KALABENDU. Istilah ini pertama kali diperkenalkan
Ronggawarsita III. Sebagai mata rantai terakhir pujangga Jawa, santri Kiai Imam
Besari Ponorogo ini kawentar dengan ramalannya. Dalam Serat Sabda Jati, dia menulis,
Waluyaning benjang
yen wus ana wiku
memuji ngesthi
sawiji
sabuk lebu lir
majenun
galibetan
tudang-tuding
anacahken
sakehing wong.
Iku lagi sirep
jaman kalabendu
kalasuba kang
gumanti
wong cilik bisa
gumuyu
nora kurang
sandhang bukti
sedyane kabeh
kalakon.
Zaman edan berakhir bila sudah ada pendeta
ikhlas menyembah Tuhan yang Esa
berikat pinggang tanah, laksana orang gila
kian kemari berjalan, menuding-nuding telunjuknya
menghitung jumlah semua orang.
Pada masa itu, zaman kalabendu berakhirlah
berganti dengan zaman kalasuba.
Rakyat jelata dapat tertawa.
Tiada kurang sandang pangan.
Terwujud semua cita-cita.
Dalam serat tersebut, kalabendu adalah nama bagi
sebuah zaman. Ronggawarsita juga menyebut zaman itu sebagai zaman edan. Berbeda
nama, berbeda penekanan, tapi intinya sama: zaman kalabendu atau zaman edan
adalah zaman yang tak diharapkan, tapi pasti menghampiri. Kita mesti menerima
dan menjalaninya dengan tabah.
Terlempar ke dalam zaman seperti itu, tugas kita
yang primer adalah menjaga kewarasan, kesehatan akal (dan) budi. Tidak ikut
edan. Tidak hanyut terseret arus kejahiliahan massal. Anglaras ilining banyu, pesan Sunan Kalijaga, ngeli ning ora keli. Menjalani kehidupan selaras aliran air sungai,
mengalir tapi tak hanyut.
Hakikat
Kalabendu
Untuk menjalankan pesan tersebut, kita mesti paham
dulu karakter dan hakikat zaman kalabendu. Kala
adalah waktu adalah masa adalah zaman. Bendu
banyak maknanya. Kata ini bisa bermakna amarah atau murka atau kutukan. Tapi
juga bisa dimaknai bencana. Kedua dimensi makna ini tidak kontradiktif. Ada
yang memandang bencana sebagai kasih sayang Ilahi. Tapi, ada pula yang memahaminya
sebagai amarah, murka, atau kutukan langit.
Jadi, kalabendu adalah zaman bencana. Bencana itu
sendiri menandakan amarah, murka, dan kutukan. Akarnya, atmosfer amarah yang
menyelimuti bumi, sifat dur angkara yang
menghuni dada kebanyakan orang.
Pada zaman kalabendu, ya zaman kita ini, di mana pun
orang-orang diliputi aura raksasa. Sedikit-sedikit marah. Sebentar-sebentar
ngamuk. Agama yang bersendikan kasih sayang pun bisa menyulut api amarah. Atas
nama agama, kita ngamuk menyerang saudara sendiri yang seiman.
Seiring dengan itu, bencana alam datang silih
berganti. Bencana yang satu belum tuntas tertangani, sudah muncul bencana lain.
Terlalu seringnya terjadi bencana, kita jadi terbiasa dengan bencana. Bencana
jadi hal yang sehari-hari, lumrah, lazim. Bencana jadi sesuatu yang banal, yang
tak menggetarkan hati, menggugah jiwa, dan menunjukkan jalan pencerahan. Bagi
sebagian kalangan yang berada jauh dari lokasi bencana, ada bencana atau tidak,
sama saja.
Tapi, tidak demikian bagi kalangan lain, para
pemancing di air keruh. Bagi mereka, bencana adalah uang. Mereka menjalankan
bisnis bencana. Atas nama kemanusiaan, mengemis sumbangan ke setiap penjuru
bumi. Sebagian sangat kecil dari sumbangan itu memang menetes kepada korban
bencana. Tapi sebagian sangat besarnya, mengalir ke rekening pribadi para
pengemis itu.
Kita tak perlu kaget dengan gejala amoral tersebut. Aja gumunan, aja kagetan. Bisnis bencana
barangkali umurnya sudah setua sejarah umat manusia. Kita tentu sepakat,
kemiskinan adalah bencana. Bencana yang hingga kini belum rampung-rampung
ditangani. Bencana yang menunjukkan betapa bodohnya kita, betapa jahatnya kita,
juga betapa edannya kita.
Demi menyauk simpati rakyat, pemimpin mana yang tak
berjanji bakal membasmi kemiskinan? Tapi, pemimpin mana pula yang tak
mengingkari janjinya itu? Mereka yang sinis akan mendefinisikan pemimpin
sebagai pendusta. Politik adalah dusta yang dilembagakan, kemunafikan yang
dibenarkan.
Agama apa yang tak berpihak pada kaum miskin? Tapi,
agamawan mana yang tulus bersahabat dengan dan membela kaum miskin? Kebanyakan
agamawan justru memuja harta dan hartawan, merasa jijik dengan kemiskinan dan
kaum miskin. Bahkan, mereka tega menjual agama untuk memperoleh
sebanyak-banyaknya pundi rupiah.
Itulah ciri ulama Bani Israel pada zaman Nabi sebagaimana
digambarkan al-Quran. Bukan Tuhan, tapi dunialah kiblat hati mereka. Ke mana
pun wajah menghadap, yang mereka lihat hanya uang. Jangankan kemiskinan dan
kaum miskin, ayat-ayat suci pun bagi mereka sangat bernilai dan bermanfaat.
Maksudnya, bernilai tukar, sehingga jadi komoditas yang diperjualbelikan. Bermanfaat
untuk mengumpulkan harta dan kehormatan dan nama besar.
Bagi mereka, ilmu mereka pun bermanafaat. Maksudnya,
bermanfaat untuk memperoleh pekerjaan, pangkat, kedudukan, gelar, status,
gengsi. Perjalanan hidup mereka melingkar-lingkar dari hal duniawi ke hal
duniawi lainnya. Ibaratnya, keledai yang berjalan melingkar untuk menggerakkan
alat pengolah gandum.
Memang, berkenaan dengan ilmu yang mereka miliki,
al-Quran mengumpamakan ulama Bani Israel sebagai keledai. Keledai itu memanggul
setumpuk buku di punggungnya. Ini mengisyaratkan, ilmu mereka hanya tertulis pada
lembaran buku. Mereka diberi al-Kitab, tapi tidak mengamalkannya. Ilmu justru menjauhkan
mereka dari cahaya.
Ilmunya menutup mata hati. Akibatnya, mereka tidak
bisa melihat kebenaran. Ketertutupan mata hati itulah arti dasar dari kufur.
Orang kafir adalah orang yang mata hatinya tertutup sehingga dia tidak tahu,
tidak pula bisa membedakan, mana yang benar dan mana yang salah. Semua itu
menunjukkan, mereka dikutuk oleh ilmunya sendiri. Karena ilmu itu, mereka
mendapat kutukan, amarah, murka, bendu.
Kalangan Bani Israel seperti inilah yang dalam Surat
al-Fatihah disebut sebagai orang-orang yang dimurkai, al-maghdhub ‘alaihim. Hati mereka membantu dan terkunci mati. Bagi
mereka, agama bukan soal rasa. Agama semata-mata akal. Bukan akal (yang) sehat,
tapi akal (yang) sakit. Akal paling rendah. Akal pragmatis.
Prinsip keberagamaan akal pragmatis adalah, kalau
menguntungkan bagiku, itulah agama. Kalau merugikan bagiku, bukan agama. Kehendak
Tuhan adalah kehendak perutku. Maka, dengan sekehendak perut, ulama Bani Israel
menjungkir-balikkan tata syariat: menghalalkan yang haram, mengharamkan yang
halal. Mereka pun jadi berparadigma syariat sentris. Syariat atau hukum kudus ditunggangi
untuk merebut sebanyak mungkin keuntungan pribadi.
Dengan perilaku sebejat itu, adakah hal yang bisa
menghindarkan mereka dari bendu?
Mungkin, ada jawaban positif untuk pertanyaan ini. Tapi yang lebih mungkin,
adalah jawaban negatif. Mereka berhak menerima bendu.
Ada lagi karakter lain masyarakat Bani Israel. Ini diterangkan
dalam Surat Yasin. Mereka tidak bermawas diri. Tidak berkaca pada cermin yang
sudah disediakan. Semut di ujung lautan kelihatan. Tapi, gajah di pelupuk mata tak
tampak. Bagaikan orang menuding, jari telunjuk mereka mengarah pada orang lain.
Tapi, tiga jari menekuk ke belakang, mengarah pada diri sendiri.
Ketika ditimpa bencana dirundung bendu, mereka mencari kambing hitam.
Mereka tidak merasa salah dan tidak mau disalahkan. Mereka merasa benar
sendiri, pertanda bahwa hati telah membatu dan terkunci mati. Mereka tak kenal lagi
hikmah ngundhuh wohing pakarti.
Sebab, bagi mereka, bencana bukan akibat perbuatan
tangan sendiri. Bencana melekat pada sang kambing hitam, sang juru eling utusan langit. Sang juru eling
sudah mengkritik tradisi yang diwariskan leluhur. Karena itu, bendu pun datang.
Siapakah Bani Israel saat ini? Al-Quran adalah
petunjuk (al-huda) dan obat hati (al-syifa’). Dia baru jadi petunjuk,
baru jadi obat hati, jika kita menggunakannya sebagai cermin. Kalau mau berkaca
pada cermin yang tersedia, kita pun menyaksikan betapa bopengnya wajah sendiri.
Apakah kita mau menerima kebenaran atau tidak,
itulah persoalannya. Kalau hati kita membatu dan terkunci mati, mata hati kita
pun tertutup. Tidak bisa melihat kebenaran. Bahkan, kebenaran itu kita tampik,
sebagaimana Bani Israel pernah menampik kebenaran karasulan Muhammad yang ummy dan orang Arab.
Tanda
Kalabendu
Tapi, sungguhkah kita sekarang sedang tertimpa bendu? Apa saat ini kita benar-benar
sedang mengalami kalabendu? Ronggawarsita memang memaparkan tanda-tanda zaman
kalabendu. Namun, leluhur Jawa lain juga menjelaskannya: yen pasar ilang kumandange, yen kali ilang kedunge; wong lanang ilang
perbawane, wong wadhon ilang wirange.
Kita mulai urai maknanya dari kalimat terakhir: wong wadhon ilang wirange. Ada
kemungkinan, kata wirang diserap dari
bahasa Arab, wira’ atau wara’. Lebih kurang, artinya harga diri,
kehormatan, kemuliaan, martabat. Karena itu, wirang juga bermakna malu, identitas perempuan yang seharusnya
paling menonjol. Perempuan adalah rasa malu, martabat, kemuliaan, kehormatan,
harga diri. Perempuan adalah aurat.
Barangkali karena hal ini, syariat Islam
mengharuskan perempuan mengenakan hijab khususnya ketika salat. Hijab itu
menutupi seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Sebabnya,
perempuan adalah rasa malu. Wong wadhon
menandakan ke-wirang-an.
Dengan kata lain, hakikat wong wadhon adalah wirang.
Untuk menjaga wirang itulah, pakaian
dikenakan. Khususnya bagi perempuan, fungsi busana adalah sebagai penutup
aurat, penanda identitas keperempuanan.
Tapi, nyatanya saat ini fungsi busana telah bergeser.
Pakaian dikenakan tidak semata-mata untuk menutup aurat, menjaga ke-wirang-an, atau hifdhzul farji dalam istilah al-Quran. Pakaian adalah life style. Masalahnya, dalam dinamika pasar,
life style itu berlari tunggang
langgang tiada hentinya. Mode fashion
berganti begitu cepat mengejar kecepatan pergerakan moneter. Kini, pakaian tak
bisa dipisahkan dari pasar, tak dapat dilepaskan dari uang.
Maka, pakaian pun jadi tanda keduniawian. Seberapa
terikatnya seorang perempuan, juga laki-laki, dengan hal duniawi, terbaca pada
pakaian yang dikenakan. Pakaian telah jadi tanda ketidak-eling-an kita. Padahal, semestinya pakaian melambangkan ke-eling-an. Kita tentu ingat frasa Quranik
libas al-taqwa, pakaian takwa, yang diambil
Hamengkubawana I untuk menamai baju tradisional Jawa yang dia desain: baju
takwa.
Pada umumnya, sekarang pakaian tak lagi menandakan
ketakwaan, ke-eling-an, dan
kemuliaan. Pada kebanyakan perempuan, pakaian tak lagi menandakan ke-wirang-an. Justru sebaliknya, pekaian
melambangkan ketidak-wirang-an. Itu
artinya, pada saat ini, pada zaman pascamodern, kebanyakan perempuan sebenarnya
kehilangan rasa malu, entah sedikit entah banyak.
Bagi Anda, lebih-lebih bagi golongan feminis, hasil
pembacaan kasunyatan ini barangkali salah. Namun sebaiknya, kita mengembalikan
benar salah pada kenyataan, pada fakta. Kalau kenyataan berkata demikian, apa
kita bisa menafikannya? Kalau kasunyatan berkata, wong wadhon ilang wirange, apa kita bisa menyangkalnya?
Tanda zaman kalabendu berikutnya adalah, wong lanang ilang perbhawane. Perbhawa atau kewibawaan batin adalah
apa yang membuat kepemimpinan jadi efektif. Karena seorang pemimpin lelaki
berwibawa, yang dipimpin pun patuh.
Bawahan menghormati pemimpinnya dengan tulus. Dia
menjalankan perintah dengan segenap semangat pengabdian. Dia tidak membangkang.
Sebab, dia tahu bahwa sang pemimpin senantiasa berada di pihaknya. Sang
pemimpin tidak berlaku zalim kepadanya.
Dalam konteks negara, pemimpin itu adalah presiden
sedangkan yang dipimpin adalah rakyat. Dalam konteks keluarga, normalnya
pemimpin itu adalah suami, yang tentu saja laki-laki. Yang dipimpin
pertama-tama adalah istrinya, yang tentu saja perempuan, kemudian anak-anaknya.
Kalau tidak punya wibawa di hadapan istri, suami tidak dipatuhi istrinya.
Kepemimpin keluarga pun tidak efektif. Bahtera rumah tangga pada akhirnya
karam.
Saat ini, betapa banyak jumlah keluarga broken home. Angka pernikahan dini
tinggi. Angka perceraian cenderung meningkat. Kriminalitas remaja, bahkan
anak-anak, meruyak. Sedihnya, gejala ini tidak hanya terjadi di kota-kota tapi
juga di desa-desa.
Masyarakat kita jadi haus kasih sayang, lapar
perhatian. Apa ini yang menyebabkan kita gemar ber-selfie, saya tak tahu. Apa karena ini komunikasi media sosial bagi
kita lebih penting daripada interaksi nyata, saya juga tak tahu. Tapi saya
yakin, rasa haus akan kasih sayang dan rasa lapar akan perhatian berkaitan
dengan masyarakat kita yang sekarang suka ngamuk. Sedikit-sedikit marah.
Kita memandang orang lain dengan mata kebencian dan kecurigaan.
Kita cenderung tidak percaya pada orang lain. Lihat saja, di kota Yogyakarta,
betapa banyak tukang parkir. Di kota Jambi, betapa tertutupnya masjid. Bahkan,
masjid pun berpagar. Pagar besi lagi. Setelah isya, pintu dikunci. Sekolah
merasa perlu pasang kamera pantau, CCTV. Kita merasa tidak aman. Kita curiga
kepada orang lain, bahkan kepada jamaah masjid dan siswa sekolah yang kita
didik. Kita memperlakukan orang lain sebagai ancaman.
Dan psikologi kolektif yang negatif itu boleh jadi
bermula pada situasi keluarga. Akarnya, suami yang kehilangan wibawa batin. Wong lanang ilang perbhawane. Ternyata,
leluhur Jawa begitu canggih berpikir. Mereka meneliti rantai sebab akibat suatu
gejala sosial hingga ke akarnya yang terpangkal, tidak berhenti pada analisis
lapis permukaan.
Kecanggihan berpikir leluhur Jawa juga tampak pada
penjelasan mereka tentang tanda zaman kalabendu lain: kali ilang kedunge, sungai hilang sumber mata airnya. Dalam budaya Sunda,
ada peribahasa mun kiruh tigiring, komo
ka halirna. Kalau keruh air di hilir sungai, lebih keruh lagi di hilirnya.
Hulu, sumber mata air, melambangkan pemimpin. Hilir menyimbolkan rakyat. Jika
pemimpin tak beres, rakyatnya lebih tak beres lagi. Krisis sosial mencerminkan
krisis kepemimpinan.
Kali, dalam kalimat kali
ilang kedunge, dapat disamakan dengan hilir. Kedung adalah hulu. Kali
adalah rakyat. Kedung adalah
pemimpin. Kali ilang kedunge
menggambarkan situasi ketika masyarakat kehilangan kepemimpinan, ketika rakyat
tidak punya pemimpin sejati.
Yang tampil di panggung politik adalah para pemimpin
yang mahir main akrobat pencitraan. Tebar pesona untuk menangguk trust dan popularitas. Janjinya
diingkari sendiri. Kebijakannya zalim. Politik hanya dimengerti sebagai jurus
untuk merebut dan mengelola kekuasaan. Juga untuk mengumpulkan kekayaan.
Politik jadi semata-mata bernilai duniawi. Tidak diterangi cahaya hikmah,
pelita hikmat kebijaksanaan. Kali ilang kedunge.
Tanda zaman kalabendu keempat: pasar ilang kumandange. Mengapa pasar
ilang kumandange? Bukankah hal itu tidak mungkin terjadi? Pasar senantiasa
ramai. Hiruk-pikuk. Kumandangnya terdengar hingga jauh. Bila pasar ilang kumandange, tentu bukan
pasar lagi. Tidak mungkin pasar sepi seperti kuburan.
Pasemon ini tidak hanya mengisyaratkan kematian pasar
tradisional karena kalah bersaing dengan pasar modern dan pasar moneter. Pada
era kapitalisme lanjut, pasar mengalami ekstensifikasi seluas-luasnya. Pasar
berekspansi sejauh-jauhnya bahkan hingga ke ranah paling privat dan paling
personal. Pada Hari Valentin, biasanya mal dan media massa berdagang komoditas
cinta.
Selain cinta, religiositas pun telah dikuasai dan
dijajah pasar. Secara terang-terangan, agama diperdagangkan. Muncul generasi
ulama, yang kini lazim kita sebut ustadz, yang mematok harga tinggi sekali
untuk ceramahnya.
Bahkan, ada ustadz yang hilir mudik mengemis
sedekah. Bermunculan pula lembaga zakat non-pemerintah. Sebagian amil zakat
privat bertampang profesional ini memanfaatkan kemiskinan dan syariat untuk
cari uang. Cerita tentang takmir masjid yang sibuk sebar proposal, sudah klise.
Sekarang, tidak ada satu ranah kehidupan pun yang
terbebas dari logika pasar. Sekolah dan madrasah adalah pasar. Rumah sakit
adalah pasar. Panti asuhan adalah pasar. Masjid adalah pasar. Semuanya jadi
pasar, tempat jual beli. Ketika semua ranah kehidupan jadi pasar, apa kita
mendengar kumandang pasar? Jangankan kumandangnya, seringkali bahkan kita tak
sadar sedang berada di pasar, sedang berpikir untung rugi, sedang bertindak
dengan paradigma ekonomistik.
Bandingkan saja, apa kita mendengar suara ultrasonik
yang amat sangat keras itu? Saking kerasnya suara, sampai-sampai kita tak
mendengarnya. Bandingkan lagi, apa kita dapat melihat sinar matari tengah hari?
Saking terangnya sinar, sampai-sampai mata kita tak dapat menangkapnya. Saking
luasnya pasar, saking kerasnya hiruk-pikuk pasar, sampai-sampai kita tak mendengar
kumandangnya. Pasar ilang kumandange.
Sebab, semua telah jadi pasar. Segala hal adalah pasar.
Menuju
Kalasuba
Jadi, apa kita sedang mengalami zaman kalabendu?
Anda sudah tahu jawabannya. Masalahnya sekarang, bagaimana seharusnya kita
menyikapi zaman kalabendu? Bagaimana agar kewarasan kita tetap terpelihara pada
zaman edan ini?
Leluhur Jawa menyambung penjelasannya tentang zaman
kalabendu: enggal-enggal tapa lelana,
njajah desa milang kori. Jika datang kalabendu, segeralah bertapa kelana. Menjelajahi
desa dan menghitung pintu rumah.
Apakah tujuan tapa kelana? Imam al-Ghazali ternyata
memberikan jawaban. Tujuan tapa kelana, yang dalam literatur sufisme disebut safar,
adalah untuk mencari hikmah yang hilang tergerus zaman, menemukan hakikat yang rucat dari syariat, mengejar makna yang
meninggalkan wadah simbolisnya.
Sederhananya, tujuan tapa kelana adalah untuk
mengobati hati, meruwat diri sendiri. Hati jadi sakit karena terinveksi virus
zaman kalabendu, pascamodern, kapitalisme lanjut. Karena itu, hati perlu segera
diobati, perlu secepatnya diruwat, supaya segera sembuh dan tak mengeras,
membantu, akhirnya terkunci mati. Obat hati banyak. Salah satunya tapa kelana.
Saat bertapa kelana, kita menjelajahi desa,
menghitung pintu rumah. Pasemon ini
bisa dimaknai sebagai silaturahmi dari rumah ke rumah, dari desa ke desa. Tapi,
saya kira maknanya lebih dalam dari itu.
Desa mawa cara,
negara mawa tata. Begitu petuah
para sesepuh Jawa. Di luar sana, ada banyak kebudayaan, aneka hikmah. Cara satu
desa dengan desa lain berbeda. Tatanan satu kota dengan kota lain tidak sama.
Tradisi kampung ini dan kampung itu lain. Adat masyarakat ini dan masyarakat
itu pun lain.
Berapa banyak desa, sebanyak itulah cara. Berapa
banyak kota, sebanyak itulah tatanan. Masing-masing desa, setiap kota, punya
rahasia hikmahnya sendiri. Rahasia hikmah itulah yang dicari saat bertapa
kelana.
Sebab, apa yang hilang pada zaman kalabendu pada
dasarnya adalah hikmah, yang dilambangkan dengan kumandang pasar, kedung kali, perbhawa wong lanang, dan wirang wong wadhon. Jika dalam tapa kelana,
yang tidak harus dilakukan secara fisik tapi bisa juga dijalankan secara
intelektual, kita bersabar memungut percik demi percik hikmah, dada kita kelak
bakal penuh hikmah.
Al-Quran menyebut orang-orang yang dadanya penuh
hikmah, yang senantiasa eling,
sebagai ulul albab, penjaga rahasia
hati. Rahasia hati itu antara lain hikmah, makna, ilmu. Kearifan hidup, kata
Gus Dur. Ronggawarsita, dalam penggalan Serat
Sabda Jati yang dikutip pada mukadimah tulisan ini, menyebut ulul albab sebagai wiku. Ibnu ‘Arabi,
kemudian al-Jilli, menamainya al-insan
al-kamil.
Ahli hikmah secara teguh dan istikamah menggenggam
bara api kebenaran. Meski kulit telapak tangan leleh oleh bara, dia tidak mengendurkan
genggaman itu, apalagi membukanya. Dia memuji
ngesthi sawiji, senantiasa beribadah kepada Yang Maha Esa dengan menghayati
makna terdalam tauhid: manunggaling
kawula-Gusti. Al-‘abuudah.
Tak putus-putus memandang Ilahi, dia senantiasa eling dalam segala keadaan: berdiri,
duduk, berbaring. Segala tindak-tanduknya adalah ibadah. Dia ahli tawakal. Dia
tak kenal sedih, tak kenal takut.
Karena itu, dengan sepenuhnya bertumpu pada
kebenaran, dia berani galibetan
tudang-tuding/anacahken sakehing wong, berjalan kian kemari menuding orang
lain, menghitung jumlah orang banyak. Dia berani membuka kedok pencitraan
penguasa. Menyingkap dusta para pemimpin. Terhadap kasunyataan, dia berkata apa
adanya. Tidak ada yang ditambah atau dikurangi. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Cablaka.
Dari mana keberanian itu datang? Dia telah mengalami
puncak pencarian hikmah. Telah sungguh-sungguh menghayati bahwa pada asal
kejadiannya manusia adalah tanah yang ditiupkan ke dalamnya ruh Ilahi. Mengapa
mesti takut jika ternyata Allah, Tuhan Semesta Raya, lebih dekat daripada urat
leher sendiri? Adakah yang mampu mengalahkan-Nya? Manusia memang hanya tanah,
tapi tanah yang dilimpahi cahaya Ilahi.
Itulah sebabnya, Ronggawarsita menulis, sang wiku, yang
kehadirannya menandai berakhirnya zaman kalabendu, mengenakan sabuk tanah. Pada
saatnya, manusia yang semula tanah, bakal jadi tanah lagi. Setiap manusia bakal
mati. Dalam perjalan hidup yang sekejap, dunia hanya persinggahan sementara.
Dunia tak perlu dikejar mati-matian. Orang yang tak takut mati, apa takut
menyatakan kebenaran, takut kepada penguasa zalim?
Karena ketidak-takutannya dalam menyatakan kebenaran
dan mengkritik kekuasaan itu, sang penguasa, juga mayoritas orang yang telah
tenggelam dalam pesona dan nikmat pasar, menganggap sang wiku sebagai orang
gila, majnun. Dia gila dalam pandangan manusia. Tapi di langit, namanya harum.
Seungguhnya sang wiku berjiwa sehat.
Apakah sang wiku, yang hanya seorang diri ini,
benar-benar dapat mengantar kita dari zaman kalabendu menuju zaman kalasuba? Betapa
pun juga, sastra adalah pasemon atau
simbol, termasuk sastra Jawa. Sastra mengandung berlapis-lapis makna. Sang wiku
barangkali simbol pencerahan kolektif.
Bahwa pencerahan kolektif itulah yang menandai peralihan
zaman kalabendu ke kalasuba, secara tersirat dinyatakan Ronggawarsita dalam candrasengkala Serat Jaka Lodhang: wiku
sapta ngesthi ratu. Tafsirnya, 1877 Saka. Angka tahun ini biasanya di-gathuk-kan dengan 1946 Masehi, satu tahun
setelah kemerdekaan Indonesia.
Terjemahan candrasengkala
itu lebih kurang adalah, tujuh pendeta jadi pemimpin. Ternyata, tidak hanya
satu, tapi ada tujuh wiku yang akan menahkodai bahtera peralihan zaman. Apa
makna tujuh di situ? Apakah mengisyaratkan jumlah tujuh orang?
Tampaknya, makna tujuh tidak sesederhana itu. Tujuh,
dalam budaya Jawa, juga dalam tradisi Islam, adalah bilangan istimewa. Lebih
dari sekadar menunjuk pada jumlah tujuh, kata tujuh melambangkan kejamakan.
Wiku sapta
ngesthi ratu kiranya bermakna
pencerahan kolektif, katakanlah semacam renaissance
spiritual dan budaya. Terang saja, ketika renaissance
seperti ini terjadi, kalabendu tentu bakal segera jadi masa lampau.
Waktu bakal segera bergulir menuju kalasuba, zaman
ketika orang kecil tak lagi sengsara. Mereka tertawa gembira. Sebab, sandang
pangan tercukupi. Segala harapan politik dan ekonomi pun terwujud. Krisis
ekonomi, politik, sosial, dan budaya, berakhir. Tentang zaman kalasuba ini,
Ronggawarsita menambah keterangan lain.
Sengkalane maksih
nunggal jamanipun
neng sakjroning
madya akhir
wiku sapta
ngesthi ratu
ngadil
parimarmeng dasih
ing kono
karsaning manon.
Tinemune wong
ngantuk anemu kethuk
malenuk
samargi-margi
marmane bungah
kang nemu
marga jroning
kethuk isi
kencana sasotya
abyor.
Terjemahan Simuh (1988), dengan beberapa
penyesuaian, atas penggalan Serat Jaka
Lodhang itu adalah sebagai berikut. Ciri waktu pada zaman itu, yakni pada zaman
pertengahan akhir, muncul wiku sapta
ngesthi ratu. Itulah masa keadilan dan kemakmuran yang merata. Demikian
kehendak Tuhan. Waktu itu, orang yang sedang mengantuk pun, sambil duduk-duduk
saja menemukan kethuk (benda). Kethuk itu terdapat di sepanjang jalan.
Orang yang mendapatkannya, bersuka cita. Sebab, di dalamnya ada permata
gemerlapan.
Pendek kata, kalasuba adalah antitesis kalabendu.
Kesengsaraan kalabendu berganti jadi kesejahteraan kalasuba. Dulu serasa dikutuk.
Kini dianugerahi rahmat dan nikmat berlimpah. Zaman kalabendu diselimuti
atmosfer amarah. Pada zaman kalasuba, menyebar wangi kasih sayang.
Rantai bencana alam terputus. Politik dan hukum
kembali manunggal dengan etika. Ulama jadi pewaris para nabi. Ilmunya
bermanfaat. Pasar kembali terdengar kumandangnya. Kali menemukan kedung-nya
yang pernah hilang. Lelaki punya kewibawaan batin. Perempuan teguh menjaga wiring-nya.
Kalasuba
Pribadi
Kita tak tahu kapan pastinya zaman emas itu tiba.
Kita juga tak bisa menerka-nerka kapan ajal kalabendu datang. Sebelum
kemerdekaan, kita pernah merasa sedang mengalami kalabendu. Manakala
kemerdekaan diproklamasikan, kita pernah merasa yakin bahwa kalabendu telah
usai, kalasuba telah menghampiri. Tapi, kemudian kita kecewa. Terbenam kembali
dalam liang gelap pesimisme. Rupanya, kalabendu belum berakhir. Begitu kita
menyimpulkan.
Sebelum reformasi, kita pun pernah merasa hidup pada
zaman kalabendu. Manakala Orde Baru tumbang, kita merasa yakin sedang berdiri
di depan gerbang kalasuba. Nyatanya, justru setelah reformasi, berbagai macam
bendu berdatangan, seakan menyerbu dari seluruh penjuru.
Kini, kita merasa perlu membaca kembali karya
Ronggawarsita. Untuk sekadar membaca tanda-tanda zaman. Untuk merumuskan sikap
terbaik merespons kalabendu. Untuk menjaga nyala api optimisme dan harapan yang
hampir padam. Atau, untuk mencari jalan keluar dari labirin kalabendu.
Meski pernah berkali-kali, pada berbagai kurun
berbeda, membaca tanda-tanda zaman dengan hasil yang meleset, tampaknya kita
tak bisa mengelak dari kepastian tanda-tanda zaman saat ini. Kenyataan
menunjukkan, kita sedang mengalami kalabendu. Kalasuba terasa bagai mimpi yang
jauh.
Sang wiku majnun yang bersabuk tanah, belum tampil.
Tujuh wiku yang memimpin masyarakat pun, belum terlihat. Maka, kita butuh renaissance. Kita perlu bertapa kelana.
Menjelajahi desa demi desa. Menghitung pintu rumah satu demi satu. Bersegara,
tapi dengan sabar dan istikamah, memungut puing-puing hikmah yang berserakan di
mana-mana. Lalu, hikmah-hikmah itu diramu sebagai obat hati.
Kita harus bertapa kelana untuk mengumpulkan air
hikmah dari tujuh sumur. Air suci itu, tirta itu, lalu kita gunakan untuk
membersihkan diri dari najis dan hadats dan janabah kalabendu. Untuk meruwat raksasa
yang mendekam dalam dada. Untuk mengikis sifat dur angkara pribadi.
Jika sepanjang hayat tak berjumpa zaman kalasuba,
minimal kita mengalami kalasuba pribadi. Saya pikir, itulah yang pertama-tama
dikehendaki Ronggawarsita, jawaban mengapa dia menulis Suluk Saloka Jiwa, Suluk Suksma Lelana, Serat Pamoring Kawula-Gusti,
dan Wirid Hidayat Jati.
Ronggawarsita ingin kalasuba terbit dan kalabendu
terbenam. Tapi dia lebih ingin, kita secara pribadi mengalami kematian dalam
kehidupan dan kehidupan dalam kematian, mati
sakjroning urip dan urip sakjroning
mati. Dia bermaksud menuntun kita menuju jalan lurus, membimbing kita
menemukan hidayah. Kepada kita, Ronggawarsita membentangkan rute yang mesti
ditempuh untuk menjemput fajar kalasuba pribadi.
Setelah mengalami kalasuba pribadi, ketika mencapai martabat
ulul albab, kita tak (lagi) jadi
sumber bendu. Setelah menjalani ruwatan, kita tak (lagi) jadi raksasa bagi yang
lain. Sebagai penyalur rahmat dan penyebar salam, kita pun bisa dengan jujur
berujar: rahayu, rahayu, rahayu….
Bumi Mataram, 27
Ramadan 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam