan kausal antara dua variabel tertentu. Kedua
peribahasa tersebut menyatakan, ada hubungan kausal antara variabel air di hulu
sungai dan variabel air di hilirnya. Teorinya: kalau air di hulu sungai keruh, air
di hilirnya tentu lebih keruh.
Hulu sungai adalah mata air yang biasanya terletak
di dataran tinggi. Air dari hulu tersebut mengalir melewati induk dan anak
sungai hingga ke tepi laut. Bagian ujung dari sungai yang berbatasan dengan
laut inilah yang kita sebut hilir atau muara sungai.
Ibarat tubuh, hulu sungai seperti kepala sungai yang
jumlahnya tunggal, sedangkan hilir adalah kaki sungai yang jumlahnya jamak. Kentaralah
sudah, hulu sungai dalam peribahasa mun
kiruh ti girang, komo ka hilirna melambangkan pemimpin, sedangkan hilirnya
melambangkan para pembantu pemimpin dalam menjalankan roda pemerintahan,
misalnya menteri dan gubernur.
Hulu sungai sebagai lambang pemimpin, bukan hal yang
hanya dimiliki budaya Sunda. Budaya Melayu pun memilikinya. Orang Melayu
menyebut pemimpin, dalam lingkup administratif kecil tertentu, sebagai
peng-hulu, kepala masyarakat. Dalam kesultanan Jawa, peng-hulu adalah jabatan
struktural yang diduduki pemimpin keagamaan. KH Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah itu, pada zamannya pernah menjabat sebagai peng-hulu dalem Kesultanan Yogyakarta.
Semasa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda,
peng-hulu adalah pemimpin keagamaan dalam sebuah residen yang tugasnya mirip
seperti qadhi di Kesultanan Aceh.
Setelah Indonesia merdeka, wilayah kerja dan tugas peng-hulu menciut. Kini
peng-hulu hanya staf Kantor Urusan Agama (KUA). Tugasnya yang paling dikenal
adalah menikahkan calon pasangan suami istri secara resmi. Dia memimpin
jalannya upacara pernikahan.
Meski makna peng-hulu kian lama kian menciut, pada
prinsipnya peng-hulu tetaplah pemimpin, entah pemimpin masyarakat secara umum,
entah sekadar pemimpin agama. Sebagai pemimpin, dia punya bawahan atau
pembantu. Kalau pemimpin sudah tak becus bekerja, bawahannya tentu lebih tak
becus lagi. Manajemen pemerintahan jadi tak tertata. Program dan kebijakannya
jadi tak efektif. Kalau air di hulu sudah keruh, air di hilir lebih keruh lagi.
Mun kiruh ti girang, komo ka hilirna.
Hikmah peribahasa Sunda itu juga dikandung sebuah
peribahasa Melayu Jambi yang lain: bejalan
kincir kerno aek, begoyang dahan kerno angin. Maknanya sebangun, tapi
simbolismenya berbeda. Pemimpin seperti air yang membuat kincir berputar,
seperti angin yang membuat dahan bergoyang.
Jika pemimpin bersemangat, bawahannya pun bersemangat.
Rakyat pun tergerak untuk maju. Kalau pemimpin tangkas bekerja, bawahannya pun
lamban bekerja. Kepercayaan rakyat meningkat. Bila pemimpin bekerja
profesional, bawahannya demikian pula. Rakyat pun merasa beruntung karena punya
pemimpin hebat.
Sebaliknya, jika pemimpin tak bersemangat,
bawahannya juga. Rakyat tak tergerak untuk maju. Kalau pemimpin lamban bekerja,
bawahannya juga. Kepercayaan rakyat susut. Bila pemimpin tak becus bekerja,
bawahannya demikian pula. Pihak yang paling dirugikan karena hal ini adalah
rakyat. Mun kiruh ti girang, komo ka
hilirna.
Leluhur
Dayak Ngaju
Bukan hanya leluhur kita dari Sunda dan Melayu Jambi
yang membaca kasunyatan air keruh
untuk menemukan hikmah, leluhur kita dari Dayak Ngaju juga melakukan hal
serupa. Apa makna air keruh? Mereka menjawab, jantun puji telaga je keruh mampalua janum je katining. Tak pernah
telaga yang keruh mengalirkan air yang jernih. Telaga adalah sumber air, kasunyatan sehari-hari dalam kehidupan
leluhur Dayak Ngaju.
Telaga mengalirkan air melintasi sungai-sungai kecil
atau parit-parit. Jika sumber air jernih, air di parit-parit yang berasal
darinya pun jernih. Jika air parit tampak jernih dari kejauhan, padahal telaga
yang jadi sumber mata airnya keruh, sebaiknya air parit itu diperiksa lebih
dekat dan cermat. Sebab, telaga keruh tak pernah mengalirkan air jernih. Telaga
keruh pasti mengalirkan air keruh pula.
Apa makna peribahasa ini? Telaga menandakan sumber,
latar belakang, asal-usul, atau golongan sosial seseorang, air yang mengalir
dari telaga tersebut. Kalau kita bertemu dengan orang yang tampak baik, padahal
keluarga, teman-teman, komunitas, atau tempat belajarnya buruk, sebaiknya kita
berhati-hati dengan orang tersebut.
Kalau kita diberi tawaran menggiurkan yang
seolah-olah tanpa pamrih oleh kader partai politik tertentu, padahal rekam
jejak partai tersebut kelam, sebaiknya kita bersikap kritis terhadap kader
tersebut. Jantun puji telaga je keruh
mampalua janum je katining. Dengan sikap kritis tersebut, kita tidak
gampang tertipu.
Kritisisme adalah jantung filsafat Barat sejak
Yunani Kuno hingga pascamodern. Lebih dari itu, kritisisme bahkan barangkali
jantung seluruh tradisi filsafat. Untuk mencari kebanaran atau hikmah, filsafat
bertumpu pada akal sehat, penalaran yang sahih. Dalam filsafat Barat, filsafat
India, dan filsafat Islam logika menempati kedudukan elementer.
Tapi memang, dalam perjalanan mencari hikmah, ada
saatnya kedudukan elementer akal digantikan oleh rasa. Akal bukan instrumen
“ilmiah” yang sesuai untuk mengalami hakikat kasunyatan yang terdalam. Akal punya batas capaiannya.
Meski begitu, sebelum pencari hikmah mencapai maqam puncak dalam pendakian ilmiahnya
itu, dia tetap perlu bersahabat dengan logika. Kritisisme adalah pedang,
tombak, perisai, sekaligus baju zirah baginya dalam medan peperangan filsafat
untuk memperebutkan kebenaran. Karena pentingnya logika dalam mencari hikmah, tampaknya
hampir seluruh tradisi filsafat mengajarkan kritisisme.
Kritisisme, dengan demikian, adalah ajaran
kemanusiaan pada umumnya. Ia hikmah universal yang ditemukan leluhur kita dari
Dayak Ngaju setelah membaca kasunyatan
air parit keruh yang bersumber dari telaga keruh. Dengan berguru pada alam
terkembang, berbekal semacam kombinasi pendekatan semiotik-struktural dan
fenomenologi, mereka memperoleh hikmah yang luhur, agung, dan universal.
Pendekatan
Kita?
Begitulah kiranya cara leluhur nusantara mencari
hikmah. Alam terkembang jadi guru. Setitik jadikan laut. Sekepal jadikan
gunung. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mulai mencari hikmah? Pendekatan
apa yang kita gunakan?
Jangan-jangan hikmah yang kita jual dan bualkan
hanya ada di atas kertas dan menempel di ujung lidah, belum bersemayam dalam
dada, mengalir dalam darah, merasuk dalam tulang, menyatu dengan daging.
Jangan-jangan kita masih memberhalakan buku dan kitab dan tokoh. Masih terpukau
dengan hal-hal besar di atas langit sana.
Jangan-jangan kita mengikuti jejak Diogenes, filsuf
Yunani Kuno yang suka tertawa dan suka menertawakan kehidupan itu. Suatu malam,
Diogenes berjalan sambil memandang bintang di langit. Dia suntuk dalam
kontemplasinya tentang bintang-bintang, hal-hal yang sesungguhnya besar sekali
dan berada di atas langit sana. Diogenes terus berjalan tanpa melihat ke depan,
apalagi ke bawah. Padahal, di depannya ada lubang. Karena tak melihatnya, dia
jatuh ke lubang tersebut.
Nenek yang saat itu berpapasan dengannya pun
tertawa. Diogenes, yang biasanya menertawakan, kini ganti ditertawakan. Tak
tanggung-tanggung, dia ditertawakan oleh seorang nenek. Perempuan uzur itu
barangkali berpikir, “betapa bodohnya filsuf satu ini. Diogenes mengaku sebagai
pencari hikmah, bahkan ahli hikmah. Tapi, perilakunya tak filosofis. Amalnya tak
dipandu hikmah. Hikmah tak jadi cahaya penerang jalan hidupnya. Betapa tak
bermanfaatnya ilmu Diogenes”.
Ya, betapa tak bermanfaatnya. Jadi, untuk apa Diogenes
mencari hikmah, menuntut ilmu? Untuk apa selama ini aku menuntut ilmu?
Bumi Mataram, Rabu,
23 Ramadan 1437 H
NB: Artikel ini adalah sambungan dari artikel saya sebelumnya, Filsafat dan Hal-Hal Kecil Lainnya. Dipublikasikan di halaman facebook pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam