ALI bin Abi Thalib pernah pernah diberi Baginda
Rasul pakaian yang bahannya bercampur sutra. Dia kemudian menghadap Baginda Rasul
dengan mengenakan pakaian tersebut. Baginda Rasul tampak marah. Ali lalu
pulang, melepaskan pakaian itu, dan menghadiahkannya kepada istrinya.
Dalam kitab haditsnya masing-masing, Imam Bukhari
dan Muslim merekam kisah kecil tersebut, kisah tentang haramnya sutra bagi
muslim lelaki. Sedemikian keras pengharaman itu hingga Baginda Rasul pasang
wajah marah ketika melihat Ali mengenakan baju yang bahannya bercampur sutra.
Selain sutra, muslim lelaki pun dilarang memakai
perhiasan emas dan perak. Sehubungan dengan hal ini, ada larangan lain. Tidak
khusus bagi muslim lelaki saja. Umum sifatnya. Setiap muslim, baik lelaki
maupun perempuan, dilarang makan dan minum dengan piring dan gelas dari emas
atau perak. Menyimpan air dalam gentong emas atau perak pun dilarang. Demikian
pula berwudu dengan kendi emas atau perak.
Sebuah hadits memberikan jawaban eskatologis mengapa
hal itu dilarang. Gentong dan kendi emas merupakan perkakas rumah tangga
sehari-hari muslim di akhirat kelak. Yang memakainya di dunia ini hanyalah
mereka yang tergolong bukan muslim.
Adakah alasan lain? Muslim yang sungguh-sungguh
percaya akan adanya akhirat, tentu memandang kehidupan dunia ini dengan
kacamata akhirat. Dibandingkan akhirat, umur dunia tidak ada artinya.
Dibandingkan akhirat, kesenangan, kenikmatan, dan kekayaan dunia pun tak
berarti. Dunia hanyalah seujung kuku akhirat.
Lagipula, akhirat adalah kekekalan, sedangkan dunia
adalah kesemantaraan belaka. Dunia bukan tempat bagi keabadian. Apa pun yang
ada di atas bumi pasti akan sirna. Semula tidak ada, sekarang ada, nanti
kembali tidak ada.
Semula kita lahir dalam kondisi fakir. Tanpa
makanan. Tanpa pakaian. Tanpa rumah. Sekarang kita kaya raya. Paling tidak,
sekarang kita memiliki sesuatu untuk dimakan hari ini, untuk menutupi tubuh dan
memuliakan diri, dan untuk berteduh. Nanti, ketika ajal datang, kita kembali
fakir. Ke liang kubur, kita tak membawa harta. Tak membawa rumah. Tak membawa
makanan. Bahkan tak juga membawa pakaian yang sekarang melekat di badan.
Harta yang selama hidup kita kumpulkan dengan
cucuran keringat bakal ditinggalkan di dunia. Lantas, mengapa pula kita perlu
memamerkan dan membanggakannya? Mengapa kita perlu menebar benih sedih dan
dengki dan benci di hati orang lain, lebih-lebih di hati mereka yang tak
berpunya?
Berbangga atas harta, juga memamerkannya, sebenarnya
adalah tindakan bodoh, adat istiadat jahiliah. Secara personal, tindakan itu
berbahaya. Bisa melahirkan dan mengundang musuh. Secara sosial, berpotensi
merusak, berkemungkinan menimbulkan ifsad
fi al-ardh, kerusakan di muka bumi.
Konflik sosial seringkali bermula dari cinta dunia,
bangga harta, pamer kekayaan. Hal ini kemudian menyalakan api dengki dan benci
dalam dada kaum miskin. Saya yakin, begitulah logika kultural di belakang
kerusuhan Mei 1998, juga kerusuhan anti-Cina lain di Indonesia. Begitu pulalah
latar belakang kultural perang anti-Yahudi dalam sejarah Eropa.
Islam tidak menghendaki konflik sosial semacam itu.
Islam sejatinya agama kasih sayang. Visi politik Islam adalah penataan
masyarakat. Hamemayu hayuning bawana.
Karena masyarakat tersusun oleh individu-individu, penataan masyarakat itu
harus dimulai dari pendidikan, pembangunan budi pekerti, atau character building.
Sendi ketertiban masyarakat adalah akhlak mulia
semua anggota masyarakat. Sementara itu, sendi akhlak adalah iman, terutama
iman akan adanya Allah yang Esa dan iman akan adanya hari akhirat. Fungsi rukun
Islam, sejak syahadat hingga naik haji, salah satunya terletak dalam kerangka character building ini. Ibadah senantiasa
berkaitan dengan moral.
Fungsi sosial salat adalah untuk menjauhkan pelaku
salat dari segala tindakan keji dan mungkar. Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti. Salat memadamkan api
angkara murka yang berkobar-kobar dalam dada. Baginda Rasul mengibaratkan salat
seperti mandi. Setiap hari, seorang muslim menegakkan salat wajib lima kali
sehari. Dia mandi lima kali sehari dengan air sungai yang mengalir. Mandi
membersihkan tubuh dari kotoran. Salat membersihkan kita dari dosa.
Membersihkan hati dari najis ruhani atau penyakit hati.
Fungsi sosial puasa berakar pada fungsi
psikologisnya: olah rasa. Semakin banyak berpuasa, mestinya rasa empati kita
semakin tinggi. Kita jadi gampang dan terbiasa ber-tepo seliro dengan orang lain. Kita jadi bisa merasakan, tidak
sedikit-sedikit merasa bisa. Iso
rumangsa, ora rumangsa iso. Rendah hati, andap asor. Tidak sok, ora
dumeh. Tidak adigang adigung adiguna.
Kalau kita pintar, kita berempati dengan orang lain
yang belum pintar. Kalau kita sukses, kita berempati dengan orang lain yang
gagal. Kalau kita kaya, kita berempati dengan orang lain yang miskin. Kalau kita
pejabat, kita berempati dengan orang lain yang hanya rakyat jelata. Kalau kita
dihormati, kita berempati dengan orang lain yang dicampakkan dan dilupakan.
Kalau kita kenyang, kita berempati dengan orang lain yang lapar.
Saat kenyang, kita ingat orang lain yang lapar. Saat
berpakaian, kita ingat orang lain yang telanjang. Saat tinggal nyaman dalam rumah,
kita ingat orang lain yang hidup menggelandang berlantai bumi berpayung langit.
Saat sehat, kita ingat orang lain yang sakit. Saat bahagia, kita ingat orang
lain yang bersedih. Saat berilmu, kita ingat orang lain yang awam. Saat
berparas rupawan, kita ingat orang lain yang tidak berwajah elok. Saat jadi
pemimpin, kita ingat orang lain yang dipimpin. Saat kaya, kita ingat orang lain
yang miskin.
Karena itu, inti pesan puasa sebenarnya sederhana:
hidup sederhana. Prasojo lan sakmadyo.
Tidak mengumbar nafsu. Mengendalikan keinginan. Rumah sederhana. Pakaian
sederhana. Makanan sederhana. Kendaraan sederhana. Tutur kata pun sederhana.
Tidak ndakik-ndakik dan njelimet-njelimet.
Dengan gaya hidup sederhana itu, kita lebih
berpotensi selamat tidak hanya di akhirat, tetapi juga di dunia. Terwujudlah damai
di hati demi damai di bumi. Buah sosial dari gaya hidup sederhana adalah tertib
dan damainya masyarakat.
Untuk mengajarkan gaya hidup sederhana, Baginda
Rasul melarang muslim lelaki mengenakan pakaian sutra dan perhiasan emas perak.
Beliau juga melarang kita, baik lelaki maupun perempuan, menggunakan perkakas
rumah tangga dari emas perak. Selain itu, kaum lelaki dilarang mengenakan
celana yang panjangnya melewati mata kaki.
Dan Baginda Rasul sendiri tidak hanya
melarang-larang saja. Sebagai teladan bagi umatnya, beliau hidup dengan
sederhana. Gaya hidup sederhana adalah sunah Nabi. Karena gaya hidup sederhana
harusnya lahir dari tepo seliro, tepo
seliro artinya sunah Nabi juga.
Dalam sebuah hadits, Baginda Rasul pernah
menegaskan, takwa itu di sini, sambil menunjuk dadanya tiga kali. Maksudnya,
takwa tempatnya di hati, agama sebetulnya soal rasa. Takwa berkaitan dengan
kasih. Islam adalah agama cinta, rahmat bagi semesta. Dalam hadits tersebut,
beliau juga melarang setiap muslim mengusik darah, harta, dan harga diri muslim
lain. Itu artinya, tepo seliro adalah
makna sosial takwa.
Itulah sebabnya, zakat dan sedekah jadi tanda
kebertakwaan, juga keberimanan, seorang muslim. Jika memperoleh rezeki lebih,
kita ingat orang yang rezekinya seret. Jika kaya, kita ingat saudara kita yang
miskin. Seandainya saya tidak kaya seperti ini, tapi miskin seperti mereka, apa
yang saya rasakan, pikirkan, dan lakukan? Kalau saya memamerkan kekayaan saya
di depan mereka, apa yang mereka rasakan? Setelah berempati dengan kaum miskin,
orang yang kaya, paling tidak yang dikaruniai rezeki yang lebih dari cukup
untuk makan hari ini, membayar zakat. Jika punya harta berlebih, dia dianjurkan
bersedekah.
Puncak dari pendidikan tepo seliro dalam Islam adalah naik haji. Saat berhaji, seorang
muslim bertemu dengan berkumpul dengan muslim lain dari segenap penjuru bumi.
Dia berjumpa dengan orang dari berbagai lapisan, hierarki, dan golongan sosial.
Karena itu, haji seharusnya memperluas jangkauan tepo seliro-nya. Sebelum berhaji,
jangkauan tepo seliro-nya hanya
seluas keluarga, tetangga, sanak kerabat, teman, kampung, desa, kecamatan,
kabupaten, provinsi, dan paling banter negara. Setelah berhaji, harus seluas
bumi.
Dengan berhaji, dia merasakan makna persaudaraan
umat Islam, bahkan persaudaraan seluruh umat manusia. Dia menghayati makna
kemanusiaan. Al-Quran menyebutkan, Nabi Ibrahim tidak hanya mengundang orang
Islam untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Beliau memanggil seluruh umat
manusia untuk naik haji. Ini mengisyaratkan, visi sosial Islam memang hamemayu hayuning bawana. Seluruh
manusia di bumi ini mau dibangun budi pekertinya. Islam menghendaki ketertiban
sosial secara mondial. Damai di bumi sebagai perluasan damai di langit.
Dan semua itu bermula dari pendidikan karakter.
Pertama-tama, tepo seliro mesti jadi
budaya. Takwa harus jadi adat istiadat sehari-hari. Kita mesti mengikuti sunah
Nabi dalam bergaya hidup sederhana. Kaum lelaki tidak mengenakan pakaian sutra
dan perhiasan emas perak. Baik kaum lelaki maupun perempuan tidak menggunakan
perkakas rumah tangga dari emas perak, apalagi makan dengan piring emas, minum
dengan gelas perak.
Biarlah piring emas, gelas perak, dan pakaian sutra dipakai
oleh kaum (sok) kaya yang tak punya perasaan. Biarlah busana branded dan kendaraan mewah dibeli,
dimiliki, dibanggakan, dan dipamerkan oleh kaum (sok) kaya yang tak punya hati.
Bagi seorang muslim, yang punya hati dan akal, keglamoran
dan kemewahan tempatnya di surga. Sebab, di surga tidak ada fakir miskin. Tidak
ada duka lara. Tidak ada cemas takut. Tidak ada dengki benci. Semua mulut
berucap salaman, salaman. Semua lidah
berujar rahayu, rahayu. Semua hati
tenteram damai. Semua jiwa rida bahagia. Semua wajah tersenyum bungah.
Bumi Mataram, 5
Syawal 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam